"Snow."
"Hmmm."
"Malam ini … tidurlah di dalam rumah."
Untuk pertama kalinya aku meminta permintaan bodoh itu pada Snow.
**
Hangat ...
Rasanya sangat hangat. Sampai aku tak percaya jika yang ada di belakangku dan yang sedang memelukku saat ini adalah Snow.
Ya, Snow. Lelaki yang sangat dingin itu tiba-tiba menjadi terasa sangat hangat.
Pelukannya dan tangannya yang melingkar di tubuhku. Entah mengapa rasanya sangat aneh.
Debaran jantungku terasa sangat cepat. Padahal aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Snow bergerak. Aku memilih untuk berpura-pura untuk memejamkan mataku. Lalu ... Snow seperti dengan sengaja mengecup pangkal leherku. Dan sekuat tenaga aku menahan rasa geli itu.
Kemudian ... Aku merasakan ada yang janggal di bawah sana. Maksudku di bagian tubuh bawah Snow. Kenapa bisa
Malam ini masih seperti biasa. Menunggu seseorang yang sangat berharga bagi hidupku.Kekasih? Bukan, dia bukan kekasihku. Tapi aku harus menyebutnya apa?Dia adalah lelaki yang sudah mengisi hidupku selama lebih dari dua tahun ini.Dia sangat polos, dia sangat lucu dan dia sangat menggemaskan.Namanya adalah Snow.Malam ini katanya akan turun salju. Makanya aku tetap berada di sini tak memedulikan dingin yang hampir saja membekukan tubuhku."Masih menunggu dia?" tanya seorang lelaki yang kemudian duduk di sebelahku."Hmm, tentu saja," jawabku."Apa kau yakin kalau dia akan kembali," desahnya sambil menyandarkan punggungnya di kursi."Aku yakin. Dia tak pernah mengingkari janjinya selama ini." Aku tersenyum pada Foster, lelaki yang juga sahabatku."Aku masih penasaran.""P
"Hei, bangun!" Aku menendang kaki lelaki itu dengan ujung jempolku karena kupikir akan menyakitkan jika dia kutendang dengan kekuatan kakiku.Dia masih bergeming. Aku berniat mendekatinya, barangkali dia mati. Atau—tidak, dia tak boleh mati. Aku tak boleh menjadi pembunuh di usia muda. Ehm—maksudku meski tua nanti aku juga tak boleh jadi pembunuh."Hei, lelaki mesum. Bangun, atau akan kuguyur kau dengan air dingin," bisikku sedikit mengancam.Dan anehnya lelaki itu langsung terduduk dan menatap ke arahku."Kau mengerti aku bilang apa?" tanyaku, aku berjongkok dengan jarak lima meter darinya setelah berhasil membuat dia tersadar.Dia mengangguk."Darimana kau berasal?"Wajahnya menengadah menatap ke arah langit."Pohon? Kau pikir aku akan percaya?"Dia tersenyum.Sial! Senyum itu sangat mematikan untuk jantungku. Sen
"Waktu itu dia sangat senang ketika kuberikan nama Snow," ucapku pada Foster.Foster tampak menyukai dengan ceritaku ini."Yah, mungkin kalau kau yang memberikan nama itu padaku, aku akan lebih memilih untuk menjadi musuhmu saja," gumam Foster menyebalkan."Kau tau, Foster? Mengapa aku memberikan nama itu padanya?""Apa?"Aku tersenyum sambil membayangkan wajah cerah itu. "Karena dia putih dan sangat polos.""Mana ada lelaki polos, jangan mengelabuiku," ucap Foster tak percaya."Awalnya aku pikir dia berpura-pura, tapi ternyata dia benar-benar polos."**"Snow? Snow?" Dia mengucapkan nama itu berkali-kali seolah baru saja diberikan satu ton berlian."Hmm, Snow. Kau suka?"Dia mengangguk cepat. "Snow, Snowie.""Snow, cukup Snow jangan tambahkan apa-apa di belakang. Itu adalah merk pe
"Snow, kau ada di mana?" tanyaku sambil mencari Snow. Biasanya jam tujuh pagi dia sudah ada di dalam rumah tapi aku tidak melihatnya di mana-mana."Aku di dalam kamar mandi, Elena!" sahutnya.Tanpa berpikiran apa-apa aku pun langsung membuka pintu kamar mandi dan akan pamitan padanya kalau aku akan pergi ke kota pagi ini."Aku akan pergi ke ko—""Astaga! Kau tak perlu berdiri seperti itu bodoh! Dan tolong tutup itumu dulu!" Aku menutup pintu kamar mandi dengan tergesa.Malu rasanya karena sudah dua kali aku dipermainkan oleh Snow seperti ini."Kau mau ke kota, Elena?" Snow keluar dari kamar mandi. Dengan handuk melilit bagian bawahnya.Aku melirik sedikit dan kini bisa menatap wajahnya secara penuh."Kau mau beli kue strawberry untukku?"Dasar si rakus! Selalu saja makanan yang ada di dalam kepalanya!"B
"Elena, ini siapa?" tanya Snow menunjuk foto kedua orang tuaku yang ada di atas perapian."Itu—orang tuaku," jawabku."Lalu gadis kecil ini?""Itu aku.""Kau cantik sejak kecil, Elena."Entah itu pujian atau hanya gombalan yang baru dipelajari oleh Snow. Tapi baru kali ini aku tidak menangis ketika ditanya mengenai orang tuaku.Orang tuaku yang meninggal ketika umurku masih delapan tahun. Kalau saja dulu aku ikut mereka, mungkin aku tak akan menjadi yatim piatu seperti ini."Mereka ada di mana, Elena? Mengapa aku tak pernah melihat mereka?""Mereka—" Akhirnya aku tak bisa menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.Aku melihat bayangan Snow bergerak menghampiriku yang saat ini sedang membersihkan debu di sofaku."Mereka—sudah meninggal, Snow," jawabku pelan lalu sekuat tenaga aku menahan agar tangisan ini
Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan Snow berada di rumah itu sendirian. Bukan hanya satu atau dua jam, melainkan sampai enam jam lamanya karena aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua.Apalagi akhir-akhir ini Snow sangat menyukai makanan manis yang harganya sebenarnya lumayan. Bisa untukku hidup selama satu minggu.Bus datang tak lama aku menunggu. Mulai hari ini aku akan menjalani hidup yang lumayan sibuk.“Dia sedang apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika menatap ke arah jendela. Tak mungkin dia akan bertahan menjadi batu selama seharian.Aku tersenyum tanpa sadar. Mengapa tingkah Snow bisa membuatku menjadi aneh seperti ini?Aku tidak tahu apakah dia benar-benar polos atau bagaimana. Tetapi yang aku rasakan selama tinggal dengannya dia itu sangat manis. Sikapnya sangat menggemaskan dan membuatku tidak merasa kesepian lagi.Namun ketika teringat jika dia ti
“Harusnya tadi kita naik motor saja, Elena,” ucap Peter ketika kami baru saja turun dari bis yang mengantarkan kota sampai ke desa.Aku menoleh terkejut ke arahnya, tak mengerti sekaligus penasaran.“Memangnya kenapa? Aku lebih suka jalan kaki.”“Apa kau tak lelah?”Apa Peter sedang perhatian padaku. Mengapa dia bertanya hal itu padaku. Memang sih aku lelah, karena sudah berdiri seharian di belakang meja kasir. Bahkan tidak bisa duduk lantaran pengunjung yang tak ada hentinya.“Tidak.”Ya, aku menjawab seperti itu saja pada Peter.Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam belum begitu larut. Padahal masih jam enam. Tetapi sudah mulai gelap karena lampu penerangan yang jarang.“Apa kau yakin akan terus pulang pergi dengan jalan ini?”“Iya, memangnya kenapa?”“Kupikir kau harus ditemani oleh seseorang Ele
“Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.