Share

Mendekati Kehancuran

“Jay! Kenapa lo ngelamun gitu? Ntar kesurupan setan lo!” Tio baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengelap rambutnya yang basah karena sehabis mandi.

“Nggak ada. Gue pengin ngelamun aja, sih.”

“Jay!” Tio duduk di atas ranjang, sementara aku tidur telentang menghadapkan wajah ke langit-langit. “Kalau lo ada masalah, cerita sama gue. Lo, kan, udah bantuin gue juga deket sama si Tasya.” Tio tersenyum meyakinkan.

Sangat menyebalkan sebenarnya bila mendengar nama Tasya dari mulut Tio. Meskipun dia teman ataupun sahabatku, tetapi tetap saja bila melihat Tasya bersama dengannya, aku ingin sekali berteriak dan memaki mereka berdua. Sangat kejam memang. Terlebih lagi, walau Tasya tahu kini aku adalah sahabat Tio, aku yakin sekali bahwa ia tidak akan pernah berhenti. Ia akan menyiksaku secara terus-menerus dengan cara seperti ini.

Sebab ini merupakan kesempatan baginya untuk membalaskan dendam sakit hatinya. Aku tak bermaksud berprasangka buruk, tetapi aku begitu tahu Tasya. Tentu saja, aku harus mempersiapkan diri untuk hal seperti ini dan bila perlu menguatkan hati.

“Kan, udah gue bilang kalau gue cuma pengin ngelamun, Yo.” Aku mengambil guling di sebalah kananku, kemudian mengubah posisi tidur. “Udah, ah! Gue nggak kenapa-kenapa. Mendingan lo siap-siap aja. Lo, kan, mau keluar sama gebetan baru lo itu.”

“Okelah, Jay. Gue berhutang budi banget sama lo.”

“Ngga apa-apa. Gue, kan, temen lo dari kecil.”

Kini, aku mungkin akan menjadi orang termunafik jika sampai Tio tahu yang sebenarnya. Kata-kata, perilaku, dan senyumku adalah sebuah kebohongan yang nyata. Aku bahkan sudah berbicara soal bagaimana menjadi seorang lelaki sejati, tetapi apakah perasaan tidak senang melihat sahabat sendiri bahagia juga bisa dikatakan lelaki sejati? Tentu saja, aku sudah tahu jawabannya adalah tidak. Namun, haruskah aku membiarkan perasaanku sendiri tercekik badai cemburu meskipun pada akhirnya niatku untuk membahagiakan seorang teman?

“Jay! Gue berangkat dulu, ya. Doain gue.” Aku menoleh dan menemukan Tio dengan kemejanya. Ketampanannya semakin menyilaukan dengan gaya rambut yang disebut dengan Quiff, yang mana sisi kanan dan kirinya sangat tipis, kemudian di bagian depan dibuat berdiri.

“Oke. Gue doain lo sukses,” jawabku kemudian. Tio melangkah keluar.

Apanya yang mendoakan? Aku malahan berharap acara mereka batal akibat sebuah bencana alam atau semacamnya. Dan kini aku hanya bisa memeluk diriku sendiri di dalam sebuah kesepian.

Kring! Kring! Kring!

Suara dering smartphone mengejutkanku. Dengan segera kujangkau smartphone di atas nakas. Dari notfikasi bar tertulis sebuah pesan dari seorang perempuan bernama Risna. Begitu kubuka pesan tersebut, Risna mengatakan bahwa ia sedang menunggu di luar kost-ku. Aku bersegera menjejakkan langkah, membuka pintu kost. Dari celah-celah gerbang, tampak Risna sedang berdiri memainkan smartphone.

“Risna?” sapaku sembari membuka gerbang kost.

“Hai, Jay!” Risna menampilkan senyum hangatnya.

“Hai! Ada apa, Na?”

“Gue mau ngajakin lo keluar. Ada waktu, nggak?”

“Boleh. Ke mana by the way?

“Ke mana ajalah. Yang penting sekarang naik mobil gue aja dulu, gimana?” saran Risna.

“Oke. Gue ganti baju dulu, deh. Lo tunggu di dalem atau—“

“Gue tunggu di mobil aja,” potongnya dengan lugas. Risna kemudian masuk ke dalam mobil merah mudanya yang terparkir di depan gerbang kost.

-II-

Kawasan pantai Senggigi dipenuhi orang-orang yang ingin menikmati kedai rasa restoran. Di tepi-tepi jalan penuh dengan berbagai pedagang, mulai dari pedagang sate hingga pedagang jus atau es kelapa muda segar yang mana lokasi ini sangat strategis untuk menyaksikan indahnya lautan malam. Jangan salah menilai. Tidak hanya dari kalangan ekonomi kelas bawah, tetapi jalan raya Senggigi juga padat oleh kalangan ekonomi kelas menengah dan kelas menengah atas. Dan di sinilah aku bersama Risna. Menikmati hidangan sate khas Lombok sembari menyaksikan gelapnya lautan di bawah jalan menanjak ini.

“Gue denger-denger katanya lo sama Tasya nggak pernah kontak lagi. Kalian sedang ada masalah?”

“Lebih tepatnya gue udah putus sama Tasya, Na.”

Risna yang tadinya akan menyantap sate miliknya, akhirnya terhenyak mendengar pernyataanku. “Loh, p-putus?! T-Tasya nggak bilang dia putus sama lo, Jay!”

“Baru kemarin ini Tasya bilang putus ke gue. Emang, sih, beberapa bulan yang lalu dia cuma bilang nggak mau diganggu gue lagi.”

“Gue boleh tahu, nggak, apa masalah lo sama Tasya sampai akhirnya dia bilang putus ke lo?” Risna meletakkan sepiring sate yang tadi ada di tangannya pada meja kecil persegi empat.

“Gue ngaku salah, sih. Ternyata gue lupa waktu keluar sama lo malam itu, Tasya ulang tahun. Dan gue udah janji sama dia waktu itu bakal nemenin dia dinner.”

“Jadi ... semuanya gara-gara gue, ya.” Risna tertunduk menampilkan wajah datar. “Pantesan aja Tasya dalam beberapa bulan ini selalu ngehindar dari gue.”

“Sebenarnya bukan salah lo. Ya ... guenya aja yang nggak inget sama janji gue ke Tasya. Dalam sekejap hubungan kami jadi ... seperti yang lo tahu.” Aku mengangkat es kelapa muda segar, kemudian menyedotnya hingga hanya menyisakan isi kelapanya saja.

“Gue minta maaf sama lo, Jay. Gue jadi ngerasa bersalah dengan apa yang terjadi antara lo sama Tasya. Pantes aja muka lo dari tadi kayak benang kusut. Ternyata lo terus-terusan mikirin masalah itu.”

Aku melenguh gusar, lalu mengarahkan pandangan ke jalanan yang ramai dengan lalu-lalang berbagai kendaraan. “Kalau masalahnya cuma bertengkar sama Tasya, gue juga nggak bakalan mikir sekeras ini, Na.”

“Maksud lo?” Risna mengerutkan dahi, masih merasa bingung dengan perkataanku.

“Faktanya sekarang Tasya deket sama sahabat gue, Tio. Sahabat gue dari kecil.” Tatapanku berubah kosong, seakan ketika mengingat-ingat perihal tersebut aku sedang berada di ambang kehancuran.

“Ya, ampun! Terus Tasya tahu, nggak, kalau si Tio ini sahabat lo dari kecil?”

“Ya, dia tahu, Na. Baru kemarin juga dia tahu waktu Tio ngenalin gebetannya ke gue yang ternyata adalah Tasya.”

Oh my God! Kayaknya gue harus ngomong sama Tasya besok.”

“Eh, jangan, jangan!” cetusku langsung. “Gue nggak mau sahabat gue Tio nanti benci sama gue kalau dia tahu soal ini.”

“Yaelah, Jaya. Sebelum semuanya terlambat, lo harus membicarakan semuanya. Apalagi, kan, mereka belum pacaran. Kalau nanti mereka udah melangkah lebih jauh lagi, lo bakalan nyesel. Percaya aja apa kata gue!” tegas Risna.

Aku hanya menghela napas gusar tanpa merespons lagi kata-kata Risna. Sudah tidak ada lagi yang bisa kuucapkan. Aku bagai melangkah ke jalan buntu yang gelap tanpa setitik pun cahaya yang menerangi. Memang betul apa yang dikatakan Risna, tetapi jika aku melakukannya, Tio mustahil tidak akan merasa kecewa padaku. Lalu, Tio pasti akan bertanya kenapa aku tidak mengatakannya sejak awal dia mengenalkanku pada gebetannya yang ternyata adalah Tasya, mantan pacar yang masih sampai saat ini kucintai. Jika aku terus-menerus membiarkan mereka berdua melangkah lebih jauh, hatikulah yang akan terus tersakiti entah sampai kapan.

“Gue bakalan ngomong pelan-pelan sama Tasya, Jay. Mana mungkin gue ngebiarin masalah ini bertambah parah. Apalagi, sekarang gue di mata Tasya pasti udah jelek banget. Dan lebih parahnya lagi, dia mungkin mikir kalau gue ingin ngerebut lo dari dia. Gue nggak mau itu terjadi, Jay. Gue juga udah lama temenan sama Tasya,” jelas Risna. Ada sebuah kecemasan yang memang membalutnya kala kutatap kedua bola mata cokelatnya.

“Hmm. Terserah lo aja, deh, Na. Yang pasti, gue nggak mau Tio sampai tahu masalah ini. Gue kayaknya bakalan butuh waktu dulu sebelum bisa jelasin semuanya ke Tio.”

“Oke, fix! Gue bakalan ngomong ke Tasya. Sialan! Kenapa lo nggak bilang dari dulu, sih, soal ini? Gue jadi ngerasa bersalah banget sama Tasya dan lo, Jay.” Risna menatapku dengan serius.

Aku percaya pada Risna dan semua yang dia katakan. Namun, aku masih merasa agak janggal pada sesuatu: mengapa Risna juga tidak ingat bahwa Tasya, yang sahabat dekatnya ini berulang tahun malam itu dan dia justru mengajakku keluar. Hal ini juga yang selalu menghantui pikiranku. Sebetulnya, aku tidak ingin berpikir buruk tentang Risna. Hanya saja, semuanya memang harus diperjelas.

“Gue, kan, nggak pernah ketemu lo lagi sejak waktu itu. Gimana bilangnya?”

“Oh, iya juga. Aaahh! Gue jadi risih banget sama masalah ini!” Risna menggaruk-garuk kepalanya. Geregetan hingga rambutnya terurai berantakan.

Begitulah Risna. Aku tahu bahwa Tasya tidak benar-benar berpikir Risna ingin merebutku darinya. Namun, Tasya hanya masih terbalut amarah yang begitu dalam padaku, hingga melampiaskannya juga kepada Risna.

“Tapi, gue yakin banget kalau Tasya sebenarnya nggak marah sama lo, Na. Sikapnya ke lo itu semacam pelampiasan amarahnya karena ulah gue. Jadi, kalau lo mau ngomong sama Tasya, jangan bahas apa yang gue ceritain ke lo tentang dia dan Tio.”

“Padahal tujuan gue emang gitu. Lo kenapa, sih, Jay? Emangnya lo nggak pengin balikan sama Tasya? Atau lo emang udah nggak ada perasaan—“

“Gue masih cinta banget sama Tasya, kok. Cuman lo, kan, tahu kalau sekarang ini posisi gue lagi kejepit.”

“Tapi, Ja—“

“Risna. Gue tahu lo orangnya baik banget, kok. Makanya, cewek baik seharusnya dengerin kata gue. Oke?”

Risna menghela napas pelan. “Ya, udah, deh. Terserah lo aja!” Ia kemudian menyantap sate miliknya dengan lahap. Tampaknya ia juga sangat kesal padaku. Ya, aku paham dengan perasaannya yang ingin mempersatukanku dan Tasya lagi. Sebab, dulu kami bertiga selalu menghabiskan waktu di tempat ini. Malam minggu kami selalu dihiasi canda dan tawa bersama-sama. Aku percaya Risna sebenarnya ingin mengembalikan momen-momen indah kami tersebut.

Walau demikian, aku tetap tidak ingin menyakiti sahabatku, Tio. Apa pun alasannya. Bagaimanapun keadaannya. Aku akan mencoba untuk ikhlas. Atau mungkin lebih tepatnya terlihat ikhlas. Ya, ampun. Itu tetap saja tidak ikhlas namanya. Jika aku berhasil melalui ujian Tuhan yang teramat berat ini, maka hatiku tidak akan memikirkan Tasya lagi. Pun aku tidak akan lagi takut menyakiti seorang sahabat yang teramat baik tersebut.

“Risna!” Kutatap wajah Risna lekat-lekat. Sambal sate yang ia makan berserakan di sekitar mulutnya. Kemudian kucabut sehelai tisu, membersihkan sambal yang belepotan di sekitar mulut Risna.

Mata kami saling bertemu. Bersitatap dengan lekat. Selang beberapa detik, Risna menolehkan pandangannya. Begitu pun denganku. Suasana mencekam akhirnya tercipta di antara kami.

Deg!

Detak jantungku berdegup kencang. Bagai ingin memecah suatu kesunyian yang terabdi dalam rasa canggung.

-II-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status