Share

Bab 4 || Benci!

-Aku tau mencintai seseorang itu tidak perlu membutuhkan sebuah alasan, karena alasan hanya diperlukan saat kita membenci seseorang, dan aku mempunyai alasan itu.-

“Mamah!” pekik Xavier menghampiri Adellia.

Bercakan luka sayatan yang menetes dan meyebar disekitar lantai membuat hati Xavier begitu terenyuh seperti dipaksa untuk memasuki jurang yang sangat dalam, air matanya kini mengalir. Sedalam itu dia mencintai Adellia maka sesakit itu juga saat melihat Adellia menderita.

“Ini kenapa, mah?” tanya Xavier menggapai tangan Adella yang bergelayut lemas di atas bangku.

Wajah Adellia terlihat pucat pasi, tubuhnya terkulai lemah, luka itu sudah sedari tadi mengalirkan cairan merahnya. Terlihat bercakan yang masih segar berserakan disekitar lantai.

Tanpa pikir panjang dan dengan air mata mengalir deras tak bisa dibendung, Xavier membawa Adellia masuk kedalam mobil. Dengan langkah gontai namun perlahan Adellia bisa mengikutinya.

Di bawah terik sinar matahari Xavier menerjang hingar-bingar yang memenuhui jalanan. Sekarang pikirannya hanya dipenuhi harapan agar tidak terjadi apa-apa pada Adellia ibunda yang sangat dia cintai.

Tentu, bukan tanpa alasan Xavier begitu mencintai ibundanya. Sejak kecil kasih sayang yang ditorehkan hanyalah dari ibundanya saja, tidak dengan ayah yang bengis itu. Hanya berlalu-lalang meninggalkan luka di hati Adellia.

Berbeda dengan pemikiran Adellia, dia tidak pernah menginginkan seorang anak tanpa memiliki sosok ayah di sampingnya, itu juga menjadi salah satu alasan Adellia masih tulus mencintai Daniel. meskipun tentu masih banyak alasan yang bisa ia ungkapkan.

“Dok, gimana keadaan mamah saya?” tanya Xavier dengan nafas tersengal-sengal.

“Saudara Xavier tenang saja, luka di lengan Ibu Adellia sudah dijahit. Namun, untuk sekarang sedang tidak sadarkan diri, itu karena dampak buruk mendiamkan lukanya terlalu lama jadi darah yang terbuang cukup banyak,” jelas dokter yang mengenakan kacamata, tingginya tidak terlalu jauh berbeda dari Xavier.

Xavier menarik nafas dalam-dalam bersyukur tidak terjadi hal yang lebih buruk dari ini.

Namun siapa yang melakukan ini pada mamahku!?

Pikiran Xavier hanya berkutat pada seseorang yang berani dengan terang-terangan menyiksa ibundanya. Siapa lagi jika bukan ulah dari ayah bengis itu!?

Tak ingin hanya berdiri saja Xavier segera menghampiri ibundanya yang sedang terkulai lemah di atas dipan berwana putih  yang menciri kahskan rumah sakit. Tangan Xavier menguraikan rambut Adellia yang beberapa terlihat sudah memutih, membelai, namun tidak begitu nampak kasat mata.

“Mah... siapa yang tega ngelakuin ini?” ujar Xavier dengan nada lirih kepada seseorang yang berada di depannya tak sadarkan diri. Tangannya masih bergelayut di antara uraian rambut Adellia.

“Maafin Xavier, mah. Gak bisa jagain mamah,” cecar Xavier yang merasa sangat bersalah.

Tanpa disadarinya butiran air mata pun menetes membasahi Adellia, dan saat itu juga Adellia membuka matanya ia mulai tersadarkan diri.

“Mah, mamah...” pekik Xavier memeluk ibundanya. Dan suara isakan tangis pun pecah. Begitulah Xavier, seburuk apapun sikapnya di depan para siswi sekolah dia akan tetap mudah mencair di depan Adellia.

“Vier,” desis Adellia begitu lirih. Tangannya mulai mendekap anak semata wayangnya.

“Siapa yang tega ngelakuin ini, mah?” tanya Vier dengan nafas tersendat-sendat.

Adella menatap langit-langit ruangan yang tampak bersih. Pikirannya digeluti oleh seseorang, siapa lagi jika bukan suami yang sangat dia cintai. Adellia menorehkan tatapanya mengarah kepada Xavier dengan lekat-lekat, seakan memberikan isyarat.

“Mah, mau sampe kapan gini terus?” tanya Xavier membalas tatapan Adellia.

Adellia tidak menjawab justru dia tersenyum sumringah, padahal disaat seperti ini harusnya sudah cukup untuk menjadi alasan untuk semua kebengisan yang sudah ditorehkan Daniel.

Amarah sudah benar-benar menyelimuti raga Xavier, kali ini dia benar-benar akan memberikan pelajaran kepada ayahnya itu.

Lihat saja nanti, dasar ayah sialan!

“Tadi selepas mamah telfon kamu, ayah kamu pulang lagi, nak. Entah, mungkin ada barang yang tertinggal. Terus mamah tanya mau kemana, tapi ayahmu enggan untuk menjawab, mamah didorong terkena kaca meja. Itu salah mamah, sayang. Mamah yang gak hati-hati,” jelas Adellia yang masih saja membela Daniel.

Xavier mengepalkan tangannya seakan sudah ingin melampiaskan amarahnya dengan satu pukulan kepada Daniel. Adellia yang merasakan hal itu meraih tangannya yang masih mengepal dan mengusap-usap punggung tangan Xavier, Adellia mencoba untuk menenangkannya..

“Ga perlu seperti itu, sayang,” ujar Adellia sembari menggelengkan kepalanya. Namun, untuk kali in Xavier tidak bisa menuruti permintaan dari Adellia. Meskipun, senyum tipis menghiasi wajah Xavier. Tetap saja amarahnya sudah benar-benar menjadi nahkoda tubuhnya.

“Gimana tadi sekolahnya sayang?” tanya Adellia mengganti topik pembicaraan.

“Biasa aja, mah. Gak ada yang spesial!” Xavier menjawab dengan tegas sembari mengusap air mata yang sedari mengalir.

Adellia merengkuh pundak Xavier lalu mengelus-elusnya seraya berkata, “Udah ya, nak. Kamu jangan mikir aneh-aneh tentang ayah kamu!”

Xavier menarik nafas panjang, tak ingin membuat keadaan lebih buruk lagi, dia memilih untuk mengalah sementara.

“Iya, mah. Mamah cepet sembuh ya.” Xavier membalas rengkuhanya, sekarang mereka sudah saling mendekap dalam pelukan, begitu hangat dan harmonis hubungan mereka berdua. Mungkin, seperti itulah hubungan yang diinginkan oleh seorang ibu pada zaman sekarang.

Setelah melakukan adminitrasi pembayaran tidak mau berlama-lama lagi Xavier segera membawa Adellia untuk pulang.

“Mah, mau dimasakin apa sama Xavier,” pekik Xavier setibanya di rumah. Adellia mengernyitkan dahinya, dan tersenyum mendengar apa yang dilontarkan Xavier. Bagaiamana tidak, Adellia begitu paham putranya itu tidak pernah memasak bahkan menyentuh peralatan dapur pun dia enggan.

“Kamu emang bisa masak, nak?” Adellia menghampiri Xavier yang sedang berkutat dengan peralatan dapur, ia sudah seperti seorang chef dengan gaya memukau. Sebenarnya dia hanya memegang-megang saja. Mungkin, jika dilakukan tanya jawab seputar nama-nama peralatan dapur Xavier akan kebingungan.

   “Wah, mamah ngeremehin Xavier,” ujar Xavier berkacak pinggang.

   “Gini-gini Xavier jago masak, mah. Cuman ya jarang dilatih aja jadinya tumpul sama Xavier kan gak mau sombong sama mamah hehe.”

   Adellia mengangkat alisnya lalu memanyunkan bibir bagian bawahnya seraya berkata, “Sejak kapan?”

   “Sejak sekarang, mah,” celetuk Xavier dia terkekeh. Adellia menggelengkan kepalanya dan tersenyum bangga kepada putra semata wayangnya ini.

   Tiba-tiba Adellia menatap Xavier lekat-lekat, membuat Xavier keheranan.

   “Kamu udah punya pacar?”

  Pertanyaan itu seperti petir menyambar disiang bolong. Tak ingin menjawab Xavier hanya menggedikan bahunya, karena memang Xavier tidak ingin mencintai siapapun. Karena cinta baginya itu adalah luka.

Prinsip yang ditanamkan Xavier itu bukanlah hanya sekedar gurauan semata. Sudah cukup lama ia memegang kokoh prinsipnya. Meskipun ia sama sekali tidak memberitahukan semua itu kepada Adellia, sebagai seorang ibu ia sudah memiliki firasat yang cukup kuat. Adellia sudah merasa, hanya saja ia tidak ingin memastikan.

   ***

Bukan Ardiyan

Terima Kasih sudah mampir :) Ig : bukan_ardiyan Buat kalian yang suka puisi mampir ke YT aku yuk : Bukan Ardiyan

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status