Maret 2020
Pergi, pergi dari sini...keluar kalian dari rumahku...aku berteriak serasa otot leherku hampir putus saja.
Dan seketika aku menarik mereka pergi dari depan rumahku, ya mereka adalah para paman dan bibiku baik dari pihak mama atau pihak papa yang sedang kumpul di rumahku. Mereka yang selalu merongrong kepadaku, mereka yang selalu mengganggu ketenangan hidupku selama berpuluh-puluh tahun sejak aku masih kecil. Dan hari ini hal yang paling aku takuti terjadi. Mereka meminta hak warisan yang aku warisi dari almarhum mama dan papa. Kusut, sekusut ini masalah yang aku alami.
Terkadang aku sering berpikir, aku muak dengan semua ini. Dengan segala yang telah terjadi. Kenapa aku terkadang merasa hidup seperti sebuah kutukan atau karma buruk. Dan aku selalu tidak di sukai dalam segala hal oleh para paman dan bibiku atau para sepupu-sepupuku yang lainnya. Tanpa sebab yang pasti. Dan kebaikan yang aku pupuk, aku berikan, aku jaga untuk keluarga besar ku itu berasa sia-sia saja, percuma.
Bukan inginku untuk di ambil menjadi anak kandung dari kakak kalian sejak 35 tahun lalu. Bukan ingin aku juga jika di lahirkan di dunia ini, karena memang aku selalu disini yang salah dan kalah, yang tak pernah kalian hargai sebagai seorang manusia. Penuh amarah dan kesal yang menggebu-gebu keluar dari dalam hatiku. Dan aku ingin semua siksaan moral ini berakhir, cukup sampai hari ini saja, cukup dan aku enggan kenal dan mengetahui kalian lebih jauh lagi, anggap saja kita tidak pernah tau dan saling ada. Aku capek menjadi orang yang tertekan secara psikologis. Dan jika rasa dendam dalam hatiku tumbuh, ingin rasanya membalas kejahatan dan kekejaman kalian kepadaku, dan mungkin hanya dengan menyaksikan kalian terjatuh itu adalah kebahagiaan bagiku. Aku hanya ingin membalikan keadaan, apakah kalian mampu jika suatu saat kalian berada di posisiku atau menjadi aku. Dan aku akan tertawa melihatnya dengan penuh bahagia...
Seakan sekarang tak ada yang mengerti aku selain suami, anak-anak, sahabat dan keluarga intiku khususnya bapak dan ibu mertuaku yang selalu perhatian kepadaku. Ya, atau mereka keluarga yang benar-benar darah dagingku. Apa kurang kalian membulying dan menghina diriku selama ini, tanpa ada rasa kasihan, tanpa ada rasa melihat siapakah statusku sebenernya yang masih ada ikatan darah atau saudara dengan kalian. Kalian menjadi buta hati dan pikiran, semua karena harta warisan yang kalian perebutkan. Yang semua itu hak dan milikku sesungguhnya. Jika hanya berbicara besarnya nominal apa yang kalian kejar itu tidak besar dan berarti apa-apa, tapi karna kemiskinan, keserakahan kalian terbutakan. Apalagi jika tanah, rumah, mobil atau motor sudah kalian jual, pecah dan kalian bagi-bagi. Tidak cukup berarti untuk kalian perebutkan selama ini. Semua bagai fatamorgana.
Ya, Sedangkan mereka atau kalian, semua saudaraku yang lain perlu aku hanya untuk mengejar harta warisan saja. Warisan yang sebenarnya adalah milikku dari almarhum mama dan papa. Dan wasiat untuk selalu di jaga olehku untuk anak-anakku kelak jika dewasa nanti. Sungguh kalian tidak ingin tahu, atau mungkin benar-benar ingin melupakan semua wasiat yang terucap dari kedua kakak kalian, demi satu kata ambisi, atau rasa serakah yang bergelora di hati kalian itu untuk mendapatkan semuanya dan melemparku bagai seekor anak anjing yang tidak pernah ada. Atau sekedar kalian kenal dulu. Ya aku rasa kalian membutakan mata dan hati demi harta yang tak berarti.
Hidupku sekarang tidak seenak dan semudah yang kini kalian lihat, hidupku sekarang penuh perjuangan dan liku. Yang mungkin tak akan pernah selesai aku ceritakan walau aku tuliskan menjadi sebuah cerita novel yang berseri-seri bab tulisan. Cukup hanya aku yang menelan rasa pahit dari semua ini. Cukup aku, yang jatuh tersungkur, dan berusaha sekuat tenaga berdiri dan bertahan demi anak-anakku. Berjuang untuk sekedar bertahan hidup, membeli rumah yang harus kami cicil kembali, atau sekedar mencari uang makan, jajan anak dan bayaran sekolah anak-anak semata. Ya seberat itu beban hidupku kini yang terjatuh.
Aku yang lahir dengan putih bersih dulu, aku yang di peluk dan di inginkan penuh cinta oleh mereka. Yang tercampakkan oleh keadaan dan cobaan. Yang demi terus kuat bertahan hidup selama 35 tahun, mencari pelarian sahabat dan pacar demi melupakan rong-rongan keluarga tentang jati diriku.
Ya kalian, kalian merusak hidupku, merusak mentalku, merusak masa depanku. Demi harta yang kalian kejar ketika mama dan papaku mati kini. Dan hari ini semua itu menjadi sebuah fakta. Aku yang harus kuat merasakan, aku yang harus kuat melihat tanpa hadirnya armarhum papa atau armarhumah mama disisiku. Karma itu akan nyata, perbuatan baik kalian akan terbayar kebaikan, begitu pula perbuatan buruk yang kalian perbuat. Bersiaplah, waktu itu akan datang, karma itu akan datang, cepat atau lambat, bisa esok, lusa atau nanti kepada anak dan cucu kalian jika bukan pada diri kalian yang merasakan. Dan itu bukan sebuah ilusi, tapi itu sebuah pelajaran hidup yang pasti, pasti akan kalian telan, cepat atau lambat...
Atau untuk para lelaki yang pernah aku pilih sebagai pengisi hati, sebagai teman dan sebagai sandaran dalam menopang hidupku, begitu jahatnya kalian mempermainkan kepolosanku, mengingkari janji-janji manis, mengingkari cinta yang kita miliki selama ini. Demi kepuasan kalian yang mungkin akan kalian sesali nanti. Apakah tak ada sedikit rasa menyesal? Apakah kalian pikir tidak ada karma yang akan mengejar? Tidak semudah itu. Tangisan-tangisan aku yang bagi kalian tak berharga atau lulucon, suatu saat akan menjadi tangisan pilu untuk kalian atau anak cucu kalian pula.
Haruskah aku habisi dan jalani hidup seperti yang kalian inginkan dalam sebuah ke putus asaan dan kehancuran? Haruskah Sintia menjadi sosok wanita yang rapuh dan hancur? Tidak aku akan berjuang dan akan aku tulis kisah hidupku sebagai pelajaran dan sebagai tamparan untuk keluarga besarku kelak atau kalian yang pernah menyakiti aku dengan janji-janji palsu.
Inilah aku yang sering kalian hinakan, inilah aku yang dulu kalian kucilkan, inilah aku dulu yang pernah kalian sia-siakan hidupnya atau keberadaannya! Aku masih kuat berdiri dan tersenyum bahagia. Bahkan akan berdiri lebih tinggi dari hari kemarin. Dengan kerja kerasku dan atas ijin Allah nanti.
Hidup yang penuh terjal dan liku ini, yang membuat aku jatuh dan menangis untuk ke sekian kali dengan takdirnya, kini membuat aku kuat untuk berdiri walau tanpa mama dan papa lagi di sisiku. Dan aku tidak hanya membuktikan kepada kalian yang menjahatiku, tapi semua orang dapat menyaksikannya dan bercerita. Tentang siapa aku kini.
Aku yang baik tak akan selamanya menjadi baik, aku yang polos akan menjadi pintar dan cerdik dengan sendirinya, di mana hidup tidak sebaik yang aku bayangkan. Begitu pun AKU! mungkin tidak yang seperti kalian yang kira-kirakan itu.
Apa yang kalian tanam kepadaku, itulah yang akan kalian tuai nantinya! Sintia kini, bukan Sintia yang dulu. Dan aku tak akan pernah menyesal hidup jauh dengan kalian, seperti jahatnya kalian yang tak pernah merasa aku ada. Kalian yang berucap bahwa aku bukan siapa-siapa!!
Dunia ini sudah tua, dengan segala liku dan karma yang ada. Ketamakan kalian, kejahatan kalian kepadaku semua akan kalian tuai hasilnya. Jika kalian di dunia hanya mengejar kata harta, mungkin harta itupula yang akan mengubur dan menjadikan kalian seperti manusia-manusia yang tidak ada hati. Dan bagi kalian yang hanya mengejar cinta dan janji palsu, maka cinta dan janji palsu juga yang akan membuat kalian hancur kelak!!
Boleh di bilang jika aku kecewa, atau boleh di bilang jika aku sakit dengan semua ini. Tapi akan lebih baik jika aku diam, diamku memberi seribu arti yang harus kalian mengerti. Atau mungkin diamku akan dapat membunuh kalian perlahan-lahan dalam rasa bersalah. Cukup fitnah-fitnahan kalian aku telan, dan kalian akan terima karmanya.
Metro Lampung, ya tepat di sanalah aku di besarkan dan di manjakan oleh kedua orang tuaku. Sebuah kota kecil yang sangat agraris, terdapat sawah yang luas terhampar hijau bak permadani dan merupakan kota kecil yang baru berkembang sebagai pusat perdagangan dan pendidikan. Sungguh aku nyaman tinggal di kota ini. Kota yang asri, jauh dari hiruk-pikuk dan kesibukan seperti kota besar lainnya yang pernah aku kunjungi. Di sanalah aku tinggal dengan keluarga yang benar-benar harmonis dan penuh kebahagiaan, tentu bersama mama dan papaku. Masa kecilku di isi dengan kebahagiaan-kebahagiaan indah yang penuh warna layaknya anak kecil normal lainnya. Namaku Sintia, aku adalah seorang putri tunggal dari pasangan bapak Juniar dan ibu Sofia, bagi mereka aku adalah kebanggaan dan anak yang paling mereka manjakan sejak kecil. Aku sosok seorang anak yang pendiam, manis, lucu dan manja, memiliki aneka kegiatan ekstra kurikuler selain sekolah dan yang pasti aku sangat suka bergaul dan bersahabat dengan
Hari keduaku di sekolah yang baru, dengan segala kesibukan yang lain dari kebiasaan pagi -pagi sebelumnya yang aku biasa lakukan di Sekolah Dasar yang terletak dekat dari rumahku. Ya kalau enggak meramaikan hari, tentu rumahku tak akan ramai bukan? Siapa lagi yang mau buat gaduh dan ramai kalau bukan aku si Sintia. "Ma, kok telur mata sapinya meleber si! Dan Ma sayur kacang panjangnya sudah matang belum?" "Cerewet ah kamu, nih masak sendiri kalau tidak percaya ke Mama." "Duh Mama, Aku kan mau mandi, nanti telat lagi." “Ya sudah sana, mandi saja duluan, jangan cerewet dan ganggu Mama masak!” “Iya deh Ma, Aku mandi duluan dan bersiap saja.” Seperti kemarin, kami bersiap mandi, dan sarapan pagi serta sedikit cemberut di wajahku setelah aku lihat telur mata sapi yang mama buat meleber ke mana -mana warna kuningnya, tidak pas di tengah sesuai yang aku inginkan, ingin komplain masalah telur mat
Senin pagi, Ups hampir saja akutelat berangkat ke sekolah, aku bangun lebih siang padahal mama dan papa sudah sibuk membangunkan aku, tapi ya begitu aku selalu nikmat tidur, mereka sering meledekiku kalau tidur seperti kerbau atau orang mati saja. Aku lari saat bel masuksekolah berbunyi. Ya hari ini aku piket menjadi petugas pengibar bendera. Aku mengambil bendera, aku rapikan bersama Vina dan Maria, dan kami bersiap. Dari kejauhan tampak Iwan yang telah siap sebagai pemimpin upacara, dia tersenyum kepadaku. Aku pun tak lupa membalas senyumannya itu. Gugup, ini hari pertama aku mengibarkan bendera di Sekolah Menengah Pertamaku. Banyak kakak kelas tentunya begitu pula teman -teman kelas satu. Total sebanyak 21 kelas, tiba saatnya aku mengibarkan bendera. Aku yang bertugas memberikan aba -aba. Aku pun yang harus memantau pergerakan bendera agar stabil berkibar sesuai dengan ketukan lagu Indonesia Raya saat di nya
Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah, dan aku lihat Iwan sudah menungguku di depan muka kelas, duh malu, gugup sekali rasanya, sepatuku mendadak terasa berat begitu pun langkah kakiku ini, aduh serasa gemetar dan ingin putar arah saja kalau bisa. Dia malah berjalan mendekat ke arahku sekarang. Ingin menghindar, tapi tampaknya tidak mungkin deh, jantungku berdetak kencang sekali, apakah ini yang di namakan getar -getar cinta. Sangat gugup kalau berpapasan atau bertemu dengannya, tapi sebenarnya ingin ketemu sih walau sebentar. "Hai Sin, senang deh bisa lihat Kamu pagi ini, berarti Kita jadian ya mulai hari ini?” Aku pun hanya dapat menganggukkan kepalaku, dia terus memandangiku terus. Iwan Anak yang baik, dia selalu memperhatikan tugas -tugas sekolahku. Dia juga Anak yang pintar sekali, nilainya selalu bagus, seperti pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sedangkan aku selalu saja memiliki nilai yang masih pas -pasan.
Setelah pulang sekolah, dan menunggu mama dan papa pulang kerja, Catur memintaku menemaninya ngedate sama Bowi, alasannya sih main basket di lapangan basket sekolahan tempat mamaku mengajar. Ya oke deh cus, sekalian menunggu mamaku pulang sore nanti. Kami pun jalan bertiga dari sekolahku ke sekolah mamaku. Kami berjalan kompak menyusuri trotoar, dan aku kebetulan menjadi obat nyamuk atau setannya, istilah yang menemani orang pacaran. Di jalan iseng tuh Bowi bilang, mau kenal in aku sama sepupunya, biar tidak bosan sih sendirian terus, ya boleh lah aku rasa itu ide yang cukup baik "Sin, dari pada bengong nanti Aku telepon sepupuku ya, biar main basketnya Kita juga imbang dua lawan dua ok!" "Boleh, Anak mana Wi?" "Anak sekitar sini saja, namanya Agung dia seperti kita masih kelas 1 Sekolah Menengah Pertama kok." Ya ampun kayak dengar petir rasanya apa enggak salah Bowi bilang sepupunya
Sedangkan di satu sisi, aku dengar abang Iwan dan Eni sudah putus, dan Iwan akan pindah ke sekolah Menengah Pertama Favorit di kota kami ini ya satu sekolah dengan Agung. Sama, harusnya aku juga pindah sesuai dengan bantuan koneksi papa kami. Tapi kalau aku dan Iwan masih tak bertegur sapa, apa nanti yang Iwan pikirkan jika aku pun pindah sekolah dengannya? Dan aku sudah nyaman di sini, aku sudah punya banyak teman bahkan sahabat yang cukup baik -baik, mungkin nanti lebih baik aku batalkan saja niatku untuk pindah sekolah. Saat pulang sekolah, benar saja Masril mengacuhkanku, Aku coba untuk biasa saja, berasa tidak ada apa -apa dan berasa nyaman pulang bersama Masril dan Tika. Dan sore ini, kami akan ikut perkemahan bersama. Semoga saja yang kak Dimas bilang tidak benar, mungkin mereka lagi dekat saja karena suatu hal yang tidak kami tahu. Sore ini, mama dan papa mengantarkan aku ke sekolah, pakaian serba coklat seragam pramu
Telepon di rumah aku berdering, eh ternyata Iwan meneleponku lagi. Seakan tidak ada masalah yang lalu, dia mengajak aku mengobrol banyak hal, tentang kabarku, sekolah, les dan kegiatan harianku. Entah apa ini, yang pasti Iwan yang dulu cuek kini telah kembali memperhatikan hari -hariku. Kini tidak ada kekakuan lagi di antara kami, semua telah membaik, temanku, sahabatku telah kembali ke pelukanku lagi. Segala keluh kesahku selain aku ceritakan kepada teman sudah ada Iwan yang setia mendengarku kembali. Terkadang dia memanggilku Sin, Dek atau panggilan manis lainnya, terkadang kami pun saling memanjakan kata -kata. Apakah ini yang di sebut Teman Tapi Mesra. Kalau di bilang balikan belum ada kata -kata untuk balikan menjalin hubungan spesial, tapi kalau di bilang teman, lebih dekat dan spesial dari teman pria yang lainnya. Apa pun itu aku merasa suka dan nyaman kini. Mungkin status bukan hal yang penting, sudah bisa dekat atau akrab itu sudah sangat aku syukuri.
Aku pun melanjutkan aktivitasku. Fina dan Maria latihan baris berbaris, mereka enggak ada bakat untuk menari, beda hal dengan aku, Nicky dan Tika, sedangkan si tomboi Catur sedang latihan Tai Kwon Do, dengan Yeni dan Yayuk. Bagiku menari itu menyenangkan, dapat membuat aku merasa tenang dan bahagia. Aku mulai kursus tari sejak Sekolah Dasar. Belajar tari menjangan dan tari sembah asal mula pertamanya. Sekarang aku mendalami tari-tarian khas Lampung ada tari Bedana, Bedana Lunik, Tari Sembah dan Tari Melinting. Nama guru tari kami ibu Sri Wiji, beliau sangat baik orangnya, ramah dan lemah lembut. Kelak, kami akan tampil di beragam acara sekolah seperti perpisahan atau lomba tari antar sekolah, seru kan? Selesai menari, kami pun kumpul untuk pulang sekolah bersama-sama, hanya Fina yang tidak bareng jalan bersama ke arah kantor papaku, karena rumahnya berlawanan arah dengan kami. Aku, Catur dan Maria sengaja nebeng naik mobil papa saja, hemat ongkos. Kami n