Setelah Sarah pamit untuk menutup telponnya, aku pun bersiap-siap merebahkan tubuh di atas ranjang. Sendiri, tanpa Alex di sampingku. Aku merasa benar-benar kesepian di kamar ini. Dingin, tak ada pria yang biasanya selalu dengan senang hati bisa memelukku. Dada yang bidang serta tangan yang kekar, membuatku selalu nyaman berlama-lama di sana. Sambil mendengarkan alunan detak jantung yang seirama dengan napasnya.
Menit kemudian, mataku mulai terasa berat. Kelopaknya sudah tak mampu menahan bola manik untuk tetap terjaga. Perlahan cahayanya mulai redup, lalu terpejam untuk membawaku ke alam bawah sadar.
Berselang tak lama, tiba-tiba pipiku merasakan belaian halus dari tangan yang sangat kukenal. Mengusap lembut disetiap incinya. Membuatku dengan mudah bisa menebak siapa gerangan yang berada di belakangku. Memberikan kejutan cinta yang hangat.
Aku menoleh ke samping kanan. Tanpa diberi aba-aba aku bergegas bangun dan menubruk pria berbadan atletis itu. Memeluk tubuhnya serasa tak ingin kulepas. Menangis manja seraya memukulkan kepalan tangan di dadanya. Dan, pria itu bergeming. Dia membiarkan aku melakukannya. Kejadian itu bagaikan cerita dalam serial drama korea yang sedang viral.
“Kamu jahat! Pergi gak pamit. Tega banget kamu sih, Sayang. Biarin aku jadi kesepian gini,” Aku merajuk dan menangis di dadanya, seraya memeluknya dengan erat. Seolah-olah tak ingin membiarkan ia lepas dan pergi meninggalkanku lagi. Menumpahkan seluruh air mata yang selama sepekan terbendung.
“Sssttt!” desisnya seraya membalas pelukanku, lebih erat. Dadanya yang bidang dan tangannya yang kekar, mampu membenamkan tubuhku yang ramping dalam dekapannya. Hingga membuatku terjepit, tapi aku merasa nyaman di sana.
Kubiarkan pucuk kepala ini dikecupnya, merambah turun sekitar telinga, lalu leher. Desahan halus mengiringi di setiap pergerakannya. Hingga tak terasa bibir kami menyatu. Berebut memainkan lidah kedalam mulut, saling bertukar salivah sehingga menimbulkan decakan yang membuat dada berdebar semakin kencang, dan darah pun bergejolak.
Alex menekan tubuh bagian belakangku dengan tangan kanannya. Berkali-kali dia meremas bokongku, sehingga perut kami saling beradu. Alex mulai membuka piamaku yang sudah terlepas dari kancingnya satu per satu. Lalu melucutinya. Hanya pakaian dalam saja yang masih menempel di sana. Sepertinya ia tak mau buru-buru membukanya. Agar bisa lebih lama untuk menikmati pemanasan.
Alex mendorong tubuhku hingga kami berdua terjerembab di atas ranjang. Bergulat dan masuk ke alam yang membuat kami lupa sejenak dengan dunia.
“A-ampun, sayang,” bisikku dengan suara gemetar sambil mengacak-acak dan menarik rambutnya. Namun melihatku seperti cacing yang sedang kepanasan, Alex semakin semangat melakukannya.
Saat aku dan Alex sedang berada di puncak kenikmatan, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang pria yang pernah kukenal masuk ke kamar. Menarik kasar bahu Alex dari belakang. Dia menatap dengan tajam, wajah garang memerah, rahang yang tegas mengeras. Memperjelas bahwa dia tak suka dengan Alex.
Jojo…? Yah, pria itu Jojo, kekasihku dulu di saat kami masih kuliah di Malaysia.
Dari mana ia datang? Dengan siapa dia kemari? Dari mana ia tahu rumahku? gumamku heran dengan sejuta tanya. Netraku seketika terbelalak. Mulut menganga hingga tak sadar tubuhku hanya berbalut pakaian dalam. Aku tak percaya dia datang ke rumah ini.
Plak…!
Jojo menampar Alex hingga wajahnya menengok ke kanan. Alex memijat pipinya. Tatapannya tajam, seolah-olah dia akan membalas pulukan Jojo. Aku hanya bisa menjerit. Tak tahu apa yang sedang mereka perkarakan.
Aku beranjak dari ranjang. Mencoba menghampiri dan menolong Alex. Namun, Jojo menahanku. Aku menangis dan memohon pada pria itu, tapi ia bergeming.
Tiba-tiba, seorang perempuan masuk ke kamarku. Dia menghampiri Alex. Memeluk dan mengecupnya dengan mesra.
Aku tak terima. Mencoba memberontak dari belenggu Jojo untuk mengambil kembali suamiku dari pelukan perempuan yang seenaknya saja mendekatinya. Namun apalah daya, Jojo yang bertubuh tegap atletis, sudah pasti mempunyai tenaga yang lebih kuat dibandingkan denganku.
Dengan air mata yang deras mengalir, aku mencoba mengamati perempuan itu dengan saksama. Tapi sial, mengapa mata ini tak bisa jelas mengidentifikasi wajah perempuan itu. Padahal dari postur tubuhnya, sepertinya aku mengenalnya. Tapi, siapa?
Aku hanya bisa menangis dan memanggil Alex. Untuk mengambilku dari dekapan Jojo dan tak menghiraukan wanita itu. Akan tetapi, justru Alex tak menghiraukan aku. Dia bahkan pergi keluar kamar bersama wanita itu meninggalkan aku.
Aku berontak dari dekapan Jojo sambil menangis meraung-raung. Tak terima dengan perlakuan Alex yang tak memdulikan aku. Memilih pergi dengan wanita lain dan membiarkan aku disentuh oleh pria yang bukan muhkrimku.
“Akh!” teriak Jojo ketika aku berhasil menggigit tangannya yang menghalangiku. Hingga akhirnya aku berhasil lepas dari dekapannya.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku lari menyusul Alex. Akan tetapi, ketika sampai di pintu aku baru sadar bahwa aku hanya mengenakan pakaian dalam. Saat aku berbalik, Jojo sudah menyodorkan piamaku. Mengenakannya, dan memelukku kembali.
Kali ini pelukan Jojo sangat lembut, seolah-olah dia ingin menghiburku, melindungiku dan ingin memberikan dadanya sebagai tempat di mana aku dapat mencurahkan seluruh air mata ini.
Akhirnya, aku pun pasrah. Menyandarkan kepalaku di dada Jojo. Sambil sesekali memukul dadanya dengan kedua tangan ini. Menangis tersedu, merasakan betapa hancur leburnya hati ini.
Perlahan kubuka mata. Masih terasa sisa isakan di dada. Aku terbangun dari tidur. Mengedarkan pandangan mencari sesuatu.
“Sayang? Sayang…!”
“Jo-Jojo?” tak satupun orang yang menjawab panggilanku.
Astaga! rupanya aku sedang bermimpi tadi. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Ah! Semoga itu hanya sebuah bunga tidur saja. Gumamku seraya meraih air mineral yang biasa Bik Shu siapkan dan meletakkannya di atas nakas sebelum aku tidur.
Aku meneguknya sedikit demi sedikit, untuk membasahi kerongkongan yang serasa kering dan tercekat karena mimpi yang tak mengenakan barusan. Mimpi itu seolah-olah masih terngiang-ngiang dalam benak. Menguras tenaga, menyisakan isakan dan membuat peluh bercucuran membasahi tubuh.
“Ya Allah, semoga ini bukan sebuah firasat untukku,” sekali lagi aku berharap. Kemudian menarik napas dalam dan kembali merebahkan tubuh yang mulai berangsur-angsur tenang.
Bersambung …!
Kurebahkan kembali tubuh ini. Setelah menghabiskan air mineral di dalam gelas hingga kurasa tubuh kembali segar. Mencoba kembali memejamkan mata disisa malam ini.Akan tetapi, sudah beberapa menit mata ini tak mau terpejam. Pikiranku melayang terbawa mimpi yang baru saja kualami. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi gelisah. Membayangkan mimpi itu akan menjadi kenyataan.“Ya Tuhan. Jangan sampai terjadi,” gumamku. Kuusap wajah ini. Agar bayangan suram itu menghilang. Tak lagi menggangguku yang sedang kesepian.Kuambil gawai yang tergeletak di sebelahku. Mengusap layarnya, mencoba mengecek beberapa chat di sana. Siapa tahu ada berita dari Alex. Akan tetapi, harapan itu membuatku kecewa. Tak ada satu pun chating dari Alex.Kulirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka dua, sedangkan jarum panjang menunjuk keangka lima. Ah, ternyata waktunya untuk mengadu disepertiga malam.Bergegas aku beran
Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun."Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah."Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya."Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya b
Aku keluar dari kamar Rania. Menuruni anak tangga satu per satu. Sambil melihat suasan rumah Rania yang besar. Rumah yang sangat megah. Disepanjan dinding tangga, dihiasi dengan foto-foto yang terpajang di sana. Aku tertarik untuk melihatnya.Perlahan aku amati satu demi satu foto-foto itu. Tampak sebuah foto pernikahan Rania bersama suaminya. Rania tampak cantik sekali dengan pakaian pernikahannya yang serba putih dan mahkota di kepalanya. Senyumnya selalu memikat pria yang melihatnya. Tak terkecuali Irwan saat kuliah dulu. Aku sempat iri dengannya kala itu.Jojo, kakak tingkat kami saat kuliah dulu. Terkenal pria yang cool dan tak mudah jatuh cinta dengan wanita mana pun. Walau banyak perempuan yang ingin menjadi kekasihnya. Akan tetapi ketika dia mengenal Rania, Jojo langsung jatuh hati tanpa ada yang bisa menghalangi.Aku beralih melihat foto disebelahnya. Tampak dua gadis yang tersenyum manis. Hidungnya mancung, kelopak mata yang sedikit berkantung, gigi gi
Pagi ini saya ingin berkeliling halaman rumah Rania yang luas. Melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku. Sekaligus berkenalan dengan pelayan lain yang ternyata masih ada beberapa pelayan yang bekerja di sini.“Hai, Pak,” sapaku pada seorang tukang kebun yang sedang merawan tanaman. Bapak perawat tanaman itu menyahut dengan menganggukan kepala dengan sopan sambil menyunggingkan bibirnya.Tanaman-tanaman yang dirawatnya tampak indah. Tentunya membuat semakin cantik halaman rumah ini. Semua terlihat terawat dan segar. Beberapa pohon perdu pun tengah dipangkas. Bunga-bunga yang indah terlihat basah seperti habis disiram.Haaa! Tempat yang benar-benar nyaman. Membuat aku betah untuk tinggal di sini. Tapi, ish. aku hanya bisa bermimpi bisa punya rumah senyaman ini.Dari kejauhan saya lihat Lily berlari menuju ke arahku. Dari wajahnya, dia terlihat panik. Tampaknya ada sesuatu yang membuat dia ketakutan seperti itu.“Ada apa,
“Kalau begitu saya akan memberikan dia obat penenang. Tapi nanti diberikan seperlunya saja ketika dia benar-benar membutuhkan obat itu. Dan, saya percaya pada anda. Tolong bantu sepupu saya agar dia tidak mengalami hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan.” Dokter itu memohon padaku dengan tatapannya yang penuh harapan.“Anda bisa mengandalkan saya, Dokter.” Aku meyakinkannya, agar Dokter Harun tidak meragukan kemampuanku untuk mendampingi Rania dalam masalah ini.***Tiga hari sudah aku tergelatak di atas ranjang. Setelah Harun memeriksaku dan Sarah selalu merawat dan memberikan semangat untukku, kini berangsur-angsur kondisiku mulai membaik. Hatiku sedikit tenang, walau terkadang masih terbawa emosi karena mengingat peristiwa di bandara.Aku mencoba untuk bisa mengendalikan emosiku. Demi kedua putriku yang kini sedang sekolah di Amerika.Gawai yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Kulihat Sarah mengambil benda itu la
Aku berdiri di pinggir balkon kamar. Menikmati cakrawala yang dihiasi bintang. Tampak rembulan yang malu untuk bersinar. Terhimpit diantar awan menghitam.Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Mengurai rambut lepas tergerai. Wajah sembab pun tak luput dibelai. Membawa rasa menjadi gontai.Hah! Aku menghela napas panjang, lalu menghempaskan perlahan. Melepas sesak yang mengganjal di dada. Agar keluar bersama beban.“Menghirup angin malam kadang-kadang membuat kita terbebas dari tekanan. Tetapi kadang-kadang ia membuat kita terbawa oleh hayalan.” Tiba-tiba suara Sarah muncul dari belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya ia sudah berdiri di tengah pintu yang menghubungkan kamar dan balkon.“Sarah? Sudah lama di situ?” sambutku, lalu menyunggingkan bibir dan kembali menikmati pemandangan malam. Menyandarkan tubuh di pagar dinding balkon. Menumpuhkan siku untuk menopang lipatan tangan di dada.Sarah melangkah mendek
Dua bulan sudah Sarah tinggal di rumahku. Dia begitu banyak membantu dalam memulihkan kejiwaanku yang saat itu terganggu karena Alex yang sudah mengoyak hatiku.Berangsur-angsur aku bisa mengendalikan emosi. Mengikhlaskan semua yang sudah terjadi denganku. Sehingga aku bisa kembali bekerja dan memimpin Goden Group lagi semenjak Alex menghilang dari perusahaan itu.Selama ini Golden Group memang dalam kendali Alex. Namun, semua itu tak lepas dari campur tanganku. Sehingga ketika perusahaan ini mengalami kekosongan kepemimpinan, aku sebagai wakil Presdir bisa mengambil alih kendali.Seperti saat ini, semenjak terjadi insiden yang tak mengenakkan Alex pun tak pernah terlihat di ruangannya. Begitu pula dengan Chateryn. Mejanya tampak kosong, sehingga pekerjaan yang harus dia tangani aku alihkan pada staf lain.Aku masuk ke ruangan yang biasa digunakan Alex untuk melakukan aktivitasnya yang menyangkut dengan perusahaan ini. Memeriksa beberapa berkas laporan yang s
Perlahan isakku mulai mereda. Walau tubuh ini masih dalam kuasa Alex. Tangannya yang menangkup wajahku, berkali-kali mengusap linangan air mata. Seakan dia tak ingin melihatku menangis.“Please, maafin aku. Aku mengaku salah. Aku khilaf. Kasih aku kesempatan, sekali lagi. Agar aku bisa memperbaiki semua kesalahan yang sudah kulakukan. Aku masih mencintaimu, Rania. Demi anak-anak kita dan nama baik kita di mata publik.” Alex memohon. Suaranya bergetar, dari keseriusannya sepertinya dia bersungguh-sungguh.Selama dua puluh tahun kami menikah, tak pernah aku melihat Alex sefrustrasi ini. Berharap aku mau memaafkannya. Dia telah mengakui kesalahannya. Tapi, apakah aku sanggup untuk memaafkannya?Aku teringat lagi dengan Paula dan Cylla, sudah pasti mereka masih membutuhkan sosok papanya. Sebagai pelindung, panutan dan tempat mereka bermanja. Apa lagi di saat menjelang mereka menikah nanti. Sudah pasti, Alex lah yang akan mendampingi mereka karena sebagai