Share

Risna di Mataku

Embusan angin pantai sejuk menyapa. Sore ini mentari sepertinya akan tampak begitu indah. Cuaca sedang sangat bagus. Ya, sangat berkebalikan dengan suasana hatiku yang kacau balau bagaikan balon hijau meletus ini. Karang-karang di tepi laut tak pernah menyerah meski jutaan kali bahkan hingga tak terhitung berapa kali telah diterpa sang ombak. Mereka tetap berada di sana. Diterpa ombak yang sama setiap harinya. Kadang lebih keras dan menyakitkan dari biasanya.

Bagaimana caranya menjadi setegar batu karang di tepi lautan? Bagaimana caranya bangkit setelah ditampar-tampar sebuah kenyataan kelam? Tentu, aku belum tahu jawabannya. Itulah mengapa aku bertanya pada hatiku sendiri.

“Ngomong-ngomong, lo masih pacaran sama cowok yang dulu itu, Na?”

“Nggak! Dia ternyata cowok berengsek. Selingkuh terang-terangan di hadapan gue.”

“Kok, gue jadi tersinggung banget, ya, lo sebut-sebut cowok berengsek.” Aku pun tercengir.

“Kenapa bisa?”

“Ya, soalnya gue sadar sama kelakuan gue yang udah bikin Tasya marah banget. Lagian, dia selalu bilang gue cowok berengsek. Gue jadi penasaran seberengsek apa gue sebenarnya.”

“Gue juga ngerasa tersinggung banget kalau lagi bahas masalah lo ini, Jay. Makanya gue minta lo cepat-cepat balikan sama Tasya biar nama gue bersih.”

“Lah, kan, lo udah minta maaf dan ngejelasin semuanya ke Tasya.”

“Ya, meskipun, Jay. Tetep aja gue masih ngerasa jadi sahabat terjahat di hadapan Tasya.” Risna menghela napas panjang. Lalu, kedua matanya memandang mentari di ufuk barat yang sesaat lagi akan terbenam dan menciptakan warna yang mewarni.

“Intinya kita sabar aja dulu, Na. Gue yakin, kok, semua ini masih bisa dibenerin. Kalau emang nanti Tasya jadian sama Tio, itu artinya Tasya nggak bener-bener masih sayang sama gue.”

“Terus gimana sama lo? Apa lo nggak keberatan kalau itu beneran terjadi?”

“Enggak. Meskipun nggak ikhlas, tapi menurut gue juga ada baiknya. Gue jadi tahu kalau Tasya bukan cinta sejati gue.”

“Yakin lo nggak bakalan nangis?” Risna tersenyum menggoda.

“Apaan, sih. Gue? Nangis? Masa iya, sih. Gimana, ya, wajah gue kalau nangis? Seumur-umur gue nggak pernah nangis gara-gara cewek, sih.”

“Ya, udah. Kita lihat aja nanti,” cetus Risna. “Oh, ya! Mungkin gue terlalu berlebihan sama lo, Jay. Jadi, gue minta maaf sama lo. Terserah lo aja mau nanggepin masalah lo sama Tasya kayak gimana. Gue kayaknya nggak bisa maksa lo juga buat bersihin nama gue di mata Tasya.”

Mendadak, tatapan Risna berubah seketika. Entah. Yang pasti, aku tidak pernah melihat tatapan perempuan bermata cokelat tersebut seperti saat ini sebelumnya. Selang beberapa saat, ia melemparkan sebuah senyuman. Perlahan bibirnya membentuk kurva. Hangat seperti mentari sore hari.

Aku tak tahu harus merespons bagaimana. Jadi, aku hanya bisa mengalihkan pandangan, kemudian menatap mentari yang sejengkal lagi akan terbenam di balik cakrawala.

“Jay! Lo pernah mikir nggak kalau hidup ini kadang nggak logis?”

“Maksud lo? Nggak logis kayak yang gimana?”

“Ya, maksud gue ... misalkan kayak jodoh. Kita nyari pasangan kadang terlalu jauh, tapi tahunya jodoh yang sudah disiapin Tuhan ada di depan mata kita sendiri. Lo pernah nggak mikir kayak gitu?”

“Baru denger, sih, gue. Tapi, bener juga apa yang lo bilang, Na.”

“Jadi, sebenarnya perlu nggak, sih, seseorang nyari pasangan itu? Katanya jodoh udah diatur Tuhan.”

“Ya ... perlu, sih. Menurut gue kalau nggak dicari, mana bisa jodoh lo dateng sendiri ke elo dan bilang, ‘Risna, gue jodoh elo!’.”

Risna akhirnya terkikik mendengar pendapatku. Wajahnya yang terhiasi tawa itu baru pertama kali kusaksikan. Tidak. Akan tetapi, baru pertama kali tawa Risna selepas ini kusaksikan. Ia seperti seseorang yang berbeda dari yang kukenal. Sehingga pandanganku masih terpaku pada wajahnya.

“Lo kenapa, Jay, merhatiin gue kayak gitu?” tanya Risna setelah tawanya berakhir.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku. “Ah, nggak kenapa-kenapa.”

“Jangan-jangan lo naksir sama gue, ya?” goda Risna. Ia kembali tertawa lepas.

“Ap-apaan, sih. M-mana mungkin, lah!”

Langit-langit di ufuk barat tiba-tiba berubah menjadi keemasan. Indah dan hangat. Sementara itu, tawa Risna telah berhenti. Kini, pandangannya mengarah pada sang senja. Sekelompok burung yang terbang untuk pulang juga menghiasi langit indah sore ini.

Seperti inilah seharusnya seorang sahabat. Ada di saat kita membutuhkan. Saling bekerjasama untuk mengurangi beban di pundak. Sedih boleh saja menghampiri, tetapi seorang teman tidak akan membiarkan hal itu semakin menjalar hingga menjadi kabut keresahan. Ketika kabut-kabut keresahan itu telah berubah menjadi badai yang berkecamuk di hati, maka sebuah angin yang tercipta dari jalinan persahabatan akan melenyapkannya, kemudian menjadi embun-embun penyejuk hati.

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status