Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.
Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.
Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.
“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
"Besok aku mau menemui klienku di Osaka. Mungkin aku akan menginap untuk beberapa hari," Pria tampan, berkulit bersih, berbadan porposional itu monoleh ke pintu kamar yang telah kubuka. Alex angkat bicara ketika melihatku masuk.Tampak ia tengah sibuk mondar-mandir dari lemari ke tempat tidur. Memasukkan pakaian dan barang-barang yang akan dibawa, ke dalam koper dan tasnya. Dari rautnya, sepertinya dia terlihat bingung. Kira-kira apa saja yang harus dibawa.Maklum saja, biasanya jika dia akan pergi, aku yang selalu menyiapkan barang-barang yang perlu dibawanya. Sedangkan kali ini, sepertinya pria itu ingin mengerjakan sendiri."Kok mendadak, Sayang," balasku sambil mendekatinya, mecoba membantu memeriksa. Sekiranya barang apa saja yang harus dia bawa.Kuraih koper Alex. Namun, bergegas dia menariknya kembali dengan sedikit kasar. Hingga membuatku terperangah. Menatap heran menyaksikan sikapnya yang tak seperti biasa."Sudah, nggak usah. Semua sudah sele
Aku menolak Rania untuk membantuku merapikan barang-barang yang aku bawa. Walau sebenarnya aku merasa bingung barang-barang apa saja yang harus kubawa. Karena selama ini hanya dia yang tahu dan mengurus semua keperluan dan kebutuhanku selama dua puluh tahun ini kami menikah. Aku hanya tak ingin Rania tahu, dokumen-dokumen apa saja yang akan kubawa. Aku tak ingin istriku terluka karena melihat dokumen-dokumen ini. Bahkan aku merasa gugup dan tegang karena telah membohonginya.Segera kututup tas dan koperku. Menguncinya agar Rania tak melihat isi dalam koper saat dia mendekat. "Sudah, nggak usah. Semua sudah selesai aku rapikan sendiri kok," ucapku menepis bantuan yang secara tidak langsung ia tawarkan.Kulihat dari sudut mata, Rania menatapku. Sepertinya dia merasa heran dengan sikapku yang tak biasa. Semoga keheranannya itu tak membuatnya curiga.Aku memalingkan wajah, agar dia tak bisa membacanya. Sebab wajah ini mulai menegang akibat kebohongan yang telah kubuat.
“Biasa, ada urusan. Cepet, buka gerbangnya,” jawabku seraya berjalan cepat keluar dari halaman rumah menuju taksi online yang sudah menunggu. Apalagi lampu kamar tengah menyala. Aku takut itu Rania, terbangun karena suara klakson dari taksi online.“Baik, Tuan!” Pak Kim bergegas lari mendahuluiku untuk membukakan pintu gerbang.Syukurlah, dia tak banyak tanya macam-macam. Dengusku.Segera aku masuk ke taksi online itu dan memberi perintah pada drivernya untuk segera meninggalkan rumah.*****Aku tersentak dan terjaga dari tidur. Rasanya seperti mendengar suara klakson mobil dari luar pagar depan rumah. Semula aku tak curiga sedikit pun. Apalagi di atas tempat tidur Alex masih tidur dengan selimut yang menutup rapat tubuhnya. Sehingga membuatku tenang dan kembali merebahkan sebentar tubuh ini, sekadar meluruskan kembali otot-otot yang sempat terhimpit karena posisi tidurku yang tak benar.Seraya mengedarkan pandangan dan melihat j
Sepekan sudah Alex tak ada kabar. Sudah beberapa kali aku mencoba menelponnya. Namun, kedua nomornya tak satu pun aktif. Wa terakhir yang kukirim pun juga belum dia baca. Sehingga aku tak bisa mengetahui kabar beritanya. Membuatku cemas, khawatir, memikirkannya apa yang tengah terjadi pada suamiku.Apakah mungkin gawainya tak mendapatkan sinyal di sana? Ah! Rasanya tak mungkin, di negara yang maju akan teknologinya, bisa susah mendapatkan sinyal. Kecemasanku semakin menjadi.Aku menerawang jauh ke cakrawala dari balkon kamar. Berharap mendapatkan jawaban dari atas sana. Agar bisa melampiaskan kerinduan yang kian mendalam. Pada belahan jiwa yang telah menemani selama dua puluh tahun ini.Alex, dimana kamu, Sayang? Aku sudah rindu padamu. Aku kesepian tanpamu. Aku ingin bercinta denganmu. Menuangkan semua nafsuku hanya untukmu. Aku butuh pelukanmu yang hangat, agar tak kedinginan seperti ini.Tiba-tiba suara gawaiku berbunyi dari dalam kamar.
Setelah Sarah pamit untuk menutup telponnya, aku pun bersiap-siap merebahkan tubuh di atas ranjang. Sendiri, tanpa Alex di sampingku. Aku merasa benar-benar kesepian di kamar ini. Dingin, tak ada pria yang biasanya selalu dengan senang hati bisa memelukku. Dada yang bidang serta tangan yang kekar, membuatku selalu nyaman berlama-lama di sana. Sambil mendengarkan alunan detak jantung yang seirama dengan napasnya.Menit kemudian, mataku mulai terasa berat. Kelopaknya sudah tak mampu menahan bola manik untuk tetap terjaga. Perlahan cahayanya mulai redup, lalu terpejam untuk membawaku ke alam bawah sadar.Berselang tak lama, tiba-tiba pipiku merasakan belaian halus dari tangan yang sangat kukenal. Mengusap lembut disetiap incinya. Membuatku dengan mudah bisa menebak siapa gerangan yang berada di belakangku. Memberikan kejutan cinta yang hangat.Aku menoleh ke samping kanan. Tanpa diberi aba-aba aku bergegas bangun dan menubruk pria berbadan atletis itu. Memeluk tubu
Kurebahkan kembali tubuh ini. Setelah menghabiskan air mineral di dalam gelas hingga kurasa tubuh kembali segar. Mencoba kembali memejamkan mata disisa malam ini.Akan tetapi, sudah beberapa menit mata ini tak mau terpejam. Pikiranku melayang terbawa mimpi yang baru saja kualami. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi gelisah. Membayangkan mimpi itu akan menjadi kenyataan.“Ya Tuhan. Jangan sampai terjadi,” gumamku. Kuusap wajah ini. Agar bayangan suram itu menghilang. Tak lagi menggangguku yang sedang kesepian.Kuambil gawai yang tergeletak di sebelahku. Mengusap layarnya, mencoba mengecek beberapa chat di sana. Siapa tahu ada berita dari Alex. Akan tetapi, harapan itu membuatku kecewa. Tak ada satu pun chating dari Alex.Kulirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka dua, sedangkan jarum panjang menunjuk keangka lima. Ah, ternyata waktunya untuk mengadu disepertiga malam.Bergegas aku beran
Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun."Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah."Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya."Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya b