Kurebahkan kembali tubuh ini. Setelah menghabiskan air mineral di dalam gelas hingga kurasa tubuh kembali segar. Mencoba kembali memejamkan mata disisa malam ini.
Akan tetapi, sudah beberapa menit mata ini tak mau terpejam. Pikiranku melayang terbawa mimpi yang baru saja kualami. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi gelisah. Membayangkan mimpi itu akan menjadi kenyataan.
“Ya Tuhan. Jangan sampai terjadi,” gumamku. Kuusap wajah ini. Agar bayangan suram itu menghilang. Tak lagi menggangguku yang sedang kesepian.
Kuambil gawai yang tergeletak di sebelahku. Mengusap layarnya, mencoba mengecek beberapa chat di sana. Siapa tahu ada berita dari Alex. Akan tetapi, harapan itu membuatku kecewa. Tak ada satu pun chating dari Alex.
Kulirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka dua, sedangkan jarum panjang menunjuk keangka lima. Ah, ternyata waktunya untuk mengadu disepertiga malam.
Bergegas aku beranjak dari ranjang, menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, lalu bermunajad membelah langit disepertiga malam.
Satu jam kemudian, terdengar suara azan subuh dari speacker masjid yang tak jauh dari rumah. Kuikuti panggilan itu lamat kemudian, hatiku pun berangsur tenang setelah menghadap Sang Pencipta alam semesta.
Setelah melakukan ritual pagi, aku memilih untuk tetap di dalam kamar. Rasanya malas keluar dari ruang ini. Berbaring di atas ranjang sambil menyalakan televisi. Memilih saluran yang menarik sambil menunggu waktu untuk menjemput Sarah di bandara.
“Maaf, Nyonya. Nyonya sudah bangun?” Terdengar suara Bik Shu dari luar kamar setelah mengetuk pintu. Seperti kebiasaannya, ketika dia tak menemukan aku pada jam-jam segini untuk sarapan di ruang makan, asisten rumah tangga itu selalu menghampiri dan menanyakan hal ini padaku.
“Ya, Bik. Masuk saja,” jawabku yang tak sedikit pun bergerak untuk beranjak dari ranjang.
Tak lama Bik Shu membuka dan melongokkan kepalanya dari balik pintu. Kemudian masuk untuk mengambil gelas kosong yang berada di atas nakas. Lalu menggantikannya dengan gelas yang sudah dia isi air meniral yang baru.
“Nyonya Rania tidak turun untuk sarapan?” tanya Bik Shu yang berdiri di sisi ranjang.
“Nggak ah, Bik. Malas,” jawabku sambil terus melihat televisi dan rebahan.
“Kok malas, Nyonya? Nanti kalau lapar bagaimana? Nyonya jangan begitu. Kalau malas saparan nanti sakit. Jadi repot deh,” kicaunya tanpa dimintai pendapat.
“Repot? Maksud Bik Shu apa? Bik Shu nggak mau ngurusin saya? Emang Bik Shu sudah bosen kerja di sini?” sahutku pura-pura bersungut.
“Eh, tidak, Nyonya. Anu. Maksud Bibi, Nyonya musti makan. Biar tidak sakit. Biar bisa ke kantor atau jalan-jalan ke mol.” Bik Shu segera menyahut dengan mata terbelalak dan wajah ketakutan karena salah tingkah dengan kata-katanya sendiri
”Bu-bukannya kita tidak mau mengurus Nyonya. Saya sih, seneng-seneng saja. Bukannya kita digaji sama Nyonya salah satunya untuk itu?” Bik Shu melengkapi kalimatnya.
“Ish! Kalau urusan duit aja, ijo deh matanya,” ledekku
“Manusiawi itu, Nonya. Hehehe….” Bik Iyah menyeringai sambil melanjutkan membersihkan kamarku. Mengelap semua perabotan, merapikan letak barang-barang dan mengambil baju kotor. Semua kegiatan dalam hal melayaniku di sini dia yang melakukan.
Hanya dia yang bisa aku percaya untuk mengurus ruang ini. Jadi tidak sembarang asisten yang aku perbolehkan masuk tanpa seijinku. Karena Bik Shu telah bekerja denganku ketika aku bersama Alex memulai kehidupan baru dari nol. Jadi, hanya dia dan Hans yang sudah teruji kesetiannya.
“Oh, ya. Apakah sarapan Nyonya, mau Bibi antar ke kamar saja?” tawarnya ketika ia selesai membersihkan semua isi kamar ini.
“Boleh,” sahutku.
“Baik, Nyonya. Bibi ambilkan dulu.” Bik Shu bergegas keluar sambil membawa pakaian dan gelas kotor yang telah kupakai untuk dia berikan kepada asisten bagian pembersihan.
“Oh ya, Bik. Sekalian ya, bilangin ke Hans. Supaya nanti antar saya ke bandara, buat jemput tamu dari Malaysia. Sekitar jam Sembilan,” perintahku sebelum Bik Shu membuka pintu dan keluar dari kamar.
“Baik, Nyonya. Nanti Bibi sampaikan ke Hans,” sahut Bik Shu kemudian berlalu seraya menutup kembali pintu kamar. Dan aku melanjutkan menonton film di salah satu saluran televisi luar negeri.
***
Sampai di bandara aku menuju display informasi status kedatangan pesawat. Terlihat dalam daftar tersebut, pesawat yang ditumpangi Sarah akan mendarat sekitar sepuluh menit lagi. Apakah Sarah masih seperti yang dulu? Ah! Rasanya aku sudah tak sabar menunggu sahanatku yang satu ini. Untuk melepaskan rindu yang sudah sekian tahun tak bertemu.
Sepuluh menit kemudian terdengan dari pusat informasi bandara, memberitahukan bahwa pesawat dari Malysia telah landing. Aku bergegas menuju pintu penjemputan. Sesekali melongokkan kepala untuk melihat ke dalam Gedung. Namun, masih saja belum kutemukan sosok Sarah—temanku.
Aku sudah membayangkan wajah Sarah yang dulu manis, berkulit sawo matang dan mungil dengan gaya rambut yang kriwil. Masihkah dia sekonyol dulu? Aku tersenyum sendiri mengingat kala itu bersamanya.
Tak lama menunggu, aku melihat seorang wanita bertubuh mungil dengan rambut kriwil yang dibebat syal menyerupai bando di kepalanya. Aku mencoba menebak dalam hati, bahwa wanita itu adalah Sarah. Sebab tak banyak perubahan pada dirinya, sehingga aku mudah mengenalinya walau kami sudah lama tak bertemu.
“Sarah!” panggilku sambil melambaikan tangan kearah wanita itu. Dia mempercepat langkahnya menuju arahku. Seraya menarik koper besar bawaannya.
Senyumnya yang manis, tampak dari jauh sudah tersungging. Memperlihatkan lesung pipit yang menghias dikedua pipinya.
“Rania? Apa kabar, Sayang?!” Tanpa basa basi kami langsung saling berpelukan. Saling membalas mencium pipi kanan dan kiri pun tak bisa dihindarkan. Seakan tak peduli orang lain yang melihat kehebohan kami.
“Hans, tolong bawa koper tamu saya ke mobil dulu, ya. Tunggu kami di sana.,” perintahku. Hans menurut dan segera membawa koper Sarah untuk diletakkan ke mobil dan menunggu kami di sana.
Aku mengajak Sarah untuk mampir sebentar kesalah satu kafe di bandara, sekadar menghilangkan penat dan membeli makanan kecil untuk mengganjal perut.
Di kafe aku memilih duduk di pojok bagian dalam. Karena tempat itu kami bisa bebas melihat orang yang keluar masuk kafe, tapi tak banyak orang yang memerhatikan kami di sana. Kebiasaan itu yang aku dan Sarah suka dari dulu sebagai tempat favorit.
“Aih, senangnya. Akhirnya kita bisa bertemu lagi seperti ini,” celetuk Sarah saat kami sudah mendapatkan tempat untuk menunggu pesanan kami diantar oleh pelayan kafe.
“Kamu semakin cantik saja, Rania,” lanjutnya dengan mencondongkan tubuhnya mendekatiku. Matanya berkedip cepat dengan ekspresi wajahnya menggoda.
Suaranya nyaring bagaikan kaleng kosong yang seolah-olah memenuhi ruang kafe ini. Sehingga beberapa pengunjung kafe ini menoleh ke arah kami. Tapi dasar Sarah, dia tetap seperti Sarah yang dulu. Tak pernah peduli dengan tatapan aneh dari orang yang belum mengenalnya. Dia selalu membalasnya dengan senyumnya yang merekah.
"Ish! Apa sih, Sarah. biasa saja," sanggaku agak risih dengan pujiannya yang mengundang perhatian banyak orang untuk melihatku. Namun ia hanya menimpalnya dengan tawa.
“Bagaimana dengan suami kamu? Sudah ada kabar belum?" tanyanya sehingga membuatku kembali teringat dengan Alex.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Sarah dan menceritakannya, tiba-tiba mataku menangkap sosok laki-laki yang sangat aku kenal masuk ke kafe ini dengan seorang wanita. Tak hanya itu, laki-laki itu melingkarkan tangannya ke pinggang langsing milik wanita itu dengan mesra.
Kupicingkan mata, mengamati dengan saksama. Memastikan bahwa aku tak salah melihat.
Bagaikan tersambar petir di siang hari. Aku terperangah. Suasana yang semula ceriah, seketika berubah suram saat aku tahu siapa laki-laki itu dan perempuan yang bersamanya.
Bersambung…!
Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun."Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah."Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya."Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya b
Aku keluar dari kamar Rania. Menuruni anak tangga satu per satu. Sambil melihat suasan rumah Rania yang besar. Rumah yang sangat megah. Disepanjan dinding tangga, dihiasi dengan foto-foto yang terpajang di sana. Aku tertarik untuk melihatnya.Perlahan aku amati satu demi satu foto-foto itu. Tampak sebuah foto pernikahan Rania bersama suaminya. Rania tampak cantik sekali dengan pakaian pernikahannya yang serba putih dan mahkota di kepalanya. Senyumnya selalu memikat pria yang melihatnya. Tak terkecuali Irwan saat kuliah dulu. Aku sempat iri dengannya kala itu.Jojo, kakak tingkat kami saat kuliah dulu. Terkenal pria yang cool dan tak mudah jatuh cinta dengan wanita mana pun. Walau banyak perempuan yang ingin menjadi kekasihnya. Akan tetapi ketika dia mengenal Rania, Jojo langsung jatuh hati tanpa ada yang bisa menghalangi.Aku beralih melihat foto disebelahnya. Tampak dua gadis yang tersenyum manis. Hidungnya mancung, kelopak mata yang sedikit berkantung, gigi gi
Pagi ini saya ingin berkeliling halaman rumah Rania yang luas. Melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku. Sekaligus berkenalan dengan pelayan lain yang ternyata masih ada beberapa pelayan yang bekerja di sini.“Hai, Pak,” sapaku pada seorang tukang kebun yang sedang merawan tanaman. Bapak perawat tanaman itu menyahut dengan menganggukan kepala dengan sopan sambil menyunggingkan bibirnya.Tanaman-tanaman yang dirawatnya tampak indah. Tentunya membuat semakin cantik halaman rumah ini. Semua terlihat terawat dan segar. Beberapa pohon perdu pun tengah dipangkas. Bunga-bunga yang indah terlihat basah seperti habis disiram.Haaa! Tempat yang benar-benar nyaman. Membuat aku betah untuk tinggal di sini. Tapi, ish. aku hanya bisa bermimpi bisa punya rumah senyaman ini.Dari kejauhan saya lihat Lily berlari menuju ke arahku. Dari wajahnya, dia terlihat panik. Tampaknya ada sesuatu yang membuat dia ketakutan seperti itu.“Ada apa,
“Kalau begitu saya akan memberikan dia obat penenang. Tapi nanti diberikan seperlunya saja ketika dia benar-benar membutuhkan obat itu. Dan, saya percaya pada anda. Tolong bantu sepupu saya agar dia tidak mengalami hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan.” Dokter itu memohon padaku dengan tatapannya yang penuh harapan.“Anda bisa mengandalkan saya, Dokter.” Aku meyakinkannya, agar Dokter Harun tidak meragukan kemampuanku untuk mendampingi Rania dalam masalah ini.***Tiga hari sudah aku tergelatak di atas ranjang. Setelah Harun memeriksaku dan Sarah selalu merawat dan memberikan semangat untukku, kini berangsur-angsur kondisiku mulai membaik. Hatiku sedikit tenang, walau terkadang masih terbawa emosi karena mengingat peristiwa di bandara.Aku mencoba untuk bisa mengendalikan emosiku. Demi kedua putriku yang kini sedang sekolah di Amerika.Gawai yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Kulihat Sarah mengambil benda itu la
Aku berdiri di pinggir balkon kamar. Menikmati cakrawala yang dihiasi bintang. Tampak rembulan yang malu untuk bersinar. Terhimpit diantar awan menghitam.Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Mengurai rambut lepas tergerai. Wajah sembab pun tak luput dibelai. Membawa rasa menjadi gontai.Hah! Aku menghela napas panjang, lalu menghempaskan perlahan. Melepas sesak yang mengganjal di dada. Agar keluar bersama beban.“Menghirup angin malam kadang-kadang membuat kita terbebas dari tekanan. Tetapi kadang-kadang ia membuat kita terbawa oleh hayalan.” Tiba-tiba suara Sarah muncul dari belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya ia sudah berdiri di tengah pintu yang menghubungkan kamar dan balkon.“Sarah? Sudah lama di situ?” sambutku, lalu menyunggingkan bibir dan kembali menikmati pemandangan malam. Menyandarkan tubuh di pagar dinding balkon. Menumpuhkan siku untuk menopang lipatan tangan di dada.Sarah melangkah mendek
Dua bulan sudah Sarah tinggal di rumahku. Dia begitu banyak membantu dalam memulihkan kejiwaanku yang saat itu terganggu karena Alex yang sudah mengoyak hatiku.Berangsur-angsur aku bisa mengendalikan emosi. Mengikhlaskan semua yang sudah terjadi denganku. Sehingga aku bisa kembali bekerja dan memimpin Goden Group lagi semenjak Alex menghilang dari perusahaan itu.Selama ini Golden Group memang dalam kendali Alex. Namun, semua itu tak lepas dari campur tanganku. Sehingga ketika perusahaan ini mengalami kekosongan kepemimpinan, aku sebagai wakil Presdir bisa mengambil alih kendali.Seperti saat ini, semenjak terjadi insiden yang tak mengenakkan Alex pun tak pernah terlihat di ruangannya. Begitu pula dengan Chateryn. Mejanya tampak kosong, sehingga pekerjaan yang harus dia tangani aku alihkan pada staf lain.Aku masuk ke ruangan yang biasa digunakan Alex untuk melakukan aktivitasnya yang menyangkut dengan perusahaan ini. Memeriksa beberapa berkas laporan yang s
Perlahan isakku mulai mereda. Walau tubuh ini masih dalam kuasa Alex. Tangannya yang menangkup wajahku, berkali-kali mengusap linangan air mata. Seakan dia tak ingin melihatku menangis.“Please, maafin aku. Aku mengaku salah. Aku khilaf. Kasih aku kesempatan, sekali lagi. Agar aku bisa memperbaiki semua kesalahan yang sudah kulakukan. Aku masih mencintaimu, Rania. Demi anak-anak kita dan nama baik kita di mata publik.” Alex memohon. Suaranya bergetar, dari keseriusannya sepertinya dia bersungguh-sungguh.Selama dua puluh tahun kami menikah, tak pernah aku melihat Alex sefrustrasi ini. Berharap aku mau memaafkannya. Dia telah mengakui kesalahannya. Tapi, apakah aku sanggup untuk memaafkannya?Aku teringat lagi dengan Paula dan Cylla, sudah pasti mereka masih membutuhkan sosok papanya. Sebagai pelindung, panutan dan tempat mereka bermanja. Apa lagi di saat menjelang mereka menikah nanti. Sudah pasti, Alex lah yang akan mendampingi mereka karena sebagai
Akhirnya aku pulang ke rumah yang telah kubangun bersama Rania. Dulu, tempat ini masih berupa sebidang tanah kosong. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan pundi-pundi untuk membangun rumah ini. Sebagian besar, rumah ini adalah rancangan Rania. Hingga terlihat sedemikian megah. Selera istriku memang luar biasa dalam mengatur segala hal.Aku menerabas ke dalam rumah menuju kamar. Tak kuhiraukan sapaan penjaga dan pelayan yang menyapa setiap bertemu denganku. Hanya senyum dan anggukan tipis sebagai balasan sapaanku pada mereka jika terpaksa kami bertatap muka.Aku berlari kecil menaiki anak tangga satu per satu dengan cepat. Ingin segera sampai di dalam dan menunggu Rania pulang. Aku bayangkan wajah surprise Rania saat melihatku di sini. Senang, marah, kecewa atau ….Kubuka handle pintu dan memutar tuasnya. Rupanya, pintu kamar tak terkunci. Kebetulan sekali, sehingga aku tak perlu mencari-cari Bik Shu untuk meminta kuncinya.Aku segera masu