Napas Alicia memburu ketika dia memacu kakinya untuk terus berlari dan memasuki area hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan pinus. Dia berhenti, dan menyandarkan tubuhnya di salah satu batang pohon dengan napas setengah-setengah.
"Aku tidak mau bertemu dengannya," gumam Alicia dengan suara tercekat.
Dia mengintip dari balik pohon, memang mustahil bahwa pria itu akan mengikutinya sampai ke sini, jadi Alicia melanjutnya langkahnya dengan berjalan, sampai ia keluar dari rimbun pohon ke sebuah sungai yang airnya sangat jernih.
Untuk beberapa saat, sambil mengatur napasnya, Alicia duduk di salah satu batu yang menjadi tempat favoritnya di sana. Dia berniat untuk menunggu pria itu pergi, barulah Alicia akan kembali ke rumah, bahkan jika dia harus menunggu sampai malam sekalipun.
***
Sayup-sayup penglihatannya menangkap siluet seseorang di depannya. Alicia menyipitkan matanya, akan tetapi kepalanya terasa berat sekali.
Menarik napas pendek, Alicia pun kembali tertidur, dia tidak tahu apakah yang dilihatnya barusan adalah nyata atau mimpi.
Sedangkan Lucius Denovan, masih menatapnya dengan tajam. Dan ketika menyadari bahwa Alicia benar-benar tertidur, dia menggelengkan kepala, kemudian memutuskan untuk menggendong gadis itu dan membawanya kembali ke rumah.
***
Wanita itu menggeleng, tersenyum simpul, dan pria di sampingnya hanya terdiam. Kemudian wanita itu mendekati Alicia, berbisik di telinganya:
"You've been bad, Alicia. Kami tidak akan kembali. Kau sendirian saat ini. Tidak akan ada orang yang menginginkanmu karena kau bukan gadis baik-baik. Kau akan sendiri dan kami tidak akan kembali padamu."
Kedua mata hijau gadis kecil itu berkaca-kaca.
"Kenapa?" tanyanya dengan suara bergetar.
Wanita paruh baya itu tidak menjawab, alih-alih dia malah tertawa lepas dengan suara yang membuat Alicia takut.
"Mama!"
Alicia terbangun.
Dia mengerjapkan kedua matanya yang basah akan air mata. Menatap dinding di depannya yang berwarna putih bersih dengan furnitur mahal, juga alat elektronik canggih berupa teve layar lebar yang melekat di dinding.
Perasaan Alicia, kamarnya tidak tampak seperti ini.
Alicia mengedarkan pandangannya sekali lagi, dan di saat itulah, matanya bertemu dengan sepasang mata yang saat ini tengah menatapnya tajam.
Pria itu, dia terduduk di sofa di ujung kamar, di mana lampu kamar saat ini hanya dinyalakan sebagiannya saja.
Pria itu mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku. Duduk dengan menyilang kaki dan bersandar pada punggung sofa, memberinya kesan berkuasa sekaligus kejam pada figurnya yang dibangun sempurna.
"Alicia," panggilnya, yang membuat sekujur tubuh Alicia merinding oleh bagaimana pria itu menyebut namanya. Nadanya pelan, tegas dengan suara yang berat.
Tapi Alicia memilih untuk mengabaikan semua itu sejenak dan bertanya; "Kenapa aku di sini?"
Lucius menatapnya dingin dan tajam, seolah menegaskan kelancangan mulut Alicia karena telah bertanya. "Karena di sinilah tempatmu yang seharusnya," jawab Lucius dengan suara beratnya.
Alicia menunduk, memainkan kuku-kuku jarinya. Demi apapun, dia takut pada pria di hadapannya ini, sikap dan suara pria itu benar-benar menegaskan pada Alicia bahwa seharusnya dia tidak mendekat. Seharusnya dia menghindar karena pria itu berbahaya. Dan Alicia tidak bisa berkutik di bawah tatapannya.
"A-aku... aku ingin pulang," lirih Alicia setengah merengek dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Lucius kemudian bangkit dari sofa dan berjalan mendekatinya, sedangkan Alicia beringsut mundur. Gadis itu menatap Lucius penuh awas ketika lelaki itu duduk di pinggir ranjang.
Lucius setengah menyeringai. "Kau takut padaku?" tanyanya.
Alicia mengangguk tanpa ragu.
Seringaian Lucius semakin lebar. "Apa kau tahu siapa aku?"
Alicia menggeleng. Peluh mulai membanjiri pelipis dan punggungnya, padahal ruangan ini cukup dingin dan dilengkapi dengan AC, tapi entah karena udara atau memang kehadiran Lucius yang membuatnya begitu.
"Siapa kau?"
Lucius tidak melepas tatapannya dari manik hijau milik Alicia, sekalipun gadis itu tidak sedikitpun menatap matanya. Dia mengulurkan tangan, bukan untuk menyentuh Alicia melainkan untuk sekedar menakutinya. Dan ketika Alicia mundur, ada senyum puas di bibir Lucius karena berhasil membuat gadis itu takut padanya.
"Jangan mendekat!" desis Alicia.
Lucius tidak menanggapi, dia malah menganggap hal itu lucu dan sebuah tantangan tersendiri untuknya. Lucius menaiki ranjang dan meraih tangan Alicia sebelum gadis itu sempat merespon apapun dia sudah mendapati dirinya sendiri berada di bawah pria itu.
Seringaiannya. Alicia bergetar ketakutan.
"Bagaimana kau bisa takut padaku sedangkan kau tidak tahu aku siapa," bisik Lucius rendah.
Alicia mencoba meronta, namun kedua tangan Lucius menahan lengannya begitu kuat.
"Lepaskan aku!" pinta Alicia, kali ini benar-benar menangis, bahkan napasnya menjadi tersendat-sendat oleh rasa sesak yang saat ini dia rasakan di dada.
"Tidak semudah itu, sweetheart. Kau pikir kenapa aku perlu repot-repot menebusmu di paman gilamu itu, dan memberimu kehidupan yang layak di desa, sampai kau tumbuh menjadi gadis cantik seperti sekarang. Kau pikir untuk apa?"
Alicia menelan ludah dengan susah payah. "A-aku tidak tahu," jawabnya.
Lucius menyeringai lagi. "Exactly, you don't know, dan aku tidak akan pernah memberitahumu."
Dan di detik itu pula, Lucius bangkit dari atas tubuhnya. Iris mata gelap milik Lucius menatap Alicia seolah lelaki itu memendam kebencian yang begitu dalam padanya. Dia melihat Alicia turut bangun dan mengusap pergelangan tangannya sambil menangis penuh takut.
Di detik selanjutnya, seringaian Lucius kembali muncul. "Kau membuatku semakin ingin menyakitimu," gumamnya sebelum dia keluar dari kamar itu, meninggalkan Alicia seorang diri.
***
Keesokan harinya, ketika Alicia terbangun dari tidur setelah hampir semalaman menangis, dia dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang di kamarnya. Alicia sontak langsung beringsut duduk menatap penuh awas pada perempuan-perempuan berpakaian serba putih itu."Selamat pagi, Miss Alicia," sapa salah satu dari mereka, yang tampak lebih tua dari perempuan yang lain.Alicia menelan ludahnya dengan susah payah. "Pa-pagi."Si kepala pelayan itu tersenyum ramah. "Anda tidak perlu takut, Miss, kami datang ke sini untuk membantu Anda bersiap-siap untuk sarapan."Mendengar itu, Alicia menggeleng kepala. Para pelayan itu saling tatap, memperhatikan penampilan Alicia dengan rambut acak-acakkan dan mata sembab dengan pakaian yang masih utuh.Terlebih, tidak ada noda darah di kasur.Mereka sangat hapal pada tabiat tuan mereka, setiap kali membawa seorang gadis ke rumah, gadis tersebut tida
Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.
Alicia terbangun ketika merasakan sesuatu yang menyengat telapak tangannya. Dia membuka mata dan melihat siluet gelap Lucius di hadapannya."Kau bangun di waktu yang tepat," gumam pria itu, mencabut jarum suntik yang belum sempat menembus nadi Alicia, lalu menancapkannya lagi tanpa kehati-hatian, membuat Alicia meringis sakit.Lucius tersenyum manis. "Aku sangat membencimu," bisik Alicia tajam, sambil terus memperhatikan Lucius yang ternyata baru selesai memasangkannya infus.Kembali, Lucius hanya tersenyum. "Terima kasih, aku juga sangat membencimu," sahutnya tanpa adanya nada kebencian sedikitpun, tidak seperti cara Alicia mengucapkan kebenciannya sendiri."Kau lapar?"Alicia tidak menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak menatap Lucius yang berjalan menjauhinya lalu mengambil sebuah nampan berisi makanan, membawanya ke arah Alicia.Seketika itu perut Alicia berbunyi
Mobil hitam itu melaju meninggalkan pekarangan luas mansion. Alicia menatapnya dari jendela kamar. Dia menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata sejenak.Haruskah aku melakukan ini? Batinnya, mulai merasa ragu.Dia ingat dengan jelas ancaman Lucius jika Alicia melanggar 'peraturan' yang pria itu tetapkan. Tapi, Alicia benar-benar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya.Semua ini bermula saat waktu sarapan tadi. Ya, kesehatan Alicia membaik setelah hampir satu minggu dia hanya terbaring di ranjang. Pagi ini, Alicia sarapan di patio bersama Lucius. Mereka makan dalam diam. Lucius tidak sedikitpun tampak hendak memulai pembicaraan dengannya, karena seluruh perhatian pria itu seolah hanya untuk topik di kepalanya saja. Lucius pun tidak lagi datang ke kamar Alicia. Seperti hari ini, pria itu berangkat pagi-pagi dan selalu pulang larut malam.Alicia bertanya nama kota ini ke salah satu pelayan
Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.Sepi.Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.
Alicia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.Dia merasakan dadanya sakit akibat jantungnya yang berdetak begitu cepat serta napasnya yang berat. Dia menatap ke sekelilingnya, benar-benar gelap, namun dari suara-suara lain yang ia dengar di sana, Alicia jelas mengetahui bahwa bukan hanya mereka berempat yang ada di dalam ruangan itu. Siapa yang tahu apa yang ada di balik kegelapan?"Selamat malam, hadirin sekalian." Suara seorang pria dengan microfon.Alicia meneguk ludahnya susah payah. "Ca-calla...""Hm.""A-aku... aku benar-benar takut.""Damn, who wasn't."Alicia semakin merasa takut. dua perempuan lainnya yang Alicia tidak tahu nama mereka siapa, juga pasti merasa ketakutan, terdengar jelas dari suara rengekan mereka yang seolah hendak menangis.Alicia tahu... bahwa inilah saatnya."Terima kasih sud
Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.Lucius, yang saat i
Tubuh Alicia melemah seiring dengan tangisannya. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika napas mulai tersendat-sendat, dan dadanya terasa sakit. Alicia merasakan rengkuhan hangat itu mengerat dan seseorang membaringkannya dengan lembut di ranjang. Yang terakhir kali singgah di benaknya sebelum ia benar-benar menutup mata adalah wajah bibi Jen, Wendy, dan paman Filbert di desa. Alicia tidak akan pernah memaafkan dirinya atas apa yang terjadi pada mereka.Ketika terbangun dari tidurnya, kepala Alicia terasa pening. Bahkan hanya untuk membuka mata rasanya dia tidak sanggup. Tapi seseorang dengan sangat tidak berperasaan menarik tangan Alicia dan memaksanya duduk. Alicia langsung meringis memegangi kepalanya karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di sana."Aku tidak menyukai gadis manja!" hardik Lucius ketika Alicia terjatuh lagi ke ranjang dan Lucius menariknya duduk kembali."Ku-kumohon," rintih Alicia.