Share

Bab 3 || Informasi Penting

Hembusan angin semilir yang sangat ramah ini membuat suasana menjadi sejuk-menyejukkan padahal sekarang sudah hampir menjelang siang. Carina yang masih sangat menggebu-nggebu begitu antusiasi ingin menceritakan perihal mengenai Xavier, dia seperti langit hitam yang ingin memuntahkan air bah karena takk bisa terbendung.

Sampai saat ini hanya Jeania yang dengan terang-terangan memberikan penilaian sikap buruk mengenai Xavier. Bagaiamana tidak, wajah Xavier yang begitu rupawan sudah banyak memikat wanita yang melihatnya, lantas ditambah dengan akademiknya yang begitu mumpuni, tentu sudah sangat terlihat perfect di kalangan warga sekolah. Carina adalah salah satu contoh wanita yang sedang tergila-gila dengan paras yang dimiliki Xavier, kalaupun dia tidak pernah dianggap sama sekali.

“Sini, lo! Ikutin gue aja!” pekik Carina mencekal lengan Jeania,  sebenarnya Jaenia sama sekali tidak berminat untuk diajak.

“Mau kemana, sih?! Kenapa ga di kelas kita aja? Mager gue,” keluh Jenia. Carina tidak peduli.

Akhirnya dengan langkah gontai Jeania mengekor di belakang Carina. Sama seperti apa yang didapatnya tadi pagi, banyak pasang mata mengarah tajam kepada Jeania. Berbeda dengan tadi pagi, karena sekarang adalah jam istirahat pastilah lebih banyak yang memperhatikan Jeania.

“Gila, lo, Jen! Berasa jadi artis gue,” ujar Carina terkikik geli.

Jeania memutar bola matanya malas, dia sedang kesal. Padahal peasaannya sedari tadi dirundung kemarahan karena ulah Xavier tadi pagi dan sekarang Carina menambah kekesalanya, baru aja ia mengenalnya sehari.

“Nah sampai, deh,” ujar Carina setelah sampai kepada suatu tempat bertuliskan ‘Laboratorium Komputer’.

Jeania mengernyitkan dahinya dan alisnya saling bertaut dia begitu keheranan.

"Sebenarnya apa maksud dari wanita yang baru dikenal itu," pikirnya.

“Masuk! Lo ngapain matung di situ!?” tegur Carina melihat Jeania yang masih berdiri di depan pintu.

Tak ingin banyak bertanya terlebih dahulu Jeania memutusan untuk menuruti kemauan Carina, si wanita aneh yang baru ditemui. Dengan langkah gontai Jeania memasuki ruangan itu dan mengamati dengan seksama ruangan sekitarnya.

“Lo ngapain, sih?!” Carina mencekal tangan Jeania lagi. Kali ini Jeania menyengir kesakitan sayangnya Carina tak mengetahuinya.

Ruangan ini di penuhi dengan computer yang terlihat masih sangat baru. Bisa dikatakan laboratorium ini jarang sekali terpakai. Tentu, karena di tangan para siswa maupun siswi sudah ada smartphone yang  sudah sangat canggih itu, berbeda dengan dahulu. AC  yang menempel di dinding pun masih sangat baik digunakan.

“Lo ngapain ngajak kesini, sih?!” sergah Jeania menarik tangannya yang sedari tadi di cekal Carina sembari mengawasi sekitarnya yang masih sangat asing.

“Duduk sini duduk!” pinta Carina menarik bangku di sebelahnya. Jeania pun menghampirinya.

“Di sini itu…” Carina mendekatkan bibirnya ke salah satu alat pendengaran Jeania, “Dingin.” Seketika itu mata Jeania terbelalak setelah mendengar apa yang dituturkan Carina kemudian dia menepuk jidat Carina, Carina pun tersentak kaget.

“Bego, lo! Gue udah esmosi dari tadi pagi sekarang lo nambah-nambahin!”sunggutnya kesal.

Esmosi apaan?! Ngadi-ngadi, lo! Erosi kalik?” ujar Carina berusaha membercandai Jeania yang sedang tersulut amarah. Alhasil tidak begitu buruk, Jeania pun terkekeh mendengar lawakan kuno yang dibawakan Carina.

“Gue lagi serius, bege!” Jeania megusap air mata yang mulai menetes karena tawa bahak yang dibuat Carina barusan.

“Lagian lo erosian.”

“Udah gak lucu! Lo piker gue…” Jeania mengatup bibirnya menggunakan kedua tangannya. Dia tidak bisa berbohong, jika teringat lawakan yang  dibuat Carina tadi memang sangatlah lucu baginya. Apalagi bisa dikatakan  Humor yang dimiliki Jeania itu memang rendah, jadi sangatlah mudah untuk membuat dia tertawa.

Tanpa mereka sadari kedekatan mereka mulai terbentuk kurang dari satu hari. Jeania yang memilik sifat pemarah ternyata mampu bertahan untuk berteman kepada Carina yang notabene memiliki sifat sangat cerewet.

“Lo mau cerita apa!?” Teriak Jeania yang begitu nyaring membuat Carina terperanjat dari tempat duduknya, Carina jatuh ke lantai beruntung lantai itu dilapisi karpet. Sengaja Jeania melakukan itu, apalagi teriakan itu sangat kencang dan sangat dekat dengan kedua telinga Carina. Jeania Kembali terkekeh merasa berhasil terhadap apa yang ia lakukan barusan, wajahnya pun begitu tergugah sumringah.

“Sialan, lo, Jen! Sakit pinggang gue!” ujar Carina dengan nada lirih. Tangannya mengelus-elus pinggang yang dirasanya sakit. Melihat Carina merengek kesakitan perasaan iba pun muncul,  namun tidak dengan rasa bersalah. Jeania masih saja terkekeh sembari menolong Carina agar bisa duduk kembali di tempat yang sama.

“Aduh… duh… duh. Kasian anak mama ini,” ejek Jeania mengikuti Carina yang masih mengelus-elus pinggangya.

“Awas lu, jen! Gue bales,” ancam Carina yang sama sekali tidak membuat takut Jeania.

“Udah buru cerita!” pinta Jeania.

“Jadi Kak Xavier itu, pangerannya sekolah ini tauuuk!” bibir Carina terlihat begitu maju saat pengucapan kata terakhir.

"Oh jadi namanya Xavier," pikirnya.

Jeania tidak begitu terkejut dengan ungkapan pengeran itu, dia saja saat pertama kali bertemu bisa langsung jatuh cinta jika saja Xavier tidak begitu tajam saat berbicara.

“Iya terus?” ujari Jeania datar.

“Gila, lo! Siswi baru kayak lo gini bisa jalan sama Kak Xavier. Gue aja yang udah dua tahun mau lumutan belum pernah jalan sama Kak Xavier, Jen!”

Jeania menarik nafas panjang. Terlihat dari raut wajah yang sangat manis itu rasa kemalasan.

Dengan paras yang menawan sebenarnya sudah sangat biasa Jeania bertemu dengan pria yang memiliki rupa setara dengan Xavier, bahkan yang lebih pun banyak.

***

“Lo dari mana? Lama beut,” tanya Fano yang sedang asik bermain game online.

Xavier menarik bangku kosong yang berada disampingnya agar bisa meluruskan kakinya yang sedang kelelahan.

“Ada perintah tambahan dari Bu Faiza tadi,” ujar Xavier datar.

“Emang si ketua selalu sibuk, ya,” ejek Fano kepada Xavier namun tidak digubris sama sekali.

Sekarang pikirannya Xavier hanya berkutat pada satu wanita yang bersamanya tadi, Jeania. Dengan tubuh yang tidak begitu tinggi, rambut yang menjuntai lurus kebawah, dan wajah yang berseri-seri itu sudah berhasil membuat hati Xavier terpikat kepadanya. Padahal, dia memiliki tekad untuk tidak sesekali menyentuh kata itu -cinta-.

Memang benar, cinta bisa merubah segalanya. Karena cinta yang begitu dalam dia rela diinjak-injak oleh cintanya, bahkan disiksa dari hati sampai ke fisiknya, Sebagian orang mungkin mengatakan sebagai kebodohan. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda  Xavier. Dan karena cinta juga Xavier yang sedari kemaren bertekad untuk membutakan hatinya yang perlahan mulai luluh karena pandangan pertamanya.

“Lo ngapain masih ngelamun?” Xavier tersentak ke alam nyata mendengar tuturan Fano.

“Jam sekolah udah selesai, hari ini kan kita pulang lebih awal!” cecar Fano.

Xavier akhirnya teringat Kembali jika hari ini memang pulang  lebih awal. Xavier bahkan tidak sadar jika bel tanda untuk pulang sudah dibunyikan. Yang benar saja, pertemuannya dengan Jeania sudah mengacaukan pikirannya.

“Duluan ye.” Fano berpamitan dan dibalas anggukan Xavier.

Setelah membereskan buku-bukunya yang berserakan Xavier bergegas untuk pulang. Namun, tiba-tiba…

“Vier mau kemana, lo?!” itu adalah suara Asya yang sudah stand by di depan pintu kelas. Xavier menepuk dahinya pelan, dia teringat perkataannya tadi pagi. Padahal Xavier sudah sangat bersemangat untuk bertemu dengan ibundanya.

Akhirnya Xavier memutuskan untuk menepati perkataanya tadi pagi kepada Asya. Karena Xavier tidak ingin melihat ada drama-drama yang dibuat Asya. Dia bersyukur karena tadi pagi sudah banyak yang dikerjakan jadi sekarang hanya menyelesaikan sisanya. Setiap kali Xavier mengerjakan soal, Asya justru tidak memperhatikan cara pengerjaan itu. Mata Asya sedari tadi hanya terfokuskan pada wajah Xavier, wajah dengan rambut yang tidak begitu panjang yang menjadi mahkotanya dan mata sipit yang menambah keelokan rupa Xavier. Asya adalah contoh lain dari wanita yang sedang tergila-gila dengan Xavier.

Dan setelah semua soal terselesaikan Xavier segera beranjak meninggalkan Asya yang masih terkagum dengan cara pengerjaan yang dilakukan Xavier.

Setibanya di rumah, Xavier begitu terkejut melihat ibundanya sedang menangis. Dan tangannya terluka.

“Mamah!” pekik Xavier menghampiri ibundanya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status