Share

Bab 2 || Bahagia

Perasaan Xavier sekarang sedang dirundung kebahagian. Bagaiamana tidak pasalnya ayah yang dia benci sedang pergi keluar kota, ini seperti pelangi yang datang setelah badai menghadang. Namun, entah apa yang dilakukan ayahnya dia tidak pernah tau dan tidak pernah ingin mengetahuinya. Yang terpenting bagi Xavier adalah ibundanya terjaga dari mara bahaya, dan ayahnya itulah sumber petaka menurutnya.

Sepertinya Fano teman sebangkunya itu menyadari hati Xavier sedang berbunga-bunga.

“Lo lagi seneng? Ayah lo lagi minggat!?” tanya Fano sekaligus memberi pernyataan.

Fano adalah satu-satunya teman yang mengetahui latar belakang kehidupan Xavier. Jadi sudah wajar jika dia mengetahui hal apa yang membuat Xavier sangat kegirangan. Fano adalah tipikal orang yang tidak banyak bicara, maka dari itu ia dijadikan tempat untuk mencurahkan segala masalahnya kalaupun itu hanya sekedar bercerita. Bahkan, dia memiliki kepribadaian yang hampir sama dengan Xavier hanya saja Xavier lebih unggul dalam hal akademik. Xavier selalu mendapat panggilan dari pihak sekolah untuk mengikuti perlombaan dan hasilnya tidak pernah mengecewakan, berbeda dengan Fano yang hanya memiliki kebiasaan bermain game online saja.

Tidak menjawab pertanyaan sekaligus pernyataan yang dilontarkan Fano, Xavier hanya menorehkan sedikit senyum kepadanya. Itu sudah sangat cukup bagi Fano untuk mengetahui jawabannya.

Ada orang yang sudah dijelaskan panjang lebar namun tidak mengetahui maksudnya, namun ada juga yang tidak dijelaskan dengan kata-kata melainkan hanya ekspresi wajah saja sudah sangat mengerti maksudnya.

“Xavier, ibu minta tolong bawakan buku ke kantor,” pekik Bu Faiza pengajar Bahasa Indonesia.

“Siap, bu.”

Hal seperti ini sudah sangat wajar dilakukan Xavier, bukan hanya satu mata pelajaran saja yang seperti ini. Hampir setiap guru yang kerepotan melakukan sesuatu selalu meminta tolong kepada Xavier, begitulah tugas seorang ketua.

“Vier nanti ibu minta tolong lagi ya,” pintanya lagi sebelum beranjak meninggalkan kelas.

Xavier tidak menjawab, kali ini hanya anggukan yang ia gunakan untuk mengisyaratkan jawaban.

“Mau dibantuin ga Vier?” pekik salah seorang wanita dari kejahuan. Terlihat ketiga temannya sedang tertawa. Elina, Davina, Alen. Mereka sedang menggoda Xavier.

Dari kejauhan terlihat Fano juga sedang terkekeh melihat gelagat mereka bertiga, Xavier hanya berdecak pelan lalu meninggalkan seisi kelas tanpa memberi sepatah kata apapun.

“Mau minta tolong apa, bu?” tanya Xavier setibanya di ruang guru.

“Oh iya ibu hampir saja lupa,” ujar Bu Faiza menepuk jidatnya pelan. “Tolong anterin Jenia siswa baru itu ya,” telunjuk Bu Faiza mengarah kepada wanita yang sedang duduk sendiri di bangku pojok kelas, “Ajakin dia keliling sekolah dulu supaya sedikit mengenal lingkungan. Dia murid baru di kelas ibu, jadi saya harus mengistimewakannya hehe,” jelas Bu Faiza panjang lebar.

“Nanti ibu izinin kamu ke guru lain,” timpalnya lagi.

                                                              ***

-pov Xavier-

Sepertinya aku tadi melihatnya, rambutnya yang panjang menjuntai sepundak, kacamata yang menghiasi wajahnya dan kulit putih itu... . Entahlah, begitu banyak wanita di sekolah ini. Segera kuhampiri wanita itu untuk memastikan wajahnya. Dan ketika aku sudah berjarak hanya beberapa meter dia pun menoleh, mataku terbelalak menatapnya.

Murid baru di kelas ibu.

"Bukannya dia wanita yang kulihat tadi pagi. Entah, drama apa yang kujalani ini, mengapa harus dia yang kulayani? Sudah seperti kisah pada novel-novel saja," batinku.

“Hai, kak. Nama gue Jeania panggil aja Jean. Nama kakak sen...”

“Udah ayok jalan!” ujarku tak ingin berbasa-basi lagi dengannya. Kulihat alisnya bertaut, mungkin dia kesal tapi aku tidak peduli.

Sekarang kami berdua berjalan bersampingan. Ah sial! Wajahnya yang menawan itu membuat mataku tidak bisa jika tidak mencuri pandangan.  

Perjalanan kami berdua hanya diiringi suara hentakan kaki saja. Aku enggan mencari tau lebih mengenai dirinya. Sampai pada akhirnya dia memulai untuk membuka topik pembicaraan.

                                                              ***

-Pov Jenia-

“Dasar kakak kelas ga ada akhlak!” desisku pelan agar tidak bisa terdengar olehnya.

Padahal ketika aku pertama melihatnya begitu tertegun akan ketampananya yang sangat elok itu. Setelah bertatapan langsung dan mendengarnya berbicara membuatku menyesal telah memujinya.

"Gue sumpahin lo ga nikah-nikah!" aku hanya berani membatin.

Bukannya dia harusnya mengenalkanku dengan lingkungan sekitar. Mengapa sekarang dia hanya membisu. Bahkan, perjalanan ini seperti sedang berada di kuburan, sunyi sekali.

“Kak gue gak dikasih tau nama-nama tempatnya?” ujarku memberanikan diri dengan bertanya kepada kakak kelas yang sangat songong ini.

Pandangangannya menoleh kepadaku, tatapannya meamng sangat tajam namun, aparasnya itu membuat hatiku tak berdaya jika harus berlama-lama ditatapnya. Dasar kaparat! Lo kenapa harus setampan ini sih?!

“Hei, punya mulut, kan. Bisa jawab gak?!’ ketusnya yang membuatku tersentak ke alam nyata. Sialan! Bisa-bisanya aku memikirkannya.

“Emang lo tanya apaan?!” tanyaku yang benar-benar tidak apa-apa.

Dia berdecak.

Jujur saja meskipun hanya melihatnya sekilas sudah membuatku melayang terbang jauh mengitari awan bersama alunan riang burung berkicau.

“Itu ruang gue! Ruang osis, gue ketuanya. Dan yang di sana itu.” Tanganya mengarah ke suatu ruangan sepertinya laboratorium, “Itu tempat gue juga, biasanya sebelum lomba gue belajar di sana. Lo liat ruang pojok di sana? Itu ruang gue juga, biasanya gue nyuruh ketua kelas kumpul di sana, dan itu...”

“Udah cukup, udah!” potongku sebelum dia melanjutkan kesombongannya itu. Apa maksudnya dia menjelaskan hal yang tidak bermutu seperti itu.

“Udah hafal?”

“Gak, gak perlu lo lanjut!” tegasku. Dia tersenyum iblis.

Akhirnya kami berdua berjalan dengan gaya seperti tadi, diam membisu. Mungkin, saling membisu seperti ini jauh lebih baik dari pada mendengar ucapannya yang membuatku naik pitam.

Sekolah ini begitu luas, sedari tadi berjalan tidak menemukan ujungnya. Mungkin, ini tujuan Bu Faiza wali kelasku menyuruh untuk berkeliling dahulu. Aku bisa saja tersesat jika berjalan sendirian.

Pikirannku berkutat akan sesuatu, mengapa banyak pasang mata dari kelas yang mengarah kepadaku. Sungguh itu membuatku sangat risih.

“Lo kenapa? Gak usah kepedean, mereka ngeliatin gue, bukan lo!” ketus seseorang yang menjadi pendampingku dia seakan bisa membaca pikiranku.

“Gue mau balik aja!” ujarku dengan kesal lalu pergi meninggalkannya.

“Tau jalannya?!” sergahnya.

Kakiku berhenti seketika mendengar pertanyaanya, karena hampir semua jalan yang dilewati tadi adalah kelokan tentu saja aku belum menghafalnya. Kubalikan badanku dan memandanginya yang sedang terkekeh, mungkin dia mengetahui aku yang sedang menahan rasa malu. Tidak mau memberikan jawaban berupa kata-kata, kugelengkan kepalaku beberapa kali. Dan dia menghampiriku.

“Gue anterin!”

Ah! Ini adalah hari pertama yang sangat menjengkelkan. Tentu semua ini karena ulah manusia yang sedari tadi bersamaku.

                                                              ***

Pada akhirnya Xavier benar-benar menunjukkan sifat aslinya. Dan Jeania masih begitu kesal karena ulah dari Xavier, tapi percayalah di hati mereka sudah tumbuh benih-benih bunga yang merekah berkat pertemuan ini.

Setelah sampai di depan kelas, Jeania sama sekali tidak berpamitan kepada orang yang sedari tadi membersamainya. Pikirnya lebih baik jika tidak bertemu dengannya lagi.

“Perkenalkan ini siswi baru,” ujar Bu Faiza kepada warga kelasku.

Mata mereka semua nyalang mengarah kepada Jeania. Karena kecantikan Jeania yang begitu menawan membuat mereka ingin terus-terusan memperhatikannya sampai begitu detail.

"Semoga saja disaat seperti ini wajahku bisa diajak bersahabat, jangan sampai merona karena rasa maluku," Jeania berharap dalam diam.

“Nanti kalian berkenalan sendiri saja, Jen kamu duduk di sana ya,” ujar Bu Faiza menunjuk bangku kosong, beruntung yang akan menjadi teman sebangkunya adalah seorang wanita. Jeania mengangguk lalu beranjak mendekati bangku untuknya bersinggah.

“Hai, nama lo siapa?” seseorang dengan perawakan kulit putih dan lesung menghiasi pipi, dia menjulurkan tangannya kepada Jeania, padahal  baru saja dirinya berkenalan di depan kelas. Segera Jeania menggapai lalu membalas juluran tangannya.

“Nama gue Jenia, panggil aja Jean. Lo?” jelas Jeania sekaligus membalikan pertanyaanya.

“Gue Carina Devi Auriga, panggilanya bebas. Panggil cantik aja!” ketusnya. Dahi Jeania mengernyit dan alisnya saling bertaut, Jeania memandanginya keheranan. Dia terkekeh melihat Jeania dengan ekspresi seperti itu.

“Biasa aja dong mukanya! Panggil aja Carina atau Rina juga gak papa. Semoga lo betah sama gue ye!” ujarnya. Jeania hanya mengangguk pelan.

“Tadi itu siapa lo?” cecarnya. Pikiran Jeania berkutat pada seseorang yang sedari tadi membersamainya. Lebih dari itu dia adalah seseorang yang memberikan kesialan di hari pertama Jeania bersekolah, itulah anggapannya.

"Jadi apakah orang seperti itu memilik banyak penggemar?" batin Jean.

Jeania menggedikan bahunya. Bahkan, sampai dia selesai menemani Jeania pun belum memberitahu siapa namanya.

“Belum tau namanya,” jawab Jeania datar. Rina malah mengernyitkan dahinya.

“Gue nanya cowo tadi itu siapanya lo! Bukan namanya! Tegasnya. Jeania menepuk jidatnya pelan.  karena Jeania masih sangat kesal kepada orang yang sedari tadi membersamainya itu, membuat pikirannya kian makin kacau.

“Tau gak sih, lo. Dia itu cowok...”

“Rina, harap tenang. Ibu mau ngejelasin materi,” tiba-tiba Bu Faiza menegur Carina dari kejauhan karena membuat kegaduhan. Jeania terkekeh pelan melihatnya.

“Nanti gue jelasin pas istirahat,” bisik Rina pelan kepada Jeania. Jeania memberikan ibu jarinya kepada Rina sebagi tanda telah menyetujuinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status