Dua bulan sebelumnya."Hi, guys."Seorang laki-laki tampan dengan sorot mata yang tajam, berdiri di antara kerumunan anak muda yang sedang berpesta di sebuah klub eksklusif di Jakarta. "Nih dia yang ditunggu." Dean sahabat karib James langsung memeluk James. "Hai bro, kemana aja, nggak asyik kalau nggak ada elo." Bagus cowok asli dari Bali langsung gabung di antara James dan Dean. "Kalian nunggu gue atau nunggu traktiran dari gue." "Bwa hahaha, slow men, sarkas amat sih lo, kek kesambet penunggu jembatan Ancol." Dean yang terkenal ceplas-ceplos pura-pura meninju lengan James. "Sepet banget malam ini, nggak ada yang glowing." "Elo sih datangnya maleman, stok cewek bening punah. Yang bening-bening sedang sibuk méndesah sekarang di hotel atas." Bagus menimpali. "Gue abis disidang sama bokap, nyokap. Nggak bisa berkutik sebelum nunggu mereka tidur." James meraih pematik api menyalakan rókok. "Jadi anak konglomerat emang susah ya, apalagi masih darah biru." Dean manggut-manggut. "Ta
"Jamessss." "Hmmmm." "Jangan pergi dulu." Amanda memeluk tubuh James dari belakang, namun James tak menghiraukannya. "James, kamu denger nggak?" Amanda berusaha menahan pergerakan James yang sibuk memungut pakaiannya. "Denger, gue belum tuli." Dengan santainya James memakai pakaiannya kembali tanpa menoleh kepada Amanda yang mengajaknya berbicara. "Kok kamu gitu." Amanda mencebik melihat respon dari James yang terkesan cuek berbeda dengan semalam. "Kenapa?" James telah selesai berpakaian lalu menghisap rokok seperti kebiasaanya. "Kamu beda dengan semalam, sekarang kamu cuek, tadi malammm----" pipi Amanda bersemu merah, mengingat malam panas mereka. James terkekeh sambil menyemburkan asap rokok dari mulutnya. "Ckkk." James berdecak, selalu saja begitu, setiap wanita yang ditidurinya berubah manja dan malu-malu. Ia bisa menebak, bahwa Amanda menginginkan lebih dari sekedar hubungan satu malam. "Bagaimana kalau kita-----" Amanda yang masih télanjang berjalan dengan malu-malu mend
"Keberatan?" "Dengan senang hati, Pak." Dela, sekretaris barunya James tersenyum riang sambil berlari kecil untuk mengunci pintu. Ia dengan hati berbunga akan menuruti permintaan bos tampannya. Siapa yang bisa menolak pesona James Baskoro, CEO muda idaman wanita lajang seperti dirinya. Setelah mengunci pintu, Dela wanita muda berambut pirang itu mulai membuka kancing kemejanya satu persatu. Sejak Doni menghubunginya, satu minggu yang lalu, ia mulai gencar melakukan perawatan tubuh dan wajah di salon kecantikan langganannya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut, ia bahkan sempat panik ketika satu jerawat tumbuh di pipinya. Menurut keterangan Doni, James menyukai wanita yang berpenampilan sempurna dari wajah serta bentuk tubuh yang proporsional. Dela bahkan rela memperketat dietnya untuk menjaga keindahan lekuk tubuhnya. Kemarin ia sempatkan untuk luluran agar kulitnya terlihat lebih glowing, tidak lupa ia membeli parfum mahal yang bisa membuat laki-laki semakin tertarik untuk menghidu
"Ya Tuhan … apa-apaan ini!" Suara seorang wanita membahana setelah pintu dibuka secara kasar. "B-bunda." "James Oliver Baskoro!" James langsung mendorong tubuh Dela yang berada di atasnya dengan keras. James tahu jika bundanya sudah memanggil nama lengkapnya, itu berarti beliau sangat marah. Tubuh Dela terjungkal kebelakang. "Aduh." Dela memegang pinggangnya yang terantuk meja tamu. Wajah Dela jatuh tepat di kaki seorang wanita bule paruh baya berambut coklat. "Memalukan! Wanita macam apa kamu!" Pandangan Felicia, bundanya James sangat tajam kepada Dela. "Dibayar berapa kamu oleh anak saya untuk melakukan pekerjaan tambahan ini?" "S-saya." Suara Dela bergetar, lenyap sudah nàfsunya berganti dengan ketakutan dan rasa malu. James yang tak kalah takut, segera mengancingkan kemeja dan membetulkan sabuk dan resleting yang sempat Dela buka tadi. "Pakai pakaianmu, dan mulai detik ini kamu dipecat dengan tidak terhormat." "N-nyonya, sa ….""Pergi, keluar dari sini sekarang juga atau s
"Kita mau kemana, kak?""Kita keluar jalan-jalan, ya … setidaknya untuk saling mengenal, Nam." James merasa aneh, seumur hidupnya ia tidak bisa mengingat nama seorang wanita, kecuali Malika. Namun kali ini ia dapat mengingat nama Nami yang baru sehari dikenalnya.Felicia menyuruh James, mengajak Nami keluar untuk pendekatan. Tentu saja James menurut setelah diancam."Oh, oke." Nami tersenyum riang, entahlah jantungnya berirama ketika harus berdekatan dengan James. Nami bukanlah tipe gadis pemalu, sudah sangat sering berhadapan dengan laki-laki yang mengejarnya. Namun saat ini, ia akui agak sedikit grogi ketika berduaan dengan James. Mungkin ini yang dinamakan cinta, pikirnya."Bagaimana kalau kita nonton? Kamu mau?" tanya James."Why not. Aku suka nonton." Nami terlihat antusias."Kamu suka film apa?""Terserah, Kakak. Aku penikmat semua genre.""Emm …." James melihat-lihat list film yang terpampang di layar monitor."Itu saja, Kak." Nami menunjuk sebuah film kartun animasi produksi da
"Demi apa, elo sudah tunangan, James?" Bagus menepuk pundak James dengan keras sehingga minuman yang ada di gelas tumpah di meja. "Woe …kira-kira Bambang, yang kena masalah gue, kenapa elo yang heboh." James melotot. "Sorry bray, gue syok aja. Elo tiba-tiba udah tunangan dan minggu depan mo nikah." Bagus memasang wajah melasnya. "Cewek yang kek gimana yang bisa meluluhkan hati elo James, penasaran gue." Dean yang baru gabung ikut nimbrung. "Bentar gue kasih lihat elo. Beri penilaian sendiri aja. Males ngomongin gadis ingusan seperti dia." "Busyet elo udah nyimpen photonya dia, James?" Bian ikut-ikutan kepo. "Mana mungkin lah, gue berteman sama dia di akun sosmed. Nih kalian lihat sendiri." "Wih, nggak salah James, elo bukan pedófil, kan?" Dean terbengong melihat photo Nami. "Sembarangan." James memùkul kepala Dean. "Buktinya ini masih kek anak SMA, tapi imut sih gue juga demen yang kek gini" "Coba, coba, mana, aku pengen lihat." Bian merebut ponsel James dari tangan
Mata malika memanas, airmata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya luruh juga. Ia iri, hatinya berdenyut nyeri. James memperlakukan gadis muda itu dengan sangat manis. Kakinya tidak dapat ia kendalikan untuk mengikuti mereka berdua yang masuk ke dalam butik baju pengantin terkenal itu."May, ngapain lo? Kalau cuma untuk mengintip dari luar, mending lo pulang aja deh. Daripada kayak bintang sinetron di TV ikan terbang. Sekarang tanya dia, apa maunya? Ngegantung hubungan kayak gitu?" Fani kesal melihat sahabatnya itu beberapa kali mengelap matanya.Malika cuma menangis, tidak menghiraukan ucapan Fani."Ya ampun May, cinta boleh, bòdoh jangan. Udah sepuluh tahun lebih hubungan kalian tapi dia tambah sadis aja menyakiti elo. Kenapa lo masih bertahan, hem? Sumpah demi apa, gue nggak ngerti jalan pikiran elo.""Lo nggak ngerti apa alasan James berubah kayak gitu? Dulu dia nggak begitu. Itu semua salah gue, gue yang jadi penyebab James hidup dalam kebencian." "Segitunya elo masih belain dia? Se
"Nggel, hari minggu main ke rumah, ya?" James menemui Malika di saat jam sekolah sudah berakhir.."Nggak ah, aku ada kerjaan.""Nggak usah kerja, nanti gue kasih uang. Lo ikut aja sama gue, main ke rumah. Bunda pasti seneng lihat elo.""Nggak mau, aku mau cari uang sendiri.""Elo nolak? Baiklah, gue mau main gabung sama Kenzo dan kawan-kawan.""Eh apa-apaan, kamu jangan tawuran lagi." ucap Malika panik.James tersenyum senang saat Malika melarangnya untuk tawuran, ada rasa khawatir untuknya. Berarti perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan."Kenapa jadi senyum-senyum sendiri?" Malika terbengong."Nggak kok, kamu cantik banget."Pipi Malika langsung memerah. James selalu membuatnya tersipu. Cowok bule tampan yang urakan tapi bisa begitu manis ketika bersama dengannya."Yuk jalan, jangan bengong. Nanti pipi kamu meletus karena kepanasan." James mencolek pipi Malika. "Ih jangan colek-colek." Malika cemberut.Memang dasar cantik cemberut pun makin cantik. Pen gue …." James mendekatkan bi