Share

Perasaan Tasya

“APA?! Lo bilang gitu sama Tasya?!”

“Gue nggak punya cara selain itu, Na. Gue nggak mau persahabatan gue sama Tio berantakan cuma gara-gara gue masih sayang sama Tasya. Toh, perasaan gue ke Tasya juga udah nggak berguna. Dia udah benci banget sama gue sebelum gue ngucapin kata-kata ngeri itu ke dia.”

“Bodoh! Bener-bener bodoh, Jay! Dari mana, sih, keyakinan lo itu kalau Tasya benci banget sama lo?!”

“Ya ... coba aja lo tanya ke dia. Pasti dia bilang gue cowok paling dia benci di dunia, bahkan sealam semesta.”

Risna meletakkan kedua tangan di pinggang, lalu mengeleng-geleng. “Gue udah ngomong sama Tasya kemarin. Dan dia bilang masih cinta sama lo.”

“Hah? S-serius lo? Alah, palingan bohong.” Aku memiringkan senyuman.

“Nih, lo denger sendiri!” Risna memberikan smartphone miliknya.

“Buat apa?” tanyaku, belum mengerti dengan maksud Risna.

“Gue udah rekam semua percakapan gue sama Tasya kemarin. Gue juga udah potong poin-poin yang penting doang biar lo percaya sama gue,” jelas Risna. Aku pun mengambil smartphone di tangan kanan Risna.

Kuputar rekaman suara yang katanya telah direkam gadis tersebut.

‘Tasya! Gue boleh tanya satu hal nggak sama lo? Bukannya gue mau ikut campur sama urusan lo, sih. Gue juga sebenarnya masih nggak enak sama lo.”

‘Mau tanya apaan emang?’

‘Lo masih sayang nggak, sih, sama Jaya?’

‘Kenapa pertanyaan lo jadi aneh gini? Atau bener lo emang suka sama—‘

‘Enggak! Gue sama sekali nggak ada maksud buat ngerebut Jaya dari lo. Lo jawab aja udah. Lo masih cinta atau nggak?’

‘Y-ya ... gue masih cinta.’

Rekaman tersebut berakhir. Meskipun masih ragu, tetapi benar bahwa yang kudengar adalah suara Tasya. Namun, aku masih belum mengerti mengapa sikap Tasya begitu jutek padaku.

“Udah? Sekarang lo percaya nggak sama gue?” Risna mengambil smartphone-­nya kembali.

“Gue agak susah percaya, Na. Soalnya Tasya kalau ngelihat gue itu kayak cowok yang paling bersalah di dunia ini.”

Risna kemudian terduduk di sampingku. “Bego bener, sih! Lo udah berapa lama, sih, pacaran sama Tasya sampai nggak paham sama sifat dia?”

“Gue paham, kok, maksud lo, tapi untuk yang satu ini gue—“

“Eh, Jaya! Tasya itu cewek dan lo itu cowok. Dia nungguin lo bertindak sebagai cowok sejati. Masa iya lo mau Tasya yang minta maaf sama lo, sedangkan yang salah juga, kan, elo!”

Masuk akal apa yang dikatakan Risna. Akulah yang salah telah melupakan janjiku pada Tasya. Akulah yang telah membuat dia menjadi perempuan segarang saat ini. Mungkin memang benar Tasya menungguku bertindak sebagai lelaki sejati. Meminta maaf padanya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, sudah menjadi hal yang mustahil untuk memperbaiki hubunganku dengan Tasya, sebab aku masih memikirkan perasaan sahabatku, Tio.

“Gue bingung, Na. Gue kayaknya nggak bisa—“

Mendadak, Risna menggapai kerah kemejaku. Dicengkeramnya sembari mengarahkan tatapan kecewa.

“Pengecut banget lo jadi cowok! Tasya sahabat gue, Jay.” Risna kemudian melepaskan kerah bajuku. “Masak iya Tio yang sahabat lo dari kecil nggak bisa mengerti dengan posisi lo?” Perempuan berbola mata cokelat tersebut tertunduk.

“Kayaknya kita berdua butuh piknik, deh, Na,” kataku, mengalihkan pembicaraan.

“Ya, kayaknya gitu.” Risna berlirih.

“Kalau gitu, gimana kalau ke pantai? Yuk, ke pantai aja!”

“Tapi, Jay—“

“Udah, biar nanti gue pikirin masalah ini lagi.”

Risna menghela napas pelan. “Ya, udah, yuk! Lo yang nyetir, ya!”

“Oke!”

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status