Share

Cemburu

           

          Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya.

           Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. 

            Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruangan dengan dinding kaca itu, mengamati Kania yang sedang duduk di depan laptop andalannya. Mata wanita itu terpaku pada layar di depan, sementara bibirnya terus menerus bergerak, sesekali tangannya menunjuk ke arah layar. Sementara itu Barry lebih terlihat seperti terpesona kepada Kania daripada memperhatikan layar yang ditunjuk oleh wanita itu.

            ‘Dasar mata keranjang!’ gerutu Marlo dalam hati.

            “Bisa dibantu, Pak? Bapak mau bertemu dengan Pak CEO?” Suara sekretaris Barry membuat Marlo kembali tersadar.

            “Nggak papa, saya mau rapat.” Marlo bergegas meninggalkan wanita muda yang keheranan melihat dirinya terbengong di depan ruangan sang bos.

            Sambil berjalan menjauh, Marlo berkali-kali meraup muka dengan telapak tangan.

            ‘Parah, gue nggak bisa lihat bayangan Kania sekelebat saja,’ batin Marlo.

            Ia bergegas masuk ke ruang rapat, menyibukkan diri dengan materi-materi yang diberikan divisi humas kepadanya.

Hari ini moodnya sangat jelek, seluruh tim yang ikut rapat dengannya menjadi sasaran. Semua hal terasa salah dan tidak pada tempatnya.

***

Kania mencoba menjelaskan satu per satu permasalahan perusahaan. Satu jam lagi ia harus mendampingi sang CEO bertemu dengan pihak transportir produk. Kania mencoba menjelaskan dengan grafik dan angka, bahkan dengan beberapa gambar yang sengaja ia minta dari lapangan. Ia memastikan bahwa Barry paham betul akan situasi yang dihadapi oleh perusahaan. 

“Selama kamu ada mendampingi saya, yakin semua masalah bisa diselesaikan.” Barry bersedekap sambil mengamati rangkaian grafik, gambar, dan angka-angka yang tlah disusun oleh Kania.

“Kamu harus paham seluruhnya, sebelum pihak transportir membombardir kita dengan tuntutan mereka.”

“Ya, ya, ya, ... selama kau yang menjelaskan, aku paham, kok.”

Hubungan Kania dan Barry makin akrab hingga masing-masing sudah memanggil dengan nama saja, tidak formal seperti awal mereka berjumpa.

Sesuai janjinya, Barry selalu mengantar Kania pulang ke rumah. Pribadi Barry yang ramah dan rendah hati membuat Kania nyaman berada dekat dengannya. Barry tak sungkan untuk bersikap romantis, walaupun berkali kali Kania menyatakan bahwa dirinya memang tidak ingin mempunyai hubungan spesial dengan laki-laki.

“Gimana, sudah paham?” Wanita itu menatap sang CEO yang manggut-manggut mencoba menerima apa yang disampaikannya.

“Udah.”

Kania tersenyum puas, tidak sia-sia ia lembur kembali tadi malam menyiapkan segala sesuatu untuk sang CEO.

“Udah cukup, kok. Saya paham apa yang nanti akan kita sampaikan ke mereka.”

“Jadi kita berangkat sekarang? Masih ada waktu tiga puluh menit untuk pergi ke The Palace.” Kania segera merapikan laptop dan perlengkapannya.

Wanita itu lalu menghubungi sopir kantor melalui telepon, meminta untuk bersiap di lobby karena mereka akan segera berangkat ke The Palace, sebuah restoran hotel bintang lima tak jauh dari kantor.          

Barry sedang menerima laporan dari sang sekretaris saat Kania berhasil menyusulnya keluar ruangan membawa satu tas penuh berisi materi rapat.

“Pak, tadi Pak Marlo sepertinya ingin bertemu Bapak di ruangan, tapi tidak jadi, mungkin karena tidak ingin mengganggu Bapak tadi, sekarang beliau sedang rapat di ruang meeting utama.” Sekretaris Marlo melapor ketika mereka keluar ruangan.

“Saya nggak janjian sama Oom Marlo, nanti deh saya hubungi sendiri. Makasih ya Tasya.”

Tasya mengangguk.

Kania yang mendengar laporan sang sekretaris berpikir, apakah karena dirinya Marlo tidak jadi bertemu dengan Barry? Apakah Marlo masih marah padanya? Semenjak kejadian di lift, ia belum berbicara kembali dengan Marlo. Jujur perkataan lelaki itu saat di lift sangat membekas di hatinya. Sebegitu jelekkah dirinya di mata lelaki semacam Marlo?

Teringat tatapan jijik yang pernah di lempar kepadanya membuat hati Kania semakin terluka, walaupun terakhir mereka bersama tatapan seperti itu sudah hilang.

“Oi, kok bengong aja, ayo naik, tuh mobil sudah siap.” Barry menyenggol bahu Kania membuat wanita itu kembali fokus. Mereka sudah berada di lobby kantor.

Kania segera masuk ke kursi penumpang. Sekilas menatap CEO nya yang tampan. Bagaimana mungkin dua orang berbeda kepribadian ini bisa berkerabat? Batinnya membandingkan dua orang bosnya.

***

“Barry!”

Lelaki jangkung itu berhenti menoleh pada sang ibu yang duduk manis di kursi favoritnya di ruang keluarga.

“Kenapa, Ma?”

Barry mendekat, lalu duduk di kursi berbantal bulu angsa di samping ibunda.

“Habis pergi dengan Kania?” tanya wanita itu tajam.

“Iya, meeting di The Palace sama transportir. Mama tahu?”

Clarissa tersenyum jumawa. “Sudah Mama bilang, Mama akan tahu semua hal tentang kamu, Nak.”

Well done, kamu sudah berhasil mendekati Kania.” Senyum sinis wanita itu seolah mengkhianati wajah cantiknya.”Jangan terperosok terlalu jauh, Mama takut pesona Kania menjadi bumerang buatmu.”

Barry tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

“Ckckck ... hebat sekali Mama ini, selalu tahu, semuanya.” Sindir Barry. “Ma, aku sangat respek sama Kania. Mama tidak perlu mengatur aku harus bagaimana.”

Barry berdiri bersiap meninggalkan sang ibu sebelum kembali berkata. “Dan satu lagi Ma, jangan sentuh Kania seujung jari pun. Kalau sampai Mama menyakitinya, Mama akan menyesal,” pungkasnya.

Lelaki jangkung itu meninggalkan Clarissa sendiri. Bergegas naik ke tangga melingkar rumah mewah mereka menuju kamar.

Di dalam kamar, ia segera merebahkan diri ke kasur empuk di tenga ruangan. Kamar ini dulu pernah ditempati olehnya sebelum sekolah di luar negeri. Kini ia kembali di sini. Desain kamar sudah dirubah menjadi kamar dewasa. Kamar besar dengan balkon terbuka, begitu besar kamarnya, tetapi terasa kosong. Sekosong hatinya selama ini. Berkali-kali ia mencoba mengisi hati dengan berbagai cinta ke banyak perempuan, tetapi rasa kosong itu masih ada. Sampai ia bertemu dengan Kania. Setelah bertemu wanita itu dalam beberapa hari ini hatinya tak lagi kosong, ada sebuah nama terukir di sana. Kania.

Kania yang cantik penuh pesona bukan hanya pintar, tetapi juga memiliki hati yang baik dan polos. Dirinya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan wanita cantik itu. Ia tidak peduli harus melawan sang ibu. Ia jengah selama ini selalu tunduk dalam wewenang ibunya yang otoriter. Ia sudah dewasa, berhak menentukan apa yang terbaik buat dirinya sendiri. Jauh dari bayang-bayang ibunda.

Kania seorang single parent, tetapi hal itu tidak masalah bagi Barry. Besok ia akan mengantar wanita itu pulang ke rumah, lalu ia akan berkunjung, mencoba mendekati keluarga wanita cantik itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status