Share

Mantan Digebet Temen

Sekian bulan berlalu semenjak hari di saat aku bertengkar hebat dengan Tasya. Aku tidak pernah mendengar kabar lagi darinya. Semua pesan yang kukirim dari berbagai media sosial diabaikan olehnya. Begitu pun jika aku mencoba untuk meneleponnya. Tidak digubris sama sekali.

Tak dimungkiri, aku menjadi lelaki yang amat sangat kesepian. Aku merasa kehilangan sosoknya yang selalu menghiburku saat pikiran begitu lelah dengan berbagai masalah. Kini, tiada lagi senyuman itu menghiasi hari-hariku.

“Eh! Kenapa lo ngelamun?” Seorang lelaki tiba-tiba menarikku dari dunia imaji.

“Nggak kenapa-kenapa. Gue ngantuk, mau tidur!” Kuletakkan ponsel di atas nakas, lalu membaringkan badan, memeluk guling.

“Eh, eh, eh! Jangan tidur dulu, Jay! Gue mau curhat sama lo. Bentar aja!” Tio menyatukan kedua tangan, memohon.

“Curhat soal apaan?” tanyaku, tanpa mengubah posisi.

“Gue lagi jatuh cinta, Jay.”

Aku terkejut dan segera terbangun. Tak percaya bahwa Tio yang merupakan sahabatku dari desa ini sudah jatuh cinta dengan seorang perempuan. Padahal baru beberapa bulan ini ia ada di kota. Setahuku, Tio juga tidak pernah peduli dengan dunia romansa. Bahkan dulu sewaktu ditaksir anak kepala desa saja, ia ogah.

“Serius lo jatuh cinta? Sama siapa? Cewek apa cowok?!”

“Yaelah. Aneh banget pertanyaan lo, Jay. Cewek, lah! Emang gue gay mau sama cowok,” celoteh Tio dengan dahi mengerut.

“Terus cewek yang lo taksir ini cantik, nggak?”

“Banget, Jay!” Kerutan di dahi Tio menghilang seketika. Senyumannya mengembang. “Yang pasti lebih maknyos daripada si Ratih, anak kepala desa di kampung kita.”

“Wah, boleh juga selera lo. Ya, udah. Apa yang mau lo curhatin sama gue?” Aku segera turun dari ranjang, kemudian bersila, berhadapan dengan Tio.

“Gini, Jay. Cewek yang gue taksir ini kuliahnya sama di tempat gue. Tapi ....” Tio menggantungkan kalimatnya. Senyumannya miring.

“Tapi? Kenapa?”

“Tapi, dia senior gue, Jay. Kira-kira ... bisa nggak, ya, gue dapetin dia?” Ada sebuah keraguan yang menyelimuti benak Tio.

“Lo, kok, ragu gitu? Ya, kalau lo berjuang, pasti bisa.”

“....” Tio tak merespons lagi.

“Dengerin gue, Yo! Cinta itu nggak mandang senior sama junior. Kalau emang lo jodoh sama dia, libas aja. Maju terus, pantang mundur! Itulah yang namanya jiwa lelaki sejati!” Aku mencoba untuk menyemangati Tio, menyulut api semangatnya. Memang, bukan tidak mungkin jika Tio mendapatkan satu atau dua perempuan di kota, sebab dengan wajah gantengnya, para wanita akan tergila-gila padanya.

Tio sendiri merupakan temanku semenjak kecil. Kami selalu melakukan sesuatu bersama, seperti makan bersama-sama, minum bersama-sama, bahkan mandi pun kami selalu bersama-sama. Meski ia lebih muda setahun dariku, tetapi Tio sering kali memberikan nasehat padaku. Soal ketampanan, aku mengaku Tio lebih tampan dariku. Ia lelaki yang berpenampilan serba sederhana. Sangat berkebalikan denganku yang selalu mengikuti tren-tren kekinian.

“Serius, lelaki sejati kayak yang lo bilang?”

“Yaelah. Percaya sama gue, Tio. Kalau soal dunia cinta-cintaan, lo bisa andalin gue, Yo! Gini-gini, gue udah naklukkin banyak cewek, kali.” Aku menepuk dada, berbangga diri.

Memang benar bahwa aku sangat berpengalaman soal dunia romansa. Meskipun wajahku tidak setampan Tio, tapi dengan penampilan dan kata-kata gombalku, setiap perempuan selalu tergila-gila. Oleh sebab itulah aku dengan mudah dapat pacar baru setelah putus dari pacar-pacarku sebelumnya. Tidak, aku tidak bermaksud sombong. Inilah kenyataannya.

Namun, entah apa yang sudah terjadi padaku saat ini. Ketika Tasya memutuskan untuk pergi dan tidak menampakkan wajahnya lagi di hadapanku, aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu. Aku tidak bisa mencari penggantinya. Aku sudah merasa sangat nyaman ketika berada di samping Tasya.

Begitu banyak perempuan yang jauh lebih cantik daripada Tasya, tetapi hati ini selalu meneriakkan namanya. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta sejati? Entahlah, yang kutahu, aku benar-benar belum bisa menerima kenyataan bahwa Tasya tidak lagi ingin aku menjadi penenangnya.

“Ya, udah. Gue bakalan ikutin saran lo, Jay.”

“Gini aja, deh. Kalau lo masih ragu bisa atau nggaknya dapetin tuh cewek, ajak cewek itu ketemuan sama lo. Tentu, gue juga bakalan ikut sama lo. Gimana?” saranku kemudian.

Sebetulnya, aku memang sedang malas untuk melakukan kegiatan. Namun, Tio ini sahabatku yang terbaik. Jadi, aku mungkin akan melakukan yang terbaik untuknya. Lagi pula, ini sudah menjadi kewajibanku sebagai orang yang sungguh dekat dengannya karena Tio juga selalu baik padaku.

“Boleh juga ide lo, Jay.” Tio kembali mengembangkan senyumannya.

“Tapi ... lo punya kontak si cewek, nggak?”

“Punya. Gue udah dua kali ketemuan sama dia, Jay. Tapi, ya, gitu. Kita cuma ngomong-ngomong masalah kuliah doang. Nggak lebih.”

“Nah, bagus kalau gitu. Besok mata kuliah gue cuma satu, jadi gue bisa pulang cepet. Dan lo harus ajak cewek itu ke cafe biasa tempat kita nongkrong. Oke?”

“Oke, Jay. Lo emang sahabat gue, deh!” seru Tio. Dengan lugas dipeluknya diriku.

“Eh, eh, eh! Apa-apaan, sih, lo! Lepasin! Gue masih normal!” Aku berusaha melepaskan dekapan Tio. Ya, aku merasa jijik. Tapi, sebagai orang yang sudah bersahabat sejak kecil, kami sudah biasa melakukan hal-hal konyol seperti ini.

Esoknya, sesuai rencana, Tio telah berada di sebuah cafe di kawasan Gomong, Mataram. Saat pesan Tio melalui WA sudah kuterima, aku melesat dari kampus menuju cafe.

Sebenarnya, Tio adalah lelaki yang agak ndeso. Namun, setelah kedatangannya di kota, pergaulannya jadi semakin luas karena aku memperkenalkannya kehidupan kota. Buktinya, Tio kadang selalu pergi ke cafe seorang diri jika merasa penat di kost.

Tio, lelaki bertubuh tinggi ini duduk di pojok cafe sebelah barat. Dengan segera kuhampiri dirinya.

“Tio!”

“Jay!” Tio mengacungkan tangannya. Kusambut dan bersalaman ala anak-anak kekinian.

Aku pun duduk di sebelah Tio. “Cewek itu mana?”

“Sebentar lagi dateng. Tadi dia nyuruh gue duluan karena dia ada janji ketemu sama dosen,” jelas Tio. “Lo kalau mau pesan minum, pesan aja dulu.”

“Gue ditraktir nggak?” godaku sembari senyam-senyum.

“Matre banget, dah! Iya, gue traktir. Nanti kalau misinya lancar juga gue bakalan traktir lo makan yang enak-enak. Gimana?”

“Ceileh! Boleh juga, tuh! Oke, sip!”

Kenapa aku sangat senang ditraktir? Tentu saja, dengan ditraktir aku bisa menghemat. Tidak sepertiku yang hidup pas-pasan, orang tua Tio terkenal sebagai orang kaya di desaku. Jika tidak menyisihkan uang saku, aku mana mungkin bisa membeli keperluan fashion-ku.

Bicara begini bukan berarti fashion adalah hal paling penting di hidupku. Setidaknya, aku harus tampil maksimal karena berada di kota seperti ini. Lagi pula, orang zaman sekarang selalu melihat orang dari penampilan. Itulah kenapa aku memegang prinsip “penampilan adalah kesan pertama”.

“Lo tahu, nggak? Dosen gue tadi habis dikerjai temen-temen kelas gue. Lebih parahnya lagi, si dosen ini padahal terkenal dosen killer, tapi setelah masuk kelas gue, si dosen bilang nggak mau lagi ngajar di kelas gue, Jay. Hahaha. Lucu banget dah mukanya, tuh, dosen.”

Tawa kami mengubah suasana cafe yang tadinya hening menjadi hiruk-pikuk. Kami mendapatkan perhatian dari pengunjung-pengunjung lain. Mungkin juga orang-orang sudah mengecap kami sebagai orang gila. Akan tetapi, seperti inilah kehidupan yang kami jalani. Bahkan, seserius apa pun masalah yang kami hadapi, saat kami berdua sudah bertemu, maka tawa akan sedikit meringankan masalah tersebut.

“Hai!”

Suara lembut seorang perempuan tiba-tiba menghentikan tawa kami. Tentu saja perempuan pemilik suara ini adalah perempuan yang diceritakan oleh Tio padaku. Hanya dengan mendengar suaranya saja, aku sudah bisa menebak akan secantik apa si perempuan yang bisa membuat Tio tergila-gila ini. Namun, ketika kutolehkan pandangan, aku membisu, tertegun, terbelakak. Atau sesuatu yang lebih mendeskripsikan bagaimana perasaanku ketika melihat perempuan yang dimaksud oleh Tio ternyata adalah ... Tasya.

Tentu saja, dia bukan Tasya yang lain. Dia Tasya yang beberapa bulan lalu sering menghiasi hari-hariku dengan senyuman dan lelucon khasnya. Memangnya, siapa yang menyangka kalau Tio akan mengenalkanku pada perempuan yang ternyata adalah mantanku sendiri. Jika aku dapat meramalkan masa depan, aku pastilah tidak akan mau membantu Tio. Yah, meskipun hal ini juga sangat sulit karena aku harus memilih antara sahabat atau mantan kekasihku.

“Eh, Tasya. Ayo, duduk, Sya.” Tio mempersilahkan Tasya untuk segera duduk pada kursi kosong di hadapannya.

Sebelum akhirnya duduk, Tasya sempat menampakkan wajah keterkejutannya karena melihatku. Walau demikian, tetapi tidak satu pun dari kami menunjukkan sikap saling mengenal. Nyatanya, kami sudah seperti seonggok batu kecil di antara tumpukan batu-batu raksasa. Tak saling menghiraukan.

“Oh, ya! Kamu mau minum apa, Sya? Atau mau makan?” Tio menawarkan kepada Tasya.

“Nggak usah. Aku minta jus coklat aja,” lirih Tasya, datar.

Tio kemudian memanggil pelayan cafe dan memesan minuman yang diinginkan Tasya. Sementara aku sejak tadi hanya bisa terdiam. Sesekali melirik Tasya yang begitu indah bak berlian permata, sang kekasih. Ya, aku masih menganggap dia sebagai kekasihku, sebab tidak pernah ada kata-kata ajaib yang terlontar dari bibir kami masing-masing. Aku juga tahu makna apa yang tersirat dari mimik yang membungkus wajah cantik perempuan ini. Pastinya, ia juga merasakan apa yang saat ini aku rasakan.

Bibir tipisnya yang ranum dan begitu menawan ini pada akhirnya mengungkit sebuah memori yang terkenang indah. Tatapannya yang sendu dan juga desahan napasnya; aku yakin tidak akan pernah bisa berpaling dari dia yang amat kucinta.

“Tasya? Ada apa?” Tio menghamburkan lamunan Tasya.

“Eh? Nggak ada, Yo. Gimana? Katanya kamu mau ngomong sesuatu sama aku.”

“Oh, iya. Bener, aku mau ngomong se ... suatu.” Tio mendadak gugup.

Pelayan datang ke meja kami untuk mengantarkan jus coklat yang tadi telah dipesan oleh Tio. Sementara itu, Tio menyempatkan diri berbisik-bisik padaku. “Jay! Gue harus ngomong apaan?”

“Ngomong apa aja. Terserah lo. Atau lo bisa ngajak dia keluar malam mingguan,” jawabku, berbisik.

Setelah akhirnya Tasya menghadap Tio, kami buru-buru membenarkan posisi.

“Besok ... malam Minggu kamu ... ada acara, nggak, Sya?” Tio tergagap. Hal yang sangat wajar, sebab ia tidak pandai berurusan dengan seorang perempuan.

“Hmm.” Tasya berpikir. “Kayaknya nggak ada, deh. Emang kenapa, Yo?”

“J-jadi gini. Aku ... aku mau ngajakin kamu keluar malam mingguan. B-boleh, nggak, ya?”

“Oh, gitu.” Sebelum melanjutkan, Tasya sempat melirik ke arahku sejenak. Tatapannya terkesan dingin dan seolah-olah tersembunyi makna di sana. “Boleh, kok. Dengan senang hati.” Tasya kemudian melebarkan senyuman. Memancarkannya untuk Tio, bukan untuku.

Tentu saja, karena yang saat ini menjadi tokoh utama ialah Tio dalam cerita Tasya. Tak lagi aku yang mungkin hanya dianggap tokoh antagonis atau figuran saja.

Tasya memang perempuan yang sangat baik. Selain itu, ia akan dengan senang hati menerima ajakan orang lain selama niat orang tersebut tidak aneh-aneh. Mungkin inilah sebabnya, aku tidak bisa berpaling dari kasihnya yang memabukkan.

“Asyik!” Tio menyeru senang. “Kalau gitu, aku jemput kamu besok jam tujuh.”

“Oke.” Tasya menyetujui, lalu menyedot jus miliknya.

Sudah tidak ada lagi yang dapat kulakukan, kecuali mengikhlaskan Tasya jatuh ke dalam cinta Tio, sahabatku. Aku sudah terlanjur mendukung perasaan Tio bahkan sebelum mengetahui ternyata Tasya-lah perempuan yang disukainya.

Beberapa menit sudah berlalu dan kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan. Dikarenakan Tasya juga mengatakan bahwa ia ada urusan mendesak.

“Eh, kita barengan keluar. Aku bayar dulu. Tunggu, ya!” Tio berjalan menuju kasir setelah memberikan senyuman yang begitu lebar pada Tasya.

Kini, hanya ada aku dan Tasya yang tengah terselimuti suasana mencekam. Meski kami sedang berhadapan, tetapi Tasya sama sekali tidak menganggap aku ada di hadapannya. Ia hanya memainkan ponselnya sedari tadi.

Ingin sekali aku mengajaknya bicara sepatah atau dua patah kata. Sekadar basa-basi normative atau sekadar menanyakan kabarnya.

“Tas—“

“Jangan pernah cerita ke Tio kalau kita pernah ada hubungan!” Dengan lugas Tasya menyorotkan tatapan tajam.

“Tapi, kita, kan, belum putus, Sya.”

“Jadi, gue harus ngucapin kata-kata itu? Oke, kita putus! Dan inget! Gue udah nganggep lo lelaki berengsek yang pernah hadir di hidup gue!” Tasya menghela napas panjang. “Dan gue udah nganggep lo mati!” lanjutnya, setengah berbisik.

Kalimat yang begitu menusuk hati. Bagaikan tertusuk paku bertubi-tubi, hatiku tetap harus bertahan meskipun tengah berdarah-darah. Aku hanya bisa menelan ludah sendiri seraya menundukkan kepala.

Dengan begitu, aku memutuskan tidak akan pernah mengganggu kehidupan Tasya lagi ataupun menceritakan kepada Tio bahwa kami pernah berpacaran. Ya, aku mengerti. Tio adalah sahabatku dari kecil. Jika sampai ia tahu, entah akan sekecewa apa dia nantinya. Persahabatanku dengan Tio tidak boleh hancur karena masalah cinta. Toh, buat apa juga aku mengaku-ngaku sebagai pacar Tasya? Dia juga sudah mengucapkan kalimat ajaib yang mampu memporak-porandakan hatiku seketika.

Mulai dari sekarang, Tasya hanyalah mantan kekasihku. Aku akan memberikan kesempatan untuk sahabatku, Tio, merasakan bagaimana indahnya dunia romansa. Pun merasakan bagaimana bahagianya punya seorang kekasih yang teramat cantik dan baik hati seperti Tasya.

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status