Share

My Love Blows
My Love Blows
Author: Bukan Ardiyan

Bab 1 || Kisah Buruk

Disaat semua orang menorehkan tinta bertemakan cinta, tidak begitu dengan Xavier Alexa. Cintanya sudah kalut bersama kebencian yang menjalar bersama jiwanya. Jika saja ada level di atas kebencian, mungkin kata itu lebih pantas untuk disematkan kepadanya.

“Mas, dari mana kok baru pulang?” ujar wanita paruh baya yang terlihat kebingungan dengan raut wajah ketakutan, Adellia ibunda Xavier Alexa. Sekarang pukul 02.00 dini hari sudah sangat larut malam.

Disana sudah ada Xavier yang mengawasi dari tangga, dan tangga itu membundar sehingga dengan mudah dia menyembunyikan tubuhnya saat diam-diam mengawasi kedua orang tuanya, percayalah Xavier sudah merasakan aura buruk yang menyentuhnya.

“Gak usah banyak tanya kamu!” sergah pria dengan badan semampai dan urat yang terlihat begitu menonjol di tangannya,  itulah Daniel Aditiya, ayah keji, tidak berperasaan, dan banyak sifat buruk yang tidak patut untuk dikatakan sebagai manusia. Begitulah pandangan Xavier mengenai ayahnya.

“Kenapa jam segini rumah masih berantakan!” cecar pria itu lagi dengan tatapan mata yang sangat tajam, jari mengarah ke satu tempat yang memang terlihat sedikit berantakan, namun tidak begitu menganggu.  

Xavier masih di situ dengan posisinya.

“Tadi aku udah bersihin semua, mas,” ujar Adellia berusaha membela. Bola matanya sudah mulai berlinang air mata. Ah, itu adalah hal yang paling dibenci Xavier, melihat ibundanya menangis. Selama ini Xavier hanya melihat semuanya di balik tirai bayangan. Karena dia menyadari suara anak SMA kelas akhir tidak akan pernah didengar sama sekali oleh orang tua yang di butakan dengan cinta dan tidak akan sama sekali mempan jika digunakan untuk menasehati orang tua yang sudah kehilangan rasa manusiawinya.

Daniel mendekat dengan langkah yang dihentak-hentakan menghampiri Adellia murka, tangannnya mencekal rambut istrinya seraya berkata,

“Gak usah banyak ngeles kamu! Jangan bisanya cuma nangis aja! Kamu itu di sini cuma numpang, sadar diri!” pekik Daniel yang masih menikmati cekalannya. Dan istrinya, meringis kesakitan.

Perbuatan seperti ini sudah bukan hal yang tabu di depan mata Xavier. Setiap dia bertanya kepada ibundanya mengapa mau diperlakukan seperti itu, dan cintalah yang membuatnya bertahan itulah jawaban yang selalu diberikan. Xavier sudah benar-benar muak dengan kalimat itu. Melihat ibundanya diperlakukan seperti ini karena cinta membuatnya sengaja membutakan hati untuk tidak melihat kata ini -cinta- terlebih membukakan hati untuk menerimanya.

Sampai saat ini Xavier tidak mengetahui apa yang dilakukan ayahnya itu hingga sering sekali pulang larut malam, dia lebih baik bersuka-ria bersama ibundanya dari pada harus mencari  tau urusan orang tua itu. Namun, untuk kali ini dia berpikiran lain, prasangka buruk sudah memenuhi paradigma yang ada di kepalanya. Paling tidak dia ingin memberikan bukti kepada orang yang selama ini sangat dia sayang bahwa cintanya itu sudah menghancurkan kehidupannya.

Xavier menghampiri ayahnya yang sedang murka kepada istrinya tanpa alasan.

“PAPAH!!” pekik Xavier menuruni tangga yang tersusun rapi.

Sang ayah tidak menggubris kedatangan anaknya, justru wajahnya semakin terlihat murka, alisnya saling bertaut gerahamnya mengeras terlihat dari kejauhan. Dan ibundanya tercinta terkejut melihat kedatangan putra satu-satunya itu.

“Kamu ngapain kesini!?" Bentak Daniel dengan jari telunjuk yang ditorehkan kepada anaknya. Tangan  Daniel bergetar hebat, namun itu bukanlah getaran ketakutan justru itu adalah getaran yang ditimbulkan dari rasa geramnya.

“Lepasin!” tanpa rasa getir sedikit pun, Xavier melepaskan cekalan kejam Daniel yang sedari tadi menempel di rambut Adellia. Rambut Adellia berwarna hitam pekat dengan alur lurusnya namun karena usia yang sudah beranjak tua kini sudah beberapa helai mulai memutih.

-Pov Xavier-

Pagi ini mataku begitu sayup sembab akibat kejadian dini hari tadi, beruntungnya ayahku tidak begitu memberi perlawanan. Mungkin, badanya sudah sangat letih akibat ulah keji yang telah ia perbuat lainnya, bajunya saja bau minuman yang sangat mengusik hidungku.

Lagi-lagi pagi ini harus bersekolah bertemu dengan pelajaran yang membosankan.

“Mah, kepalanya masih sakit?” tanyaku sembari membelai lalu menyisir rambutnya dengan jari-jariku.

Mamahku selalu menyiapkan segala kebutuhan yang selalu kuperlukan, bahkan untuk sarapan pagi seperti ini tidak pernah absen. Berbeda dengan orang tua yang satu itu.

“Eggak sayang, mamah gak papa. Kamu bangunin papa mau ga sayang?”

Aku menggelengkan kepalaku mengisyaratkan sebuah penolakan. Bukannya tidak mau melaksanakan permintaannya, melihat wajah ayahku saja aku tidak sudi.

Selama ini semua pembiayaanku ditanggung mamahku, bahkan uang semua pembelanjaannya selalu dicarinya sendiri.

“Gak ah, mah. Vier mau langsung berangkat aja udah mau telat.” Kilahku sambil menatap jam yang berada di lenganku, masih pukul 06.30.

Aku beranjak dari kursi meja makan meninggalkan mamahku setelah berpamitan padanya. Melihat langit diluar yang tidak begitu cerah aku memilih untuk mengendarai mobil yang berada di garasi. Dan mobil ini juga adalah pemberian dari hasil usaha bisnis mamahku.

Rumahku dengan sekolah hanyalah berjarak waktu kurang lebih 15 menit saja jika mengendarai motor, berbeda jika harus menggunakan mobil, tentu akan sedikit lebih lama.

Selama perjalanan pikiranku selalu berkutat pada mamahku yang berada di rumah bersama orang tua sialan itu. Aku tidak memperdulikan hiruk pikuk yang memenuhi jalan raya, sungguh yang kuinginkan hanyalah bersama mamahku satu-satunya. 

“Selamat pagi Pak Tono!” sapaku kepada satpam yang sudah stand by di pintu gerbang berdiri tegak bak tiang bendera, aku sedikit akrab dengannya.

“Wuih Vier, makin tampan kalau make mobil?”

“Makasih, pak. Mau hujan kayaknya.” Tanganku menunjuk langit yang kurang bersahabat ini.

Setelah selesai memarkirakn mobil. Mataku nyalang melihat seseorang yang sangat asing. Rambut yang menjuntai sepundak, wajah berseri-seri dihiasi kacamata dan kulit putih indah menawan.

“Kedip Vier!” sergah Pak Tono dari kejauhan. Ah sial! Aku terciduk.

“Itu anak baru pindahan, kemaren sore waktu saya belum pulang ngeliat dia di TU” jelas Pak Tono tanpa kupinta.

“O” bibirku membulat, mencoba untuk tetap biasa saja meskipun sebenarnya melihatnya sekerjap membuatku tertegun karena parasnya. Dia menyatu dengan kesejukan pagi ini.

Tak ingin terlihat seperti orang bodoh segera kutinggalkan dan pergi menghampiri kelas.

Seperti biasa ketika aku memasuki kelas ini selalu saja sudah terdahului oleh teman-temanku yang datang lebih awal. Ah, mungkin aku yang selalu terlambat hehe.

Langkah demi langkah kutapak, dan mata mereka semua yang selalu mengintimidasiku menjadi penghibur suasanaku. Aku berusaha tidak peduli dengan mereka semua karena menurutku tidak ada yang menarik di kelasku ini. Orang-orangnya juga biasa, hanya saja mereka didominasi oleh para kutu buku.

“Hai, Vier...” seorang wanita dengan rambut lurus pirang menghampiriku, membuatku terkejut.

“Sendiri aja, nih?” cecarnya dengan pertanyaan tidak bermutu. Bagaimana bisa dia bertanya sedangkan matanya sudah bisa memberikan jawaban.

“Iya,” jawabku cuek.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan buku dari tasnya lalu menjulurkanya kepadaku seraya berkata,

“Minta tolong dong, Vier.” Wajahnya memelas. Aku memutarkan bola mataku malas.

Wanita ini bernama Asya siswi kelas sebelah. Karena dia mempunyai teman begitu banyak di kelas ini dan wajahnya yang bisa dikatakan memiliki kecantikan diatas rata-rata membuatnya disegani di kelasku, tentu tidak denganku. Aku bahkan risih dengan kehadirannya yang selalu mendekat kearahku. Seperti sekarang ini contohnya.

“Gue ga jago matematika, lo tanya Fano aja!” kilahku.

“Jangan gitu dong, Vier,” ujarnya dengan memanyunkan bibir bagaian bawah. Dan wajahnya terlihat sendu. Tentu usahaku untuk berbohong tidak akan mempan mengingat banyak piala yang sudah kusumbangkan untuk sekolahku ini.

“Iya, sini gue bantuin.”

Dengan sekejap matanya berbinar-binar, dan senyumnya melebar, aku tau sekarang dia sedang kegirangan. Aku mendengus pelan,

"Dasar wanita..."

Tring... tring... tring...

“Yah belum selesai, udah bel masuk. Gimana dong?”

Lagi-lagi wajah melasnya itu diperlihatkan dihadapanku. Khusus wanita yang satu ini sudah banyak cara kulakukan untuk menghindarinya, namun selalu sia-sia dia seperti bayangan yang selalu mengikutiku kecuali jika malam sudah tiba.

“Yaudah nanti lagi gue bantuin, balik sana!” ujarku pelan. Dia langsung meninggalkanku tak lupa senyum lebar sempat ia torehkan kepadaku.

“Ciee... cie...” Gemuruh suara satu kelasku. Aku tau itu semua ditujukan kepadaku, namun tidak peduli karena sudah menjadi hal yang sudah sangat lumrah di telingaku setiap pagi.

Drrttt... drrrt... drtttt...

Mamah memanggil

Kenapa tiba-tiba mamahku menelpon, rasanya tumben sekali. Baru kali ini dia menelponku sepagi ini, ada apa? Pikiranku hanya berkutat mengenai apa yang sudah dilakukan papahku tadi malam.

“Hallo, mah.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status