Share

5. Semanis Es Krim

"Elena, ini siapa?" tanya Snow menunjuk foto kedua orang tuaku yang ada di atas perapian.

"Itu—orang tuaku," jawabku.

"Lalu gadis kecil ini?"

"Itu aku."

"Kau cantik sejak kecil, Elena."

Entah itu pujian atau hanya gombalan yang baru dipelajari oleh Snow. Tapi baru kali ini aku tidak menangis ketika ditanya mengenai orang tuaku.

Orang tuaku yang meninggal ketika umurku masih delapan tahun. Kalau saja dulu aku ikut mereka, mungkin aku tak akan menjadi yatim piatu seperti ini.

"Mereka ada di mana, Elena? Mengapa aku tak pernah melihat mereka?"

"Mereka—" Akhirnya aku tak bisa menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.

Aku melihat bayangan Snow bergerak menghampiriku yang saat ini sedang membersihkan debu di sofaku.

"Mereka—sudah meninggal, Snow," jawabku pelan lalu sekuat tenaga aku menahan agar tangisan ini tidak membuat Snow bingung.

"Maaf," katanya.

Dia memelukku dengan tubuh dinginnya. Namun aku merasa hangat dengan perlakuannya.

Air bening yang mengalir dari pipiku ia usap dengan tangan pucat itu. Rasanya dingin—tapi aku tak bisa mengelaknya.

Aku menengadahkan wajahku dan menatap wajah Snow. Matanya sangat teduh. Tak bersinar tapi sangat teduh. Seakan dia tahu apa maksud jawabanku tadi—dan merasa apa yang aku rasakan.

"Aku tak memiliki orang tua," ucapnya pelan. Dia menatap salju yang turun malam ini.

Malam gelap hanya berpendar lampu jalanan. Menerangi malam yang gelap dan sunyi.

Aku tidak pernah bertanya pada Snow mengenai dirinya lebih jauh. Yang kutahu dia hanyalah berasal dari kepingan salju yang jatuh di atapku dan menjelma menjadi sosok pria tampan.

Tak pernah berpikir apa dia memiliki keluarga atau tidak. Karena bagiku dia hanyalah kepingan salju.

Namun semakin hari dia bersamaku, dia layaknya manusia yang memiliki jiwa dan perasaan.

Dan aku dapat merasakan kesedihannya ketika dia berkata kalau dia tak memiliki orang tua.

"Tapi temanku banyak," lanjutnya kemudian menatapku.

Ketika dia melihatku menggigil, dia menjaga jarak dan duduk berada jauh di depanku.

"Banyak?" tanyaku.

"Iya. Ada banyak jumlahnya—dan mungkin yang beruntung sepertiku hanyalah beberapa."

"Apa kau beruntung, Snow?"

"Tentu, meskipun awalnya kau mengira aku lelaki mesum dan memukulku sampai pingsan. Tapi aku beruntung bisa bertemu denganmu."

Meski ada kata-kata sarkas dalam kalimat itu, tetapi aku senang sebab dia merasa beruntung bertemu denganku.

"Kau tahu, Elena? Kalau dulu itu aku hanya pura-pura pingsan," ungkapnya membuatku malu.

Keparat, batinku kesal.

"Kenapa kau harus pura-pura pingsan?"

"Agar kau senang," jawabnya enteng.

Ingin aku mengumpat sekali lagi. Tapi kutahan.

"Snow?"

"Ya, Elena?"

"Boleh kupukul sekali lagi?"

"Langit malam ini indah, Elena. Jangan gunakan kekerasan—"

BUGG!!!

Kulempar bantal sofa tepat di wajahnya. Lelaki itu bisa sekali merubah mood-ku dengan mudah.

"Cerita tentang temanmu tadi, bagaimana?"

"Oh ya aku lupa. Tadi sampai mana?"

"Beruntung."

"Oh ya itu." Matanya mengawang. "Tapi aku lupa Elena."

Shit! Memang dia pintar sekali membuat mendidih darahku. 

Aku bangkit karena bosan berbicara dengan Snow. 

"Aku sudah ingat, Elena."

Mataku melirik tajam ke arahnya. Namun dia langsung merapatkan kedua kakinya dan sambil bersiul tapi sayangnya hanya bibirnya saja yang monyong, tak ada suara yang keluar dari bibir itu.

"Apa?" desahku malas. Aku menaruh pantatku di atas sofa lagi. Kalau sampai dia berbicara omong kosong lagi, maka aku tak akan segan untuk melemparnya sampai depan rumah.

"Jika mahkluk sepertiku adalah wanita—kau tahu apa yang akan mereka dapatkan?"

Wajahnya mulai serius.

"Siksaan, atau bahkan pelecehan."

Snow sudah mendapatkan kosakata baru lagi dan aku bangga.

"Karena dia sama sepertimu, jatuh telanjang dan jika bertemu dengan lelaki—dia akan menjadi—"

"Budak seks."

Astaga! Dapat darimana dia kata-kata kasar itu! Setiap hari aku hanya mengatakannya, tapi tak pernah bilang seks padanya. Jangan-jangan dia menonton film biru jika aku lengah?

Ya ampun, Snow yang polos. Jangan sampai dia ternodai dengan hal-hal seperti itu!

"Se—kss." Aku terbata.

"Iya. Lalu mereka akan menghilang."

Menghilang? Aku tak pernah berpikir sejauh itu. Kupikir Snow akan terus berada di bumi ini.

"Kenapa menghilang?"

"Karena kami hanya kepingan salju. Kami hanya akan bertahan di sini sampai tiga bulan. Ketika musim berganti kami akan pergi."

Entah mengapa kalimat itu membuat dadaku terasa sesak. Apa itu artinya Snow juga akan meninggalkanku? Meskipun aku tak ingin dia pergi dariku?

"Apa—kau juga akan pergi, Snow?" tanyaku ragu dan takut.

"Tentu saja Elena."

"Dan kau akan kembali ketika musim salju datang?"

Snow mengangguk. Aku merasa lega.

"Tapi aku tak pernah tahu di mana aku jatuh nanti."

"Apa sebelumnya—kau juga sudah pernah terjatuh? Di mana? Apa di tempat wanita juga? Apa dia cantik?"

"Kau adalah orang pertama yang bertemu denganku. Jika aku sudah pernah terjatuh, pasti aku sudah bisa berbicara denganmu ketika pertama kali bertemu."

"Snow, apa kau tak bisa terus tinggal di sisiku?"

'Rasa egoisku dulu, membuatku tidak tahu dampak apa yang akan terjadi dan bisa mengubah nasib Snow.'

'Kalau dulu aku tidak memikirkan kepentinganku sendiri, pasti dia akan terjatuh lagi meski tidak di rumah ini.'

"Memangnya kenapa, Elena?"

"Aku takut akan kesepian."

Dan untuk pertama kalinya, aku mengaku di depannya jika akulah yang takut kesepian. Takut jika tidak memiliki teman. Takut tidak bisa terbiasa setelah dia pergi.

"Bisa," ucapnya pelan, tapi mata itu tak bisa membohongi.

'Jika saja dulu aku tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Mungkin dia masih ada di bumi ini ketika salju turun.'

'Penyesalanku semakin dalam, ketika aku melihatnya pergi meninggalkanku dengan cara seperti itu.'

"Janji, Snow?"

"Aku janji padamu, Elena."

"Apa kau sudah mulai mencintaiku?" tanyanya dan membuatku terkekeh.

"Belum."

"Jadi kapan kau akan mencintaiku? Besok? Lusa?"

"Snow, berhenti bertanya padaku tentang cinta," gumamku kesal lalu aku masuk ke dalam kamarku.

"Aku akan menunggu Elena!"

'Seharusnya aku mengatakan hal itu lebih awal. Agar dia tahu kalau aku mulai jatuh cinta padanya waktu itu.'

'Aku terus sibuk menyangkal sampai dia pergi meninggalkanku.'

**

"Snow, jadi anak baik hari ini, oke?" Aku sudah berdiri di depan beranda rumah.

Hari ini aku akan bekerja sampai jam tiga sore. Aku hanya bekerja selama enam jam, karena aku hanyalah pegawai paruh waktu. 

"Oke, Elena."

"Dan aku akan membelikanmu kue strawberry lagi."

"Aku akan menjadi batu di rumah sampai kau pulang."

"Nanti kubelikan es krim," kataku membuat dia bertambah semangat.

"Es krim? Apa itu es krim? Bagaimana rasanya, Elena?"

"Rasanya?" Aku tersenyum licik. "Rasanya seperti kau diberi gula dan cokelat, dan—"

Dia menatapku dengan jijik, tapi aku bisa tertawa puas karena itu.

"Hei! Hentikan tatapan jijikmu itu padaku, aku hanya—"

"Aku tak akan pernah makan es krim!"

"Kalau aku beli jangan minta." Aku masih tertawa, meninggalkannya dengan raut wajah yang keruh setelah aku mengatakan hal menggelikan tadi padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status