Smith kecil tidak tahu harus berbuat apa. Ia jelas tidak tega melihat ibunya diperlakukan dengan begitu buruk. Tapi, ia juga takut pada ayahnya.
Smith belum pernah melihat Hendry demikian menyeramkan. Selama ini, perlakuan kasar Hendry terjadi di belakang Smith. Ketika di hadapan putrinya, Hendry selalu berusaha menahan amarahnya. Ia bersikap manis kepada sang istri.
Kalaupun Hendry dan Lisa berselisih di depan putrinya, Hendry tidak sampai main tangan. Selain itu, salah satu di antara mereka biasanya akan mengambil jeda dan meminta Smith untuk lekas masuk ke dalam kamarnya.
Dan dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat Hendry, hal yang membuat Smith merasa mustahil untuk bisa memaafkan sang ayah adalah karena pengkhianatan yang dilakukan pada keluarga.
Saat itu Smith menemani ibunya untuk check up ke dokter. Sang ibu yang mengidap hipertensi sudah merasa tidak enak badan selama dua hari sebelumnya.
Awalnya Lisa, ibunya Smith, hendak menunggu waktu luang suaminya agar diantar ke rumah sakit sebagaimana dulu ketika dirinya sakit.
Lisa sungguh berharap sakit yang ia rasakan itu akan membuat hubungannya dengan Hendry membaik. Ia ingin sang suami kembali seperti Hendry yang dulu begitu menyayangi keluarganya.
Lisa tidak mau ketegangan antara dirinya dan sang suami akan dirasakan juga oleh Smith hingga membuat putrinya itu merasa kehilangan keharmonisan dalam keluarga.
Namun, keadaan Lisa tidak kunjung membaik dan Hendry justru semakin sibuk. Entah karena urusan bisnis atau yang lainnya, yang jelas Henry memang seperti sudah tidak peduli lagi pada istrinya.
Akhirnya, dengan ditemani putri tercinta, Lisa memeriksakan keadaannya ke rumah sakit, sekalian mencari udara segar. Mereka menyempatkan untuk sekadar duduk-duduk di taman sebentar, sebelum pergi ke rumah sakit.
Lisa selalu mengatakan pada Smith bahwa dirinya baik-baik saja. Dan suasana yang berbeda mungkin bisa membantu pemulihannya.
Smith yang selalu ingin membahagiakan ibunya, menurut saja pada apa yang dikatakan ibunya. Ia meminta sopirnya untuk berhenti di taman kota.
Tapi, baru saja Smith keluar dari dalam mobil, matanya terbelalak melihat sang ayah tengah memberikan sebuah kotak hadiah besar pada seorang anak perempuan yang seumuran dengan dirinya. Dan sebagai imbalannya, Hendry menerima kecupan kecil di pipi kiri dari anak tersebut, sekaligus ciuman dari ibunya di pipi yang lainnya.
Smith yang baru saja hendak membantu Lisa keluar dari dalam mobil, terpaksa berpura-pura merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Ia juga meminta sang sopir untuk lekas pergi ke rumah sakit saja.
Smith tidak ingin ibunya merasakan apa yang ia rasakan. Ia tidak mau hati ibunya hancur setelah melihat sang suami main serong dengan perempuan lain.
"Sasmitha, katakan pada ibu apa yang kau makan pagi ini? Apa kau diam-diam masih suka memakan makanan yang sangat pedas?" tanya Lisa sambil mengusap rambut putrinya.
"Sasmitha? Apa kau mendengar ibu?"
"Aduh, aduh, sakit. Sakit sekali ibu," ujar Smith kembali berbohong untuk menutupi pikirannya yang kacau.
Tidak bisa dipungkiri, kepala gadis itu menjadi pening karena memikirkan siapa sebenarnya perempuan dan bocah perempuan yang bersama ayahnya di taman. Jika orang lain yang melihat tingkah mereka, pastilah mengira kalau itu adalah sebuah keluar kecil bahagia.
Smith mulai menduga-duga apakah sang ayah memiliki istri lain dan anak itu adalah anak hasil hubungan gelap? Apakah ibunya telah mengetahui kelakuan bejat ayahnya sehingga kesehatannya memburuk? Apakah perempuan itu yang membuat kedua orang tuanya kerap cekcok saat bersama?
Smith hanya bisa mendengus kesal karena semua pertanyaan yang memenuhi kepalanya itu tidak mendapatkan jawabannya.
"Sasmitha, kita sudah sampai. Apa kau akan turun atau tetap di sini?" kata Lisa untuk yang kesekian kalinya karena Smith tidak kunjung merespons ucapannya.
"Ya, ya, Bu. Aku... akan turun sekarang," jawab Smith terbata-bata karena kaget.
"Ada apa sayang? Mengapa kau seperti sedang mencemaskan sesuatu? Apa karena sakit di perutmu semakin terasa?" tanya Lisa lagi khawatir menyadari perubahan sikap putrinya.
"Tidak, tidak, Bu. Mungkin hanya karena aku terlalu lelah." Smith tersenyum dan memegang tangan ibunya.
"Ya, sebaiknya kita periksakan dirimu dulu nak," ujar Lisa sembari mengelus kepala putrinya.
"Tidak, tidak. Perutku sudah tidak sakit lagi, Bu. Mungkin tadi menjadi kram karena aku sedang datang bulan," ucap Smith yang kembali berbohong untuk menutupi kebohongannya.
Smith yang selalu berkata jujur, kini membenarkan pepatah yang mengatakan bahwa satu kebohongan akan menimbulkan kebohongan lainnya. Dan bagi Smith, rasanya sungguh tidak enak, bisa membuat jantungnya berdetak kecang, bahkan juga memicu keringat lebih banyak keluar.
***Usai memeriksakan diri ke dokter, keadaan Lisa semakin baik. Meskipun demikian, ia tetap diminta untuk tidak banyak beraktivitas dulu dan memperbanyak waktu istirahatnya.
Sampai suatu ketika hal buruk terjadi pada Lisa. Sangat buruk.
Lisa ditemukan tergeletak tidak sadarkan diri di kamar mandi dengan bercak darah yang tercecer di lantai.
Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya."Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya."Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bi
Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar."Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya."Iya, Bu."Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari k
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b