Share

Kemarahan Tio

Aku menghela napas gusar untuk kesekian kalinya. Dengan wajah kusut dan kepala dipenuhi pikiran kacau tentang Tasya dan Tio. Sejak sejam yang lalu, aku hanya menatap layar smartphone, melihat berbagai status penghuni media sosial. Kugestur ke bawah, memberikan tanda jempol, dan begitu seterusnya hingga berhenti ketika mendengar ketukan pintu dari ruang tamu. Aku berjalan gontai dan membuka pintu. Setelah melihat siapa yang datang, aku tertegun dan membelalak.

Sebetulnya, kalian pun bisa menebak siapa yang datang karena wajahku pasti sudah memberikan jawabannya. Sepertinya, aku memang harus terbiasa dengan kehadiran Tasya di dunia yang sudah berubah di mana aku hanya tokoh figuran ini. Dia untuk orang lain, bukan untukku. Karena memang seperti itulah kenyataannya.

“T-Tasya?” Cukup senang sebenarnya melihat Tasya datang ke kost lagi hingga jantungku pun berontak. “L-lo tumben. Ada—“

“Gue nggak dateng buat lo! Tio. Mana Tio?”

Ah, ya! Tentu saja dia tidak datang untukku. Sebab kini aku bukanlah siapa-siapa lagi baginya. Aku pun mendengkus pelan mendengar ungkapan Tasya yang ibarat palu raksasa, memukulku telak hingga lebur menjadi puing-puing yang tak dapat disatukan kembali.

“Oh. Ya, masuk dulu, Sya!”

Aku berjalan ke kamar Tio untuk membangunkannya. Tio terlihat masih tidur pulas.

“Tio!” panggilku sembari menepuk kedua pipi lelaki tampan ini.

“Ada apa, Jay?” Tio masih enggan untuk beranjak.

“Gebetan lo nyariin. Tuh, ada di ruang tamu.”

“Masa?!” Tio terhenyak dan bangkit. “Thank you, Jay, udah bangunin gue.”

Tio berjalan ke ruang tamu guna menemui Tasya dengan hati yang gembira, mungkin. Sementara itu, aku duduk lagi di atas ranjang. Apa yang bisa kulakukan? Tentu saja, aku hanya bisa melenguh bosan dan menelan perasaan geramku.

Kuraih smartphone di atas nakas. Membuka galeri, kemudian menampilkan sebuah foto sepasang insan yang berpose senyum sambil kedua jari membentuk huruf V. Seketika itu, pikiranku melayang menembus ruang dan waktu, kembali ke masa-masa bahagia yang kulalui dengan Tasya. Yang mana pada saat itu kami melepas semua beban di hati, kemudian memutuskan untuk memancarkan senyum hangat kami. Tidak dapat kumungkiri bahwa aku ingin sekali kembali ke masa-masa bahagia itu. Namun, bagaimana caranya? Masa lalu tidak dapat diulang kembali.

Takdir tidak dapat diputarbalikkan. Namun, aku memiliki kenangan yang sangat berharga dengannya. Sebetulnya, berharga atau tidaknya kenangan itu adalah bagaimana kita menyikapinya saat kembali teringat.

Pada akhirnya, semua itu hanyalah kenangan masa lampau semata yang terus-menerus membelenggu langkahku untuk melanjutkan hidup.

“Jay! Jaya!” Tanpa sadar, Tio telah ada di hadapanku, menatap aneh pada diriku. Dengan lugas kumatikan layar smartphone dan kumasukkan ke dalam saku celana.

“Apa maksud semua ini, Jay?” tanya Tio dengan ekspresi geram.

Aku melihat ada sebuah kemarahan yang sampai di puncak tertinggi dalam benaknya. Tatapannya yang tajam dan napasnya yang menderu, bisa kurasakan bahwa semua itu akan berujung pada hal buruk di antara kami.

Pertanyaan itu bagaikan sebuah bom yang meledak-ledak di dalam hati. Mataku membelalak.

“M-maksud l-lo—“

“Kenapa foto Tasya bisa ada di handphone lo, Jay?” Tio masih menyorotkan tatapan tajamnya padaku.

“T-Tasya? I-itu ... cuma ... cuma Facebook. Ya, gue nggak sengaja nemu akun Facebook gebetan lo, Yo,” jawabku, gagap.

“Terus kenapa bisa ada lo juga di foto itu?”

Sial! Gue lupa lagi kalau ada gue juga di foto itu. Ah, sial, sial! Harus bilang apa gue?

“Apa mungkin lo mantan pacar Tasya? Atau lo sebenarnya pernah deket sama dia? Kenapa lo cuma diem, Jay? Kenapa?”

Aku hanya tertunduk sambil membatin dalam hati. Aku benar-benar tidak tahu lagi alasan apa yang harus kukatakan. Tidak mungkin juga aku mengatakan bahwa aku adalah teman Tasya. Tentu, hal itu juga akan mengundang pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa lebih menyulitkanku nantinya. Dan kebohongan-kebohongan yang lain akan terus tercipta.

Gemeletuk!

Aku mendengar suara gertakkan gigi yang berasal dari Tio. Sudah jelas artinya bahwa dia tidak akan pernah menanggalkan setiap pertanyaan yang dia gantungkan padaku.

“Jay! Lo sahabat gue, bukan?”

“I-iya. Kita emang sahabat dari kecil, kan, Tio.”

“Kalau gitu ikut gue ke ruang tamu. Masih ada Tasya di sana.” Tanpa menunggu jawaban dariku, Tio melangkah menuju ruang tamu.

Aku tahu Tio tidak akan semarah yang kupikirkan. Sebab begitulah Tio. Meskipun sedang marah, tetapi wajahnya hanya terlihat biasa-biasa saja. Namun, justru karena Tio orang yang seperti itulah yang membuat aku tidak pernah berani mengakui semuanya. Dia tidak akan pernah mau berbicara lagi pada orang yang telah mengecewakannya. Dan sebenarnya, arti dari semua ini adalah bahwa Tio sangat marah.

Ketika sampai di ruang tamu, suasana di antara Tasya dan Tio benar-benar mencekam. Aku segera duduk di samping Tio dan menyiapkan diri untuk memberikan kalimat pertanggungjawaban.

“Aku emang pernah pacaran sama dia, Tio, tapi aku udah benci banget sama dia. Dia cuma laki-laki berengsek bagi aku.” Tasya membuka mulutnya. Tatapan bencinya masih saja setajam pedang.

“Jay! Kenapa lo nggak ngomong dari awal sama gue?” Tio menyilangkan tangan.

“Gue ... gue takut aja kalau lo tahu Tasya mantan gue, lo nanti malah nggak jadi gebet dia, gitu. Tapi, ya, gue ngaku salah.”

“Heh, mantan lo?!” Tasya menyeringai. “Jangan sebut-sebut gue mantan lo! Bagi gue lo bukan siapa-siapa. Gue nggak pernah kenal sama lo!” Tasya memancing amarahku.

Karena dia memang tahu aku tipikal orang yang gampang tersulut amarah. Karena itu, mungkin dia sengaja mengatakan semua ini agar aku terlihat seperti lelaki buruk di mata Tio.

“Sial! Bukannya lo dulu cinta mati sama gue?!” balasku, tak mau kalah. Akhirnya perdebatan terjadi di antara aku dan Tasya.

“DIAM!” Tio terpekik. Wajahnya mengerut.

Aku dan Tasya menghentikan perdebatan. Ini adalah kali pertamanya aku melihat Tio menampakkan wajah menyeramkan. Ada sebuah amarah yang sedang menyala-nyala pada tatapan matanya.

“Apa benar alasan lo kayak yang tadi lo bilang?” Tio mengembuskan napas panjang.

“I-iya. Gue benar-benar nggak mau sampai lo tahu. Gue takut aja ... lo ke-kecewa sama gue,” cetusku sembari tertunduk menatap lantai.

“Tapi ... apa kalian masih saling cinta?”

“ENGGAK!” Serentak aku dan Tasya menjawab.

Kini, tatapan Tio berubah heran, tak lama kemudian ia terkikik.

“K-kenapa?” Aku mengerutkan dahi. Heran.

“Kalian lucu aja.” Tak lama kemudian, tawa Tio mereda. “Ya, baguslah kalau kalian udah nggak ada hubungan apa-apa. Dan lo, Jay. Walaupun Tasya mantan lo, gue nggak peduli selama lo dan Tasya udah nggak saling cinta.”

“Jangan sebut aku mantan dia, Tio!” Tasya meninggikan nada suaranya.

“Jay. Kita emang sahabatan dari kecil, jadi seharusnya lo nggak nyembunyiin apa pun dari gue.”

“Ya, sorry. Gue, kan, cuma ngejaga perasaan lo sebagai seorang sahabat.”

“Ya, gue hargai itu. Tapi, lain kali jangan sembunyiin apa pun dari gue. Dari dulu, kan, lo tahu kalau gue—“

“Ya. Lo paling nggak suka gue nyembunyiin apa pun dari lo. Ya, udah. Masalahnya udah selesai. Gue balik ke kamar dulu. Pedes mata gue lihat si cewek garang.” Aku pun bangkit dan melangkah menuju kamar.

“Sialan! Apa lo bilang?! Cowok berengsek! Berani-beraninya lo bilang gue cewek garang!” balas Tasya, tetapi tak kuhiraukan dan terus melangkah.

Lega banget gue! Untung aja gue bisa ngeles!

Kini, aku sudah menambah level keberengsekanku di mata Tasya. Dengan ungkapan-ungkapan kebencian yang telah kulontarkan padanya beberapa saat yang lalu, tidak mungkin lagi Tasya akan mau melihatku. Atau bahkan aku sudah jadi seonggok sampah yang sama sekali tak ada harganya di mata dia. Meski begitu, aku bersyukur satu hal bahwa perihal ini tidak berpengaruh pada persahabatanku dengan Tio.

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status