Share

01. He's Coming

Gadis berambut hitam dengan blus putih di atas mata kaki itu duduk di atas rerumputan sambil memainkan pucuk dandelion yang tadi dipetiknya. Matanya menatap ke depan, pada beberapa ekor domba yang tengah asik mengunyah rumput.

Rambut hitam gadis itu beterbangan diterpa angin, namun dia tidak peduli, malah matanya menutup, menikmati suasanya pagi ini yang begitu sejuk.

Di kala sendiri seperti ini, dia selalu diingatkan akan kedua orangtuanya, dan pria bermata merah yang telah membawanya ke sini.

Di usianya yang sudah menginjak angka delapan belas tahun, Alicia tidak lagi menangis jika mengingat kedua orangtuanya pergi meninggalkannya tanpa sebab. Dia berpikir, apa dulu dia pernah berbuat nakal sehingga ayah dan ibunya pergi dan tidak mau bersamanya lagi? Apa dulu dia telah menjadi anak yang tidak baik sehingga membuat ayah dan ibunya menangis? Alicia tidak tahu, dia tidak akan pernah tahu.

Paman Robert yang dulu juga berjanji akan menjaganya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, nyatanya melakukan sebaliknya. Dia menjual Alicia pada si pria bermata merah kelam yang sampai saat ini tidak pernah bisa Alicia lupakan. Tentang bagaimana pria itu menatapnya, yang langsung membuat sekujur tubuh Alicia merinding dan hampir selalu bergetar takut setiap kali mengingatnya. Apa pria itu benar-benar manusia? Atau dia adalah jelmaan iblis di dunia nyata?

Yang pasti, Alicia tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi. Dia bertekad, setelah sekolahnya lulus di desa terpencil ini, dia akan merantau ke kota, untuk mencari kedua orangtuanya di sana.

Tapi bagaimana dengan pria bermata merah itu? Alicia memikirkannya lagi. Karena jelas-jelas bahwa pria itulah yang membawanya ke tempat ini, menitipkannya pada bibi Jen yang saat ini selalu berperan sebagai ibu pengganti untuknya. Dulu, bibi Jen selalu menghibur atau hanya sekedear menemani Alicia ketika gadis itu menangis di malam hari, bermimpi buruk karena merindukan kedua orangtuanya. Alicia sangat menyayangi bibi Jen. Dan dia suka pada kehidupannya di sini, di desa terpencil yang tidak banyak orang ketahui.

Suasananya masih sangat asri dan hijau, udaranya juga segar dan hangat.

"Alicia!"

Alicia membuka kedua kelopak matanya ketika mendengar suara bibi Jen memanggil di belakang.

Sontak, Alicia pun menoleh dan mendapati bibi Jen tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Alicia lantas bangkit dan berjalan mendekati bibi Jen dengan tatapan penuh bertanya.

"Ada apa, Aunt?" tanya Alicia.

Bibi Jen berhenti di hadapan Alicia dengan napas ngos-ngosan, hal itu semakin membuat Alicia mengerutkan kening.

Setelah napasnya mulai teratur, barulah Bibi Jen menatap Alicia dengan penuh kekhawatiran di wajahnya.

"Ayo cepat kembali ke rumah!" kata bibi Jen kemudian menarik tangan Alicia dan menyeret gadis itu pergi.

"Tunggu! Tunggu, Aunty! Tunggu dulu!" Alicia menahan tangan bibi Jen yang sontak berhenti dan berbalik menatapnya bingung.

"Apa yang terjadi, Aunty? Apa Aunty baik-baik saja?" tanya Alicia dengab raut penuh kekhawatiran di wajahnya.

"Aku baik-baik saja. Kita harus cepat, dia sudah datang?"

Alicia hendak bertanya siapa yang datang namun bibi Jen telah lebih dulu menarik tangannya da pergi.

Rasa penasaran Alicia bertambah dua kali lipat ketika melihat Wendy, anak semata wayang bibi Jen, tengah mengintip di balik pintu dapur yang langsung menuju ke ruang tamu.

"Wendy, ada apa?" bisik Alicia di belakang Wendy yang membuat perempuan berambut pirang itu berjengit kaget.

"Alice!" serunya kesal.

Alicia tidak menggubris tanggapan berlebihan Wendy, dia hendak ikut mengintip ketika bibi Jen yang baru saja selesai minum menarik tangannya kembali dan membawanya menaiki tangga berkayu tempat kamar Alicia.

Di dalam kamarnya yang sempit, bibi Jen tampak gelisah. Dia berjalan bolak-balik sambil berkacak pinggang.

Alicia yang tengah duduk di pinggir kasur menatapnya aneh.

"Kau harus mengenakan dress yang bagus!" tekad Bibi Jen yang kemudian mengobrak-abrik lemari pakaian Alicia.

"Aunty, stop! Tenangkan dirimu."

Bibi Jen menggeleng. "Tidak ada kata tenang untuk saat ini! Ya Tuhan, setelah bertahun-tahun, dia akhirnya menemuimu, apa kau tahu artinya apa?"

Kernyitan di dahi Alicia semakin dalam. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati bibi Jen yang masih berkutik dengan baju-baju di lemarinya.

"Siapa yang kau maksud dengan 'dia', Aunty?" tanya Alicia.

"Kenapa kau harus memiliki baju yang sama, Alice?!" sahut bibi Jen seolah tidak menggubris pertanyaan Alicia.

Alicia menoleh ke arah lemarinya dan mengidikkan bahu.

"Semua bajuku, Aunty kan yang menjahitnya. Di atas mata kaki, berwarna putih, berbahan lembut dan nyaman."

Bibi Jen memutar bola matanya jengah. Dia menatap Alicia dari atas sampai bawah. Alicia tumbuh sebagai gadis yang cantik dengan porsi tubuh yang ideal, dia tidak tampak gemuk, tidak juga terlihat kurus. Rambut hitam lurusnya membingkai wajahnya yang tirus. Dan Alicia tidak pernah mengenakan make up, wajahnya sudah terpoles cantik dengan alami. Bulu mata lentik dengan iris hijau, bibirnya berwarna pink alami, serta kulit wajahnya yang putih dengan pipi merona. Apalagi dengan warna rambutnya yang gelap, Alicia seolah tampak seperti boneka-boneka porselen cantik. Mungkin jika dia diberi sedikit make up, maka orang-orang tidak akan menganggapnya manusia.

"Aku kenakan yang ini saja, ya," kata Alicia pada akhirnya, menyadarkan bibi Jen dari lamunannya.

Bibi Jen menatap baju yang dibawa Alicia di tangannya. Itu adalah sebuah pakaian yang sama dengan pakaian-pakaiannya yang lain. Hanya saja, yang satu ini adalah baju baru yang baru saja selesai Jen jahit dua hari yang lalu.

Bibi Jen pun mengangguk kuat-kuat. "Ya... ya kenakan itu dan segeralah ganti pakaianmu. Sisir juga rambutmu, kenakan sedikit make up yang aku belikan padamu kemarin, dan lakukan semuanya dengan cepat, mengerti?"

Alicia mengangguk patuh dan tidak sempat berkomentar saat bibi Jen berucap lagi. "Cepat, Alicia! Dia tidak suka menunggu lama," kata bibi Jen kemudian keluar dari kamar Alicia, meninggalkan gadis itu yang lagi-lagi bertanya siapa 'dia' yang dimaksud oleh bibi Jen.

***

Setelah Alicia selesai mengganti bajunya, dia kemudian hanya menyisir rambutnya tanpa mengenakan make up seperti yang bibi Jen perintahkan. Karena jujur, Alicia tidak tahu cara menggunakan barang-barang yang bibi Jen dan Wendy sebut make up itu.

Alicia pun keluar dari kamarnya, tanpa alas kaki dia menapaki lantai kayu yang dingin.

Sampai di ruang tamu, Alicia mendengar suara berat milik seorang pria tengah mengucapkan sesuatu yang Alicia tidak dapat dengar dengan jelas.

Alicia berjalan semakin mendekat.

"Usianya sudah delapan belas tahun, Jen. Sembilan tahun berlalu dan dia sudah tidak punya alasan apapun untuk tetap tinggal di sini. Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, bahwa aku akan datang kembali padanya."

Terdengar suara bibi Jen menangis, Alicia memelankan langkahnya.

"Tapi kumohon, tidak bisakah kau menunggu? Setidaknya beri kami waktu dua hari, kumohon! Aku sangat menyayangi Alicia seperti aku menyayangi anak kandungku sendiri, kumohon Tuan Lucius, beri kami waktu bersamanya sedikit lebih lama."

Alicia memasuki ruang tamu, melihat bini Jen duduk di sofa dengan berlinang air mata dan paman Fillbert duduk di sampingnya mengusap punggung bibi Jen yang tengah terisak.

Kemudian, mata Alicia bertemu dengan sepasang mata merah kelam yang balas menatapnya tajam. Napas Alicia tercekat. Dia menutup kedua mulutnya karena terkejut, merasa bahwa apa yang dia lihat saat ini tidaklah nyata. Tanpa sadar, Alicia melangkah mundur, dan di detik berikutnya dia berbalik dan berlari pergi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status