Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu.
"Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.
Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."
Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia.
"Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.
Han
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Alicia." "Mommy!" Seorang gadis kecil menghampiri ibunya yang tengah berdiri di ambang pintu kamar, memeluknya langsung. "Alicia," panggil wanita paruh baya itu sekali lagi, dengan mata yang berkaca-kaca. Alicia tampak kebingungan. "Mama, ada apa?" Marie menggelengkan kepala, tersenyum menatap anaknya. Tidak lama kemudian, dua pria datang menghampiri mereka. Keduanya Alicia sangat kenal. Yaitu ayah dan pamannya. "Robert, aku mohon, jaga Alicia baik-baik." Marie menatap Robert dengan air mata yang sudah berlinang. Robert menganggukkan kepala. "Kalian tidak perlu khawatir, Alicia akan aman tinggal bersamaku," ucapnya dengan sulas senyuman manis. Marie menganggukkan kepalanya, masih dengan air mata yang bergulir di kedua pipinya. Setelah memeluk Alicia, dia mundur dan membiarkan Alarick, suaminya, memeluk anak mereka.
Sudah satu minggu semenjak kepergian kedua orangtuanya yang tanpa sebab atau tanpa alasan. Saat ini, Alicia tinggal dengan pamannya, Robert Lucero. Kehidupan gadis berusia sembilan tahun itu jauh berbeda dari yang sebelumnya. Dia selalu murung diri di dalam kamar, jarang makan, dan juga jarang tidur. Robert tidak pernah sekalipun mengunjunginya atau hanya sekedar datang menghiburnya. Alicia kini merasa bahwa dunianya hampa. Namun, sepertinya kehidupannya juga akan berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya, ketika malam itu, Robert meminta kepada pelayannya untuk mendandani Alicia dengan rapi. Dan di ruang tamu, Alicia dipertemukan dengan seorang pria yang memiliki mata seperti iblis, merah kelam. Alicia yang awalnya hanya terdiam, tiba-tiba merasa sekujur tubuhnya merinding seperti ketika dia ditakut-takuti oleh nannynya tentang monster di bawah ranjang. Bedanya, saat ini monster itu tengah
Gadis berambut hitam dengan blus putih di atas mata kaki itu duduk di atas rerumputan sambil memainkan pucuk dandelion yang tadi dipetiknya. Matanya menatap ke depan, pada beberapa ekor domba yang tengah asik mengunyah rumput.Rambut hitam gadis itu beterbangan diterpa angin, namun dia tidak peduli, malah matanya menutup, menikmati suasanya pagi ini yang begitu sejuk.Di kala sendiri seperti ini, dia selalu diingatkan akan kedua orangtuanya, dan pria bermata merah yang telah membawanya ke sini.Di usianya yang sudah menginjak angka delapan belas tahun, Alicia tidak lagi menangis jika mengingat kedua orangtuanya pergi meninggalkannya tanpa sebab. Dia berpikir, apa dulu dia pernah berbuat nakal sehingga ayah dan ibunya pergi dan tidak mau bersamanya lagi? Apa dulu dia telah menjadi anak yang tidak baik sehingga membuat ayah dan ibunya menangis? Alicia tidak tahu, dia tidak akan pernah tahu.Paman Robert yang
Napas Alicia memburu ketika dia memacu kakinya untuk terus berlari dan memasuki area hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan pinus. Dia berhenti, dan menyandarkan tubuhnya di salah satu batang pohon dengan napas setengah-setengah."Aku tidak mau bertemu dengannya," gumam Alicia dengan suara tercekat.Dia mengintip dari balik pohon, memang mustahil bahwa pria itu akan mengikutinya sampai ke sini, jadi Alicia melanjutnya langkahnya dengan berjalan, sampai ia keluar dari rimbun pohon ke sebuah sungai yang airnya sangat jernih.Untuk beberapa saat, sambil mengatur napasnya, Alicia duduk di salah satu batu yang menjadi tempat favoritnya di sana. Dia berniat untuk menunggu pria itu pergi, barulah Alicia akan kembali ke rumah, bahkan jika dia harus menunggu sampai malam sekalipun. ***Matahari hampir tenggelam ke peraduannya, Alicia jatuh tertidur dengan bersandar
Keesokan harinya, ketika Alicia terbangun dari tidur setelah hampir semalaman menangis, dia dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang di kamarnya. Alicia sontak langsung beringsut duduk menatap penuh awas pada perempuan-perempuan berpakaian serba putih itu."Selamat pagi, Miss Alicia," sapa salah satu dari mereka, yang tampak lebih tua dari perempuan yang lain.Alicia menelan ludahnya dengan susah payah. "Pa-pagi."Si kepala pelayan itu tersenyum ramah. "Anda tidak perlu takut, Miss, kami datang ke sini untuk membantu Anda bersiap-siap untuk sarapan."Mendengar itu, Alicia menggeleng kepala. Para pelayan itu saling tatap, memperhatikan penampilan Alicia dengan rambut acak-acakkan dan mata sembab dengan pakaian yang masih utuh.Terlebih, tidak ada noda darah di kasur.Mereka sangat hapal pada tabiat tuan mereka, setiap kali membawa seorang gadis ke rumah, gadis tersebut tida
Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.