Share

6. APAKAH INI CINTA PERTAMAKU

Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah, dan aku lihat Iwan sudah menungguku di depan muka kelas, duh malu, gugup sekali rasanya, sepatuku mendadak terasa berat begitu pun langkah kakiku ini, aduh serasa gemetar dan ingin putar arah saja kalau bisa. Dia malah berjalan mendekat ke arahku sekarang. Ingin menghindar, tapi tampaknya tidak mungkin deh, jantungku berdetak kencang sekali, apakah ini yang di namakan getar -getar cinta. Sangat gugup kalau berpapasan atau bertemu dengannya, tapi sebenarnya ingin ketemu sih walau sebentar.

"Hai Sin, senang deh bisa lihat Kamu pagi ini, berarti Kita jadian ya mulai hari ini?”

Aku pun hanya dapat menganggukkan kepalaku, dia terus memandangiku terus. Iwan Anak yang baik, dia selalu memperhatikan tugas -tugas sekolahku. Dia juga Anak yang pintar sekali, nilainya selalu bagus, seperti pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sedangkan aku selalu saja memiliki nilai yang masih pas -pasan. Malu sih jadi ejekan dia, tapi aku jadikan semangat saja agar setiap hari rajin belajar, karena sudah jadi tradisi di sekolah siapa yang punya nilai jelek, akan di hukum maju ke depan kelas, Ups semoga saja aku tidak merasakannya.

Siang ini Iwan mengajak aku mengobrol santai di depan kelas, sambil menikmati makanan ringan, dan aku pun mengeluarkan foto saat kami masih usia 3.5 tahun dahulu dari saku baju sekolahku. Foto saat di depan taman kantor papa kami entah beberapa tahun lalu. Mama cerita dulu saat aku, Iwan, Anggun dan Indra tiap hari di bawa ke kantor papa. Masih banyak foto -foto kami saat kecil, tersimpan rapi di album mamaku, mama bilang di koleksi saja, akan lucu jika foto itu dilihat setelah kami besar seperti ini. Sahabat masa kecil yang penuh kesenangan, kejahilan dan teringat sampai kini. Apalagi tentang cerita kecilku bersama Habib dan Rahman, dia adalah anak dari sahabat mamaku tante Ning, sekolah mereka dan rumah kami lumayan berdekatan, dan hampir sering mereka ke rumahku, karena tante Ning memesan pakaian seragam sekolahnya kepada mamaku yang memiliki usaha konveksi.

Kejadiannya saat itu aku baru di belikan hiasan rambut, bentuknya lucu, warnanya hijau, aku sangat suka sekali memakainya, tapi dengan santainya kedua adik -beradik itu merebut dan merusaknya dari kepalaku, sampai naik -naik di atas meja ruang tamuku, ya mereka umurnya masih sepantar aku pasti tante Ning sangat repot kalau harus mengawasi kejailan dan kenakalan mereka saat kecil.

Hal itu masih aku ingat sampai hari ini, dan aku kesal jika mereka main ke rumahku. Trauma saja takut mereka nakal dan menjailiku kembali. Tapi sepertinya mereka sekarang lebih pendiam, bahkan Rahman sering tertunduk malu jika bertemu denganku, mungkin mereka teringat saat -saat kecil dulu menakaliku dan menjahiliku.

Di sekolah, saat jam istirahat tiba, kini giliran aku yang meledek Iwan dengan foto masa kecil kami ini.

"Wan, ingat foto Kita dulu enggak?”

"Ah bohong Kamu, coba lihat sini?"

"Eh iya, Foto lama banget Sin, hadeah Kamu masih ingusan ini, masih di kucir 2 dan pegang es dalam plastik, Hahaha...."

"Tapi lucu kan? memang Kamu tidak masih culun dan ingusan nih!"

"Hahahahhaa, yayaya lucu Sin."

"Aku mau tempelkan saja di Diary ini lah, biar enggak hilang fotonya nanti."

"Ya benar Dek, kenangan tuh, bisa dilihat saat kita tua nanti."

“Terus deh ledek saja aku nya.”

"Hemm, bagaimana? Sudah mulai suka dengan pelajaran Bahasa Inggris?"

"Ya mulai serius belajar nih."

"Kalau masih lemot, kamusnya di bakar saja Dek, terus jadi in kopi deh terus di minum."

"Ehmmm awas ya, lemot-lemot juga Kamu suka Wan, Iya kan?"

"Abis kamu manis sih."

Dia kabur karena malu dengan ledekan aku ini, Hehehehe ya balas dendam dikit -dikit. Tiap hari dia selalu menjahiliku.

Kejailan -kejailan masa kecil dulu masih saja sering dia lakukan sampai kini, apa pun itu membuat hariku lebih seru dan bermakna. Walau sering sekali membuat aku kesal, sedih dan nangis dengan canda yang terkadang kelewatan rasanya.

Tak terasa sudah tiga bulan ini aku berpacaran dengan Iwan, hatiku senang sekali. Dia sering meneleponku setiap pulang sekolah di kala sore hari intinya kalau sama -sama bebas aja untuk menelepon, apa lagi kalau mama dan papa pergi kuliah begini, tepat deh waktunya. Hampir setiap waktu kami habiskan bersama selain sekolah ya lewat telepon. Bagiku kini selain menjadi sahabat, namun Iwan jadi pacar dan teman belajarku setiap hari, baik di sekolah atau di rumah, duh senangnya berasa punya seorang kakak deh. Kedekatan kami dari kecil membuat cinta pertamaku ini sangat manis dan berarti. Duduk berdekatan, saling memperhatikan satu dengan yang lain, membuka bekal dan jajan bersama -sama baik dari rumah atau saat jajan bersama di kantin sekolah, berbagi cerita saat kecil dan belajar bersama dengan teman -teman membuat kisah pacaran menjadi lebih lengkap, ternyata begini rasanya cinta pertama itu. Mungkin akan selalu kami ingat ya nanti sampai tua, sampai nenek.

Akan tetapi, sudah beberapa hari ini, rasanya aneh sekali. Seperti ada yang mengikutiku dan memperhatikan segala gerak -gerikku dari kejauhan saat di lingkungan sekolah. Dan saat aku sedang membersihkan ruang kelas siang ini, aku terima sepucuk surat cinta dari Kakak kelasku, dia menitipkannya kepada teman satu kelas yang sama -sama bertugas piket denganku.

"Surat dari siapa sih?"

"Surat dari Kak Masril."

"Masril siapa ya? Aku tidak mengenalnya sama sekali nama Masril?"

“Kakak kelas 2 B, ganteng loh, manis.”

“Ehmmm, mulai deh ledeki dan menggoda Aku.”

“Serius tahu, duh yang mau baca surat cinta, senyum -senyum sendiri deh, mulai.”

“Berisik ah, diam ya diam dulu!”

Setelah aku baca ternyata lagi -lagi isinya surat cinta. Tapi kan aku sudah punya pacar nih? ya sudahlah aku abaikan saja. 

Ternyata Masril lah yang selalu mengikuti aku dan Iwan saat pulang sekolah, siang ini aku dengar dia mengajak berantem Iwan di lapangan sekolah untuk memperebutkan aku. Seperti boneka saja di perebutkan, membuat aku malu dan mereka bertengkar di muka umum lagi. Duh kesel banget rasanya hatiku. Dan perjanjian mereka adalah, jika mereka kalah dalam perkelahian itu, maka harus menjauh dariku. Baik itu Iwan atau pun Masril, yang kalah harus mundur. Kesel rasanya, saat aku mendengar hal itu dan aku pun segera menyusul mereka ke lapangan, ke tempat mereka berkelahi, hanya saja aku terlambat, mereka sudah selesai dan sudah saling di pisahkan oleh teman -teman lainnya yang menonton perkelahian mereka.

Hasilnya Iwan kalah berkelahi, alhasil dia mendadak menjauh dariku seperti kesepakatan mereka secara seketika saat itu juga tanpa berkata -kata lagi kepadaku . Benar -benar tidak menyapa aku sama sekali, diam dan menghindar. Tampak ada beberapa memar di pipinya. Ingin rasanya aku mengobati dan membantunya tapi dia tidak mengindahkan perhatian yang aku berikan lalu bergegas pergi begitu saja. Kesal, aku pun menangis karena sedih. Dan aku harus pulang ke rumah dengan rasa kesal.

Berminggu -minggu aku coba menyapanya, tapi dia selalu mengacuhkan aku. Dan lagi -lagi hanya buang tatapan, memilih diam dan pergi dari aku. Dan pagi ini aku dengar dari teman-teman kalau Iwan sudah pacaran dengan Eni teman beda kelasku anak kelas 1 F, sedih rasanya mendengar semua itu. Kok segampang dan secepat ini mengambil keputusan, apakah putus? Atau menghilang tanpa kata begini.

Beberapa hari kemudian

"Hai Sin."

Kak Masril menyapaku dari belakangku.

"Aku yang temani Kamu pulang boleh ya Sin."

Terus saja dia mengikutiku, bersama teman-teman gengnya. Ikut naik ke angkutan kota yang aku naiki ke terminal, kemudian ikut menunggu angkutan kota berikutnya yang menuju ke rumahku. Ganteng sih kak Masril, tapi caranya itu yang bikin aku sangat kesal. Aku pun tetap cuek saja, tapi lama -lama aku lihat dia geregetan dan kesal padaku.

"Kok diam saja sih Dek, Kak di cuekin seperti ini sama Sintia?”

"Maaf ya Kak, Aku mau pulang ke rumah dulu nih, buru-buru, soalnya Mama telah menungguku di rumah dan Aku tidak biasa kelayapan jika pulang sekolah tanpa izin terlebih dahulu ke Mama."

Aku pun menjawab memberikan alasan, naik ke dalam angkot dan pulang menuju rumahku dengan segera, dia tampak sedih, tapi ya aku harus lakukan itu.

Kesal sekali hari ini, kemudian aku pun membanting tas sekolahku ke kasur saat tiba di rumah dan membuka sepatuku di dalam kamar.

"Brugggk."

"Ada apa Sin? Bikin kaget Mama saja Kamu ini"

Mama pun bertanya kepadaku.

"Tidak apa-apa, cuma lagi sedikit kesal saja Ma."

“Kesal kenapa?”

“Biasalah sama teman Sintia di sekolah.”

Aku mulai kangen, biasanya Iwan sering meneleponku kalau sore hari seperti ini, tapi sudah jam empat sore lebih dia tidak meneleponku juga, sudah mau dua minggu ini aku jadi sedih. Jangan kan mau angkat teleponku, aku tegur saja dia hanya diam. Kalau kata teman -teman  dalam waktu dua minggu kalau pacar tidak caling, berarti sudah benar-benar mau putus, menghindar dan menjauh dari kita.

Apalagi aku dengar dia sudah jadian dan punya pacar baru. Kenapa jadi seperti ini sih aku sebal, semoga saja besok dia sudah tidak kesal dan marah padaku, tapi apakah mungkin? Sudah lama sekali dia tidak menyapaku. Seperti inilah kisah cinta monyetku dengan Iwan, hanya dalam hitungan bulan saja. Sedih aku benar kehilangan sahabat dan pacar pertamaku secara bersamaan rasanya. 

Mau tak mau aku jalani hubungan dengan Kak Masril walau hanya saling mengenal, belajar bersama, saling menelepon dikala senggang dan menemani pulang bersama di angkutan kota, setidaknya biar Iwan puas dengan keputusannya memilih pacar yang baru. Tepatnya kak Masril menjadi pacarku hanya sebagai teman tapi mesra saja anggap saja dia pengawal pribadiku, setidaknya aku aman jika pulang sekolah tanpa di jemput mama dan papa. Khususnya di terminal yang terkadang sepi, dan banyak anak -anak rese dan isengnya. Setidaknya kalau ada kak Masril dia dapat menjagaku.

Kalau lagi main dengannya, Masril selalu menyanyikan aku sebuah lagu sambil memetikan gitar kesayangannya yang selalu di bawa dan di titipkan di kantin sekolah kami. Lagu apa lagi, selain lagu Mangkinkah dari band Stinky kesukaanku, dan cocoknya itu lagu yang sama -sama kami suka. Seperti sore ini, aku ada kelas menari di sekolah, sedangkan dia habis ada kegiatan OSIS di sekolah juga. Sambil jalan menuju ke rumah kami istirahat dulu deh sambil minum secangkir es, satu cangkir es porsi besar untuk berdua, Hahaha, ini judulnya jorok, irit atau romantis nih ceritanya? mana duduknya di pinggir makam atau kuburan di pinggir jalan lagi, yang sangat jelas bisa di pandang dari segala arah. Duh ah Masril ada-ada saja deh, terbayang dong kalau mama dan papa tak sengaja lewat dan memergoki, bisa jadi bahan ledekan nih nanti saat aku di rumah.

"Kak, yakin mau jajan di sini?"

"Iya? Memang kenapa Sin?”

"Kamu jijik ya jajan di sini sama kakak?"

"Enggak, tapi itu kan kuburan Kak yang tepat di belakang..."

"Ehmmm enggak usah takut, tuh lihat masih ramai, tuh ada si Mang tukang cendol ada Kak Dimas, Hendrik dan Handoko juga lagi pada mojok di sana, malah di atas kuburannya mereka duduk-duduk santai."

Dia terus merayuku, agar tidak takut dengan suasana makam, dan memulai memainkan gitarnya dan mulai menyanyikan lagu kesukaanku.

Tetes air mata basahi pipimu

Di saat kita 'kan berpisah

Terucapkan janji padamu kasihku

Takkan kulupakan dirimu

Penulis lagu: Ndank, Stinky

Ups, aku terbengong dibuatnya, aku terkesima selain lumayan tampan eh doi pintar main gitar dan nyanyi ternyata, di luar yang aku bayangkan. Mendadak hubungan yang awalnya terpaksa dan sekedar status punya pacar biar enggak di bilang jomblo wati ternyata menyenangkan juga dan Masril orangnya cukup baik dan punya banyak teman yang ramah dan baik.

Hampir tiga bulan lebih aku mengenalnya. Dan dia teman yang asyik, pagi, siang sore selalu ikhlas anter aku ke sekolah dan menunggu segala ekstra kurikulerku bersama teman-teman, dan lagi -lagi aku merasa nyaman sebagai seorang teman dekat. Lapangan Garuda dan Tempat pemakaman umum ini menjadi tempat favorit kami setiap hari bersantai baik sebelum les, atau saat senggang dan suasana makam yang mulanya menyeramkan bagiku, sekarang menjadi hal yang biasa saja, siang hari tak mungkin ada hantu kan? Dan tempat ini akan menjadi saksi bisu kenangan aku dan Masril kelak. Masril pacar keduaku saat Sekolah Menengah Pertama setelah Iwan, status sih pacaran, tapi bagiku hanya sebuah cinta monyet untuk mengenal dan bersahabat dekat dengan teman laki -laki dan penyemangat saat sekolah dan les saja.

Hari ini, atau tepatnya pagi ini, kenapa aku tidak melihatnya di sekolah? Ke mana ya dia, aku coba tanya -tanya deh kepada kak Hendrik, Dimas atau Nugroho. Ternyata Masril sakit, dan teman -temannya ajak aku mampir ke rumah Masril sehabis pulang sekolah, baiklah, boleh sekalian aku akan ajak Catur, Fitri dan Nita untuk mengantarku ke rumahnya setelah sekolah nanti. Saat pulang sekolah kami pun bergegas, kami sokongan untuk membeli buah untuk kak Masril, yang paling banyak sokongan tentunya aku kan pacarnya. Untung saja aku rajin menabungkan sisa -sisa jajanku. Sampai di rumah Masril tampak kaget melihatku, tampaknya dia demam, ada ayah serta adiknya  di rumah, lagi -lagi kak Hendrik iseng, dia mengenalkan aku kepada ayah Masril sebagai pacar, duh jelas saja aku seketika menjadi bahan ejekan mereka. Tidak berlama -lama kami menjenguknya, karena kami harus segera pulang, intinya aku malu dan takut di sana, tentunya karena ada bapak kak Masril.

“Cepat sembuh ya Kak?”

“Iya, besok sekolah kan?”

“Ehmmm, bang Masril, yang di jenguk mendadak langsung sembuh.”

“Hust, Iya Sin Aku besok masuk kok.”

Rahmat, adik Masril pun meledekku dengan senangnya, Rahmat sama kelas 1 denganku, hanya saja berbeda kelas. Dan baru hari ini aku tahu kalau dia adik kak Masril, semoga saja tidak mengadu -mengadukan kelakuan iseng dan jailku ke kakaknya, selama ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status