Share

SAHABAT DAN  KISAH CINTAKU
SAHABAT DAN KISAH CINTAKU
Penulis: Nyi Mas Ratu Intan

1. ASAL USULKU

Bagian 1 (Kisah Masa Lalu)

Hari Kelahiranku

Namaku Sintia, aku terlahir di Bandung tanggal 23 September 1985, di seorang Bidan desa teman ibuku. Aku dilahirkan dari ibunda yang bernama Eni suryani dan ayah yang bernama Wito. Bagi mereka lahir itu anugerah, tetapi bagiku itu awal kepergianku, ya aku akan di adopsi, se-Malang itu nasibku sebagai calon bayi. Tidak lain tidak bukan yang akan mengadopsi adalah Kakak dari papa kandungku sendiri, yang tidak punya keturunan, karena menderita penyakit yang mengakibatkan tidak dapat memiliki keturunan, dan mereka sangat menginginkan keberadaan anak dalam rumah tangganya yang terasa kosong tanpa keturunan.

Hal itu berawal saat ibu kandungku yang sedang mengandungku dengan usia kandungan tiga bulan bingung mendapatkan kenyataan bahwa ia akan memiliki seorang anak kembali, Sedangkan beliau sudah memiliki empat orang anak yang masih kecil - kecil. Akhirnya mereka berniat membantu kakaknya agar memiliki anak, ahli waris dan teman saat tua nanti. Ya mungkin saja keputusan yang mereka ambil telah di diskusikan dan menjadi jalan keluar yang tepat bagi mereka tentunya, bukan berarti hal terbaik untukku kelak. 

“Wito ke mana En, masih ke kantorkah?”

“Iya Teh, Wito lagi ke kantor, mungkin hanya sebentar saja, kan ini hari Sabtu tunggu saja.”

“Iya, kita santai kok, biasa mau istirahat dulu, baru deh nanti pergi ke Bandung cari bahan kaos pesanan untuk konveksi teteh.”

“Iya En, santai saja jangan repot-repot kamu.”

"Iya, teteh sama Aa santai dulu ya, sambil minum teh dan kue seadanya nih.”

“En, kamu marut nanas muda untuk apa?

“Ini Aa Jun, Eni telat halangan, kemarin Eni ke bidan dan di tes tampaknya hamil lagi.”

“Terus?”

“Tadinya sih, ingin coba Eni gugurkan, pakai nanas muda atau jamu peluntur mumpung masih telat beberapa hari saja nih.”

“Aduh En, macam-macam saja kamu ini, kamu tidak takut pendarahan apa? Wito sudah tahu tentang semua yang kamu lakukan ini?”

“Ya bagaimana dong Teh, Aa, Eni bingung. Anak sudah empat mana masih kecil-kecil, Tino saja masih belum bisa jalan usianya baru enam bulan, Wito sudah tahu, tapi apa salahnya mencoba di gugurkan kalau memang masih bisa.”

“Simpanlah nanas itu ke dapur sekarang En."

"Iya Aa."

"En, kamu tahu aku dan Sofia belum punya keturunan, dari pada kamu keguguran, bagaimana kalau bayinya untuk kita, nanti kami ambil dan jadikan anak kandung deh? Biar kami yang akan mengurusnya dan membesarkannya.”

“Iya, aku sangat inginkan anak En, Sofia bagaimana? Kamu setuju tidak dengan saranku?”

“Ya kalau papa dan Eni sudah setuju dan diskusi, tidak apa-apa, aku sih ikut saja keputusannya.”

“Ya sudah kalian istirahat dulu, aku tidak jadi minum jamu dan nanas ini sementara, kita tunggu Wito pulang dulu ya, nanti kita bicarakan lagi saja kehendak kalian ini.”

Beberapa bulan kemudian

Tibalah saat itu, ibu melahirkan aku. Mama Sofia dan Papa Juniar tampak girang tak bertepi, inilah waktu yang mereka harapkan dan impikan, menjemput aku ketika telah lahir di Bandung, ya seorang bayi mungil tanpa dosa yang kemudian di beri nama Sintia. Itu asal muasal aku berada di keluarga baruku ini.

“Teh kumaha kabarna damang?”

“Alhamdulillah To, kabar Teteh damang.”

“Anaknya sudah lahir, kemarin Jumat tanggal 23 September, pas banget saat azan Shalat Jumat.”

“Alhamdulillah, tadi kami dengar dari abah dan emak, mereka cerita saat kami tiba.”

“En mana Sintia? Ambil.”

“Sintia akan di ambil, Ya Allah bagaimana ini? Aku sudah sangat sayang kepada Sintia.” Keluh Eni dalam hatinya. 

“Ya Allah, jika aku batal kasih bayi ini, bagaimana dengan janjiku? Kasihan Teh Sofia dan Aa Jun yang telah mengharapkannya.”

Begitulah ibuku bercerita padaku, saat aku sudah besar ini. Dan tahukah semua itu bagaikan petir yang menggelegar dalam hatiku, sedih, remuk, hancur, merasa tak percaya mendengar pengakuan dari seorang wanita yang melahirkan ku.

“Sofia, ini Sintia coba lihat, cantik, mungil, putih dan lucu kan bayi ini?”

“Kami sementara kasih nama Sintia saat lahir, Sintia Nur Wijaya sesuai dengan nama keluarga kita, kalian jika mau merubahnya tidak apa-apa nanti. Jun ayo! Kita ke kantor catatan sipil, mumpung belum tutup, kita urus surat-surat kelahiran Sintia.”

Saat aku di jemput, jiwa ibuku terguncang, di lihatnya putri kecil, imut dan cantik. "Bagaimana dengan janjiku Ya Allah." Pekik ibuku dalam hati. Jika bayi ini tidak aku berikan, bagaimana dengan perasaan kakak dan iparku. Dengan bercucuran air mata, ibuku memberikan aku kepada mama baruku, di lepaskan bayinya dalam genggaman, di pandangnya bayi itu pergi meninggalkan halaman rumah. Mama dan keluarga terus mengikuti kepergian ku, sampai akhirnya aku pergi naik bus antar kota dengan papa dan mama baruku, bukan waktu yang sebentar perjalanan kami, jarak Bandung - Lampung saat itu hampir 24 jam perjalanan darat. Cukup lama dan melelahkan sekali bagi seorang bayi yang masih berumur seminggu.

Seketika pecah tangis ibuku di pelukan ayahku, bayi kecilnya pergi demi kebahagiaan kakak tercintanya. Di dekap oleh ibuku baju bayiku yang masih tersisakan bau ompolku, di peluk oleh ibuku bantal bayiku yang jatuh tertinggal. Sintia!! jerit ibuku memanggil, semakin pilu di temani dingin dan sepinya malam. Begitu pun dengan ke empat kakakku yang belum tahu apa yang terjadi terhadap adik bayinya. Mereka mencariku, ibu di mana Sintia?...adik mana ayah....?

Dan hari pun berganti, bulan pun kian berganti, mereka mulai terbiasa hidup tanpa aku. Ibu dan ayahku kembali dengan rutinitas kantor dan bisnis katering mereka. Menjalani hari bersama ke empat kakakku yang lain di Bandung, di kota kelahiranku yang aku tinggalkan itu sejak usia 7 hari itu.

Akan tetapi, hampir setiap bulan kami pulang ke Bandung ke rumah nenek, kami datang tidak hanya berlibur saja, tetapi sekalian mama dan papaku belanja keperluan konveksi mereka, seperti bahan baju, kerah, benang, alat-alat mesin jahit serta semua kebutuhan lainnya. Aku sering bertemu ibu dan ayahku, tapi aku menyebut mereka dengan panggilan om dan tante begitu polosnya dan tak mengerti aku. Begitulah aku, mendengar kisah tentang aku kecil, yang di jelaskan oleh ibuku saat aku dewasa kini. Kaget, dan pasti nya terkesima, hanya saja hal itu membuat aku paham kenapa om, Tante bahkan para sepupuku selalu membulying ku selama ini. Tatapan-tatapan sinis, kode-kode mata yang selalu membuat aku bertanya-tanya.

Tepat satu minggu aku lahir, sesuai dengan janji para orang tuaku mama dan papa adopsiku pun menjemputku ke Bandung. Ya papa Juniar dan mama Sofiaku, mereka sangat menyayangiku dan memberikan nama yang indah untuk aku "Sintia Budiyanti" , kami pun mulai hidup di Lampung, kami dari keluarga yang berkecukupan. Tapi bagaimanakah keseharian mereka sebelum aku bergabung? pastilah mereka hanya berteman dengan sepi melewati hari-harinya.

Sudah genap empat tahun papa dan mamaku menikah, sejak tahun 1982 tetapi mereka belum juga di karuniai putra atau putri yang di idamkan selama ini. Mama dan papaku mantan atlet, latar belakang pendidikan mereka SMOA Bandung atau setara SMK bagian olah raga, papa memiliki hobi lari gawang dan menjadi seorang atlet PON ke delapan sedangkan mamaku memiliki hobi sepak bola putri. Ya tahun 1980-an olah raga itu sempat terkenal di beberapa kota di Indonesia. Klub sepak bola mamaku bernama Priangan karena berasal dari kota Priangan Bandung. Nah itulah yang menjadi cikal bakal nama bisnis konveksi mamaku sampai kini, dengan alasan agar terus terkenang dengan hobby dan teman-temannya dahulu.

Ya mereka menikah di umur yang sudah cukup matang, papaku berumur 31 tahun dan mamaku berumur 30 tahun saat itu. Mungkin itu salah satu penyebab mama dan papaku tidak di karuniai keturunan sampai saat ini, selain penyakit yang di derita papaku.

Nenek dan kakekku baik dari pihak mama, atau pun dari pihak papa bekerja sebagai pensiunan Abri, dulu sebelum kemerdekaan Indonesia Cimahi jadi basis militer, ya pasti dong kakek dan buyut kami semua wajib ikut berjuang merintis kemerdekaan. Kakekku, kakaknya, sepupunya hampir semua bekerja sebagai seorang Abri. Ya mereka memiliki watak yang keras, tegas, teratur, menjaga adat istiadat, agama, sopan santun dan tata krama. Segalanya bagi mereka nomor satu dan wajib diterapkan dalam hidup. Yang secara tidak langsung semua itu di ikuti oleh anak dan cucunya termasuk aku.

Kakekku memiliki hobi bercerita, beliau suka bercerita kepadaku kisah-kisah perang dan perjuangan bangsa khususnya area Bandung dan Jawa barat, hampir setiap siang hari sambil duduk di pangkuan kakekku, aku dengarkan semua ceritanya, aku yang masih di bawah lima tahun, bagiku semua cerita kakek keren, sampai - sampai aku tertidur karena lelah mendengarnya. Hampir semua kisah- kisah pendirian batalion Siliwangi Cimahi Bandung, kakek orangnya tegas dan dia punya sapu rotan yang biasa di pukulkan ke cucunya yang tidak nurut dan bandel pastinya.

Sedangkan para nenekku banyak yang pintar bahasa Belanda dan Jepang tiap hari yang diajarkan adalah sebuah nyanyian untukku yang berbahasa Belanda atau Jepang, tapi sekarang aku telah lupa bait dan nada-nadanya. Lucu, gembira dan terhibur sekali aku melihatnya. Nenek sering bernyanyi di dapur, sambil masak untuk makan malam kami. Mereka bilang pendidikan zaman kolonial Belanda dan Jepang sangat terbatas dan tak sebebas kini, hanya orang-orang yang memiliki harta atau kedudukan tinggi yang anaknya boleh sekolah, dan pendidikan sekolah zaman itu sangatlah ketat dan sulit. Dan banggalah kita yang sudah merasakan saat kemerdekaan Indonesia dengan segala fasilitas pendidikan yang baik.

Mungkin cerita ini akan selalu di kenang, kelak saat aku tua nanti. Yang pasti sekarang sudah sangat jarang kita temui di zaman milenium seperti ini, kisah-kisah klasik yang penuh haru dan perjuangannya. Sangat seru sekali saat kecil, nenek dan kakek sering tinggal sementara di Lampung bersama kami, jadi rumah tidak terasa kosong dan sepi saat mama dan papa pergi ke kantor. Mereka selalu menemaniku setiap hari dan aku sangat merasa di sayang dan terhibur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status