Share

07. Escape (2)

Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.

Sepi.

Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.

Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.

Ketika dirasanya tidak kuat, Alicia melipir ke pinggir jalan, masuk ke dalam bibir hutan dan bersandar pada salah satu pohon di sana.

Napasnya masih menderu dan sekujur tubuhnya berteriak sakit. Seumur hidup, Alicia tidak pernah lari sampai sejauh ini. Belum lagi dengan ketakutan yang dirasakannya.

Dengan jantung yang masih bertalu-talu dan napas yang kasar, serta udara dingin yang begitu menyengat, Alicia merosot jatuh dan terduduk lunglai. Dia memejamkan mata, menahan rasa sakit di kedua kaki dan dadanya.

Suara deru mobil dari kejauhan membuat Alicia membuka matanya kembali. Dia perlahan berdiri, lalu mengintip dari balik pohon yang hampir menelan figur tubuhnya yang kecil, untung saja.

Dan napas Alicia tercekat ketika sebuah mobil hitam nampak dari kejauhan. Dia semakin menenggelamkan dirinya ke dalam hutan dan bersembunyi di balik batang pohon yang lebih besar sambil tidak henti-hentinya merapalkan doa.

***

Lucius benar-benar marah ketika dia mendapat telepon dari salah satu anak buahnya di rumah bahwa Alicia kabur. Tangannya terkepal sangat kuat. Dia menghadiri sebuah rapat selama satu jam dalam amarah yang sebesar itu, benar-benar menyiksanya. Namun otaknya yang cerdas tidak membuatnya lalai dalam pekerjaannya. Lucius pun masih sempat berpikir apa yang harus dia lakukan.

Para bawahannya sedikit terkejut ketika Lucius tidak memerintahkan mereka untuk mencari Alicia.

Karena...

Lucius sendiri yang akan menemukannya.

Keluar dari ruang rapat, seringai dingin tercetak di bibirnya. Tatapan matanya tajam dan menjurus ke depan. Diikuti oleh tiga bodyguardnya yang lain, Lucius pun akhirnya memilih untuk pulang.

Ketika sampai pada jalur rumahnya yang diapit oleh hutan belantara, Lucius tersenyum lagi. Tangannya ia sandarkan pada jendela, memangku wajahnya yang tampan.

"Sir, Nona Alicia-"

"Aku tahu." Lucius menjawab cepat.

Matanya yang sangat jeli itu sempat menangkap figur seorang perempuan dengan dress biru mudanya, keluar dari hutan, lalu memasukinya lagi dengan cepat.

"Biarkan saja," katanya kemudian.

***

Hampir saja!

Alicia merasakan kelegaan yang benar-benar tiada tara setelah adrenalinnya berpacu sangat kencang.

Dia melanjutkan langkahnya dan berhasil menemukan jalan raya yang lebih ramai oleh kendaraan-kendaraan dan pejalan kaki.

Orang-orang menatap Alicia heran karena penampilan gadis itu yang benar-benar berantakan. Dress biru mudanya kotor, kakinya tidak beralaskan apapun, padahal saat ini telah memasuki musim dingin, mungkin itulah kenapa darah di wajahnya seolah tidak tersisa setetespun, benar-benar pucat. Juga rambut terangnya yang acak-acakan dan lengket.

Hari semakin siang, Alicia menghentikan langkahnya pada sebuah lorong yang sepi dan sengaja berdiam diri di sana untuk beberapa saat, mengistirahatkan kakinya yang benar-benar sakit.

Udara dingin menghantamnya semakin kuat. Tubuh Alicia juga semakin lemas. Dan dia menyesal tidak memakan habis sarapannya pagi tadi. Karena sekarang, Alicia benar-benar lapar dan haus.

Perempuan itu pun jatuh terduduk, menyenderkan punggung pada tembok bangunan di belakangnya, dengan kaki yang berselonjor ke depan.

Kepala Alicia mulai pening dan matanya berkunang-kunang. Dia tidak bisa menahan dorongan untuk tidak menutup kedua kelopak matanya, sampai hanya kegelapan yang ia lihat. Di sini sangat sunyi, Alicia bisa mendengar sedikit lebih jelas suara-suara mesin mobil dan pejalan kaki yang berlalu-lalang. Alicia hanya bisa berdoa, semoga Lucius tidak pernah menemukannya.

***

Tubuh Alicia terlonjak kaget ketika merasakan tamparan yang begitu keras di wajahnya, diikuri rasa sakit yang membakar. Mata Alicia mengerjap takut pada seorang perempuan yang saat ini tengah menatapnya dengan senyum meremehkan.

"Dia memang pingsan. Bagus kau bisa menahan nafsu binatangmu itu, Phill, akan kubayar kau dengan jumlah lebih nanti."

Alicia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mencari petunjuk yang bisa menjelaskan situasinya saat ini. Lalu matanya berlabuh pada seorang pria dengan tampilan preman yang berdiri di dekat pintu dengan senyuman sangat lebar. Perempuan yang tadi menampar Alicia berdiri dengan tangan di dada.

Tidak, bukan hanya dia saja perempuannya, namun ada beberapa perempuan lagi di ruangan besar itu, berpakaian sangat terbuka, dan semua pasang mata mereka menatap Alicia dengan tatapan aneh.

"Jangan hiraukan mereka," kata si perempuan dengan pakaian yang lebih sopan, yang tadi menamparnya. "Aku Dabby. Madame Dabby, begitu kau akan memanggilku," katanya lagi.

Alicia tidak merespon apapun, hanya mengerjapkan mata dengan sorot tajam.

Perempuan yang mengaku sebagai Madame Dabby itu tertawa terbahak-bahak. Lalu tiba-tiba mencengkram rahang Alicia dengan telunjuk dan jempolnya, memperhatikan wajah Alicia lebih dekat, lalu berdecak kesal. Dia melepas cengkraman jarinya dengan kasar, membuat kepala Alicia menoleh ke samping dan dia meringis.

"Kau memang cantik, sayangnya terlalu kotor." Madame Dabby, berbalik pergi, namun sebelum sampai di pintu, dia berkata, "Bersihkan dia."

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Alicia... memang benar dibersihkan. Oleh perempuan-perempuan yang tadi menatapnya aneh. Mereka berlima, mendekati Alicia, membuka seluruh pakaian di tubuh Alicia, lalu menggerayanginya dengan tangan-tangan kurus mereka, Alicia menjerit-jerit ketika seluruh pakaiannya telah berhasil terbuka.

"LEPASKAN!!!" serunya tidak tahan. Air matanya mengucur bebas. Tubuhnya diangkat dan dia dibawa menuju ruangan lain yang di dalamnya terdapat sebuah bathup, Alicia diturunkan di sana. Tubuhnya kembali terlonjak kaget karena air di dalam bathup itu terasa seperti air es, benar-benar dingin.

Kepalanya kembali terasa pening, cekikikan lima perempuan yang diberi tugas untuk 'membersihkan' Alicia itu terdengar samar-samar di telinga Alicia. Entah karena saking kedinginannya atau karena suntikan yang baru saja Alicia terima di tangannya, perlawanan Alicia melemah karena tubuhnya juga sangat lemah, dia bahkan tidak kuasa untuk membuka kelopak matanya lagi, sehingga dia sama sekali tidak bergerak dan membiarkan perempuan-perempuan aneh itu mengelap tubuhnya dan memasangkannya pakaian. Alica tidak benar-benar hilang kesadaran, karena dia masih sangat jelas mendengar atau merasakan apapun yang berada di sekitarnya.

Setelah semua itu selesai. Alicia, dengan tubuh yang hanya dibalut oleh bra dan celana dalam dimasukkan ke dalam sebuah jeruji besi yang telah diisi oleh tiga perempuan lain. Wajah mereka tampak sangat ketakutan, kecuali Alicia yang hanya menatap dengan tatapan kosong ke depan, dia masih dalam pengaruh obat yang tadi disuntikkan oleh perempuan-perempuan itu.

Satu jam kemudian, pengaruh obat itu hilang. Dan Alicia sepenuhnya sadar pada situasinya saat ini, terlebih pada pakaian yang ia kenakan. Alarm bahaya di kepalanya berdering sangat kencang. Dia melihat sekelilingnya dan menemukan tiga perempuan lain.

"Apa yang terjadi?" tanya Alicia, namun ketiga perempuan itu tidak menjawab.

"Ini akhir hidup kita." Jawab salah satu dari mereka yang tampak sedikit lebih tenang dari dua perempuan lainnya, namun tetap menampakkan ketakutan dari sorot matanya.

"Apa maksudmu?" tanya Alicia lagi.

"Kita sedang dirumah bordil, bodoh."

Alicia mengernyit. "Apa artinya?"

Perempuan yang tadi menjawab pertanyaannya memutar bola matanya jengah. "Itu artinya, tidak lama lagi, tubuh kita yang tidak berguna ini akan dijual oleh si perempuan sialan itu kepada para bajingan dan hidung belang di luar sana. Sial! Aku menyesal telah tidur di pinggir toko sialan itu semalam, seharusnya aku ke kolong jembatan saja." Perempuan tadi menjelaskan, dengan nada gerutu pada akhir kalimatnya yang tidak Alicia mengerti karena terlalu terkejut akan fakta yang dikatakan perempuan itu

Dia akan dijual?

Dan akan dibeli oleh pria-pria bajingan dan hidung belang di luar sana?!

Bagaimana kalau pria-pria itu lebih kejam dari Lucius?

Alicia terkesiap dengan pemikirannya. Dia harus keluar dari sini. Bagaimanapun caranya, Alicia harus kabur. Dia sudah berhasil kabur dari Lucius, tentu saja dia juga bisa kabur dari sini semudah dia kabur dari penjagaan pria kejam itu yang super ketat.

Alicia berbalik dan menatap keluar dari jeruji besi itu. Tangannya bergetar ketika menggenggam besi yang sangat dingin. Matanya melihat-lihat ke arah luar, mencari para penjaga. Dan dia menemukan dua orang penjaga di dekat pintu masuk. Alicia menelan ludahnya, pria-pria itu berbadan besar. Apakah dirinya mampu lolos dari mereka?

Alicia mundur lagi dan duduk di dekat perempuan yang tadi menjawab pertanyaannya. Dua perempuan yang lain kini berbaring dan tampak menutup mata mereka sambil menangis dengan tubuh bergetar.

"Aku harus keluar dari tempat ini," gumam Alicia. Matanya menatap kosong, kakinya ia tekuk perlahan, lalu kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. "Ayo berpikir, Alicia!" geramnya putus asa.

Suara kekehan di sampingnya membuat Alicia menoleh. "Kau tidak akan berhasil keluar dari sini," ucap perempuan itu.

Alicia menggeleng. "Pasti bisa,... kan?" tanyanya, dengan keraguan yang tampak jelas. Perempuan itu tersenyum sinis. "Kau tidak akan berhasil. Percayalah, mereka akan menemukanmu dan memperlakukanmu lebih buruk dari yang telah mereka lakukan padamu."

"Itu tidak benar," gumam Alicia dengan suara nyaris tidak terdengar.

Perempuan di sampingnya lagi-lagi terkekeh. "Apa yang aku katakan memang benar. Kita beruntung karena para bodyguard itu membawa kita ke tempat ini dalam keadaan perawan dan hidup, beberapa mereka perawani terlebih dahulu, sehingga nilainya tidak lagi berharga dan otaknya akan dicuci, diberi obat supaya mereka tidak memberontak, lalu menjadi pemuas nafsu para bajingan hidung belang di kalangan bawah, atau menjadi peliharaan mereka di rumah. Jika sudah seperti itu, artinya sama saja seperti kau mati, ragamu pergi, hanya nyawamu yang hampa yang tersisa. Dan itu semua akan terjadi jika kau kabur, para bodyguard itu bisa saja berbuat nekat dan akan memerawanimu apapun konsekuensinya, setelahnya bisa saja kau dibunuh, sehingga mereka tidak perlu mendapatkan amukan dari si perempuan sialan bernama Dabby itu."

Napas Alicia kembali tercekat dan tubuhnya semakin gemetar setelah mendengarkan itu semua. Dia menatap si perempuan dengan tatapan ketakutan. "Da-dari mana... kau tahu semua itu? D-dan... dan kenapa kau tidak takut?!"

Perempuan itu tersenyum, membuat Alicia terhenyak akan kesedihan yang terpancar di matanya. "Aku tahu, karena aku melihatnya sendiri." Perempuan itu memeluk lututnya kian erat di dada. "Kita awalnya berlima, kami mencoba kabur. Sayangnya, dua gadis itu dibunuh setelah diperkosa. Kami beruntung karena saat giliran kami, perempuan bernama Dabby itu datang."

Tidak mungkin! Alicia bergidik membayangkannya, sampai perempuan itu kembali melanjutkan. "Aku memang tidak takut. Aku hidup sendiri selama berminggu-minggu di jalanan. Keluargaku tidak akan peduli nasibku bagaimana, mereka mungkin sudah menganggapku mati. Aku kehilangan segala yang kupunya di dunia ini, lalu untuk apa aku hidup? Lebih baik kalau aku benar-benar mati, kan."

Alicia menundukkan tatapannya setelah melihat raut keputus-asaan yang jelas pada wajah perempuan itu.

Dia teringat kembali akan kedua orangtuanya, bibi Jane, Wendy, dan paman Filbert di desa. Kedua orangtuanya mungkin saja sudah tidak menginginkan Alicia lagi, tapi dia masih memiliki orang-orang yang menyayanginya dengan tulus, yang masih menginginkan sosoknya.

Lalu Alicia menatap lagi perempuan itu, yang kali ini tengah menyandarkan punggungnya pada tembok yang benar-benar dingin, sambil menutup kedua kelopak matanya dengan tenang.

Untuk pertama kali atas segala penderitaan Alicia selama ini, dia merasa bersyukur, merasa lebih beruntung dan lebih bahagia dari perempuan di hadapannya saat ini, atau perempuan-perempuan lain di luar sana. Setidaknya, dia pernah merasakan rasanya memiliki keluarga di desa, walaupun Lucius merenggutnya secara paksa.

Alicia menarik napas dalam-dalam. Dia harus menenangkan dirinya agar otaknya dapat kembali dugunakan untuk berpikir. Bagaimanapun, Alicia harus keluar dari tempat ini. Jika sampai semua yang perempuan itu katakan padanya terjadi, Alicia...

...ya, dia tidak tahu harus bagaimana. Pemikiran itu membuat Alicia berpikir untuk menyerah saja.

Dia telah dijual sekali oleh pamannya. Kepada seorang bajingan kejam yang untung saja bukan seorang pria berhidung belang, tapi tetap saja dia seorang bajingan yang sama, dan Alicia tidak ingin itu terulang kembali.

Ketika sibuk berpikir, perempuan di hadapannya tiba-tiba kembali bersuara. "Namaku Calla, omong-omong."

Alicia mengangkat wajahnya, menatap tidak mengerti pada wajah tersenyum di hadapannya, lalu mengerjap beberapa kali. "Aku Alicia." Dia menjawab singkat.

"Sebenarnya tidak ada gunanya kita berkenalan." Calla terkekeh. "Kalau tidak mati, kita akan menjadi peliharaan seseorang di luar sana dan akan diperlakukan sebagai hewan. Yah, sama saja dengan mati, sih."

Alicia menggigit bibir bawahnya. "Kau... kau benar-benar tidak mau keluar dari tempat ini?"

Calla menatapnya lama, lalu berdecak. "Untuk apa? Aku tidak memiliki kehidupan di luar sana. Sama saja."

Alicia menggeleng-gelengkan kepala. "Aku juga. Orangtuaku pergi dan menitipkan aku ke pamanku. Saat itu aku berusia 9 tahun. Lalu tidak lama kemudian, dia menjualku kepada seorang pria."

Calla yang awalnya tampak tidak tertarik, kini menatap Alicia setelah mendengar kata bahwa seseorang telah menjual Alicia. "Apa yang terjadi selanjutnya?" tanyanya.

Alicia tersenyum lebar. "Aku kabur dari pria itu."

Calla membulatkan matanya terkejut, lalu terdiam lagi dengan tatapan dingin. "Lalu kau jatuh ke lubang yang sama."

"Aku memang sebodoh itu." Alicia tertawa sumbang. "Dia memberiku kehidupan yang layak di sebuah desa terpencil bersama sebuah keluarga yang sederhana dan harmonis. Aku sempat bahagia saat itu, aku memang naif. Lalu di ulangtahunku yang ke 18, dia datang dan menjemputku, memaksaku tinggal dengannya di kota. Well, aku diberi kamar tidur yang bagus, di atas kasur yang empuk dan selimut tebat. Dia memberiku makan dengan makanan mewah. Semua itu bagus, kan. Hanya saja, aku bukan tipe perempuan yang suka dikekang. Dia mengancam akan membunuh kedua orangtuaku dan keluargaku di desa jika aku berani melanggar peraturan yang dia buat. Dia juga..."

Alicia terdiam.

Tunggu... bukankah ini artinya, Alicia telah melanggar peraturan itu? Lucius bilang... di ruang makan itu...

Calla menyadari perubahan pada wajah Alicia yang tampak syok. "Kenapa?"

"A-aku..." Alicia tidak mampu menjawab, "aku telah melanggar peraturannya itu dengan kabur darinya."

Calla ikut tertawa sumbang. "Ya, kau memang bodoh. Katakan selamat tinggal pada mereka yang akan segera mati, kalau begitu."

Alicia meringis tanpa sadar.

"A-aku... aku harus keluar dari sini dan menemuinya!"

Calla mengernyit. "Lalu untuk apa kau kabur, idiot?"

Alicia hendak menjawab, namun Calla segera memotongnya. "Tunggu, itu bukan urusanku. Terserah kau saja, aku tidak mau ikut campur."

Alicia menggigit bibir bawahnya semakin kencang. Dia kabur karena ingin mencari keberadaan kedua orangtuanya di kota ini, kota yang sama tempat ia menghabiskan 9 tahun hidupnya semasa kecil dulu. Tapi, bagaimana jika Lucius telah lebih dulu menemukan orangtuanya dan membunuh mereka?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status