Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.
Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar.
"Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya.
"Iya, Bu."
Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.
Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.
Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari karena dirinya. Padahal keesokan harinya Smith masih harus pergi ke sekolah. Juga pada siang hari, putrinya itu tidak pernah beristirahat.
Selama Smith berada di rumah, ia yang akan menyiapkan segala keperluan ibunya. Bukan Bi Ipah atau orang lain.
Sebetulnya Lisa telah berulangkali meminta pada manajer di butiknya untuk mencarikan seorang perawat yang bisa mengurus dirinya di rumah. Namun, sudah dua kali perawat yang berbeda datang, langsung diberhentikan Smith dan diberi uang pesangon sebelum sempat melakukan apa-apa sebagai seorang perawat di rumahnya.
Dan Lisa tidak berani lagi meminta untuk dicarikan perawat lantaran Smith mengancam akan berhenti sekolah saja jika sang ibu melakukan hal itu lagi.
"Terima kasih sayang."
"Tidak masalah ibu. Sekarang ibu harus beristirahat. Hari sudah terlalu malam. Aku akan tidur sebentar di sini."
Smith menyelimuti ibunya yang baru kembali di tempat tidur. Lalu duduk di samping ibunya dengan kepala yang diletakkan di atas ranjang.
Smith meletakkan tangan kanan ibunya ke atas kepalanya. Lalu memejamkan mata.
"I love you, ibu," ujar Smith lirih.
Lisa tersenyum. Ia kerap memandang haru putrinya yang selalu tidur di kamarnya. Kadang di sofa, kadang berbaring di sebelahnya, kadang juga terlelap sambil duduk di sampingnya seperti saat ini.
Lisa sering merasa bersalah atas apa yang dialami putrinya. Semestinya, Smith yang baru duduk di bangku kelas delapan SMP bisa menikmati hidupnya dengan hal-hal yang menyenangkan. Bergembira bersama kawan-kawan, jalan-jalan ke mall, dan lain sebagainya.
Tapi Smith tidak merasakan semuanya. Tidak bermain-main, tidak bersenang-senang, juga tidak berbahagia bersama keluarganya yang berantakan.
"Malang sekali nasibmu, nak. Tidak seharusnya kau memikul beban seberat ini. Kau berhak bahagia Sasmitha." Begitulah yang selalu diratapi Lisa dalam malam-malamnya.
Tapi kemudian ia bisa menegarkan dirinya sendiri. Lisa mencoba menjejali pikirannya dengan hal-hal positif yang bisa membuatnya untuk kembali bersyukur atas pemberian Tuhan dan berhenti meratapi keadaan.
Lisa merasa beruntung karena ada Smith di sisinya. Ia sangat bangga pada putri kecilnya yang kini telah menjelma menjadi sosok yang begitu dewasa dan bertanggung jawab.
Lisa tersenyum lagi. Meski pernikahannya dengan Hendry kini telah berada di ujung tanduk, dan seolah tidak ada lagi yang bisa diharapkan, setidaknya masih ada yang bisa disyukuri, yakni karunia dari buah percintaan mereka, Smith-nya yang manis.
Lisa sudah tidak mau lagi memikirkan tingkah suaminya yang sangat menyakiti batin. Semua skandal yang diperbuat Hendry dengan pacarnya telah merusak keluarga harmonis yang penuh cinta kasih.
Smith telah keliru. Ia berusaha keras untuk menutupi pengkhianatan yang dilakukan ayahnya di taman kota, dengan harapan tidak akan membuat ibunya sakit hati.
Padahal, Lisa telah tahu apa yang dilakukan Hendry di belakangnya. Perselingkuhan suaminya, sejak kapan Hendry main serong, siapa perempuan dan anak seusia Smith itu, bahkan Lisa juga tahu dimana rumah selingkuhan suaminya.
Faktor yang paling mempengaruhi kesehatan Lisa memang tingkah dari Hendry. Semenjak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan suaminya, Lisa menjadi sakit-sakitan. Hingga puncaknya adalah stroke yang ia derita sekarang.
Sesaat sebelum Lisa terjatuh di kamar mandi, pacar Hendry menelpon untuk meminta izin menikah. Sebenarnya itu bukan untuk yang pertama kali. Lisa sudah sering menerima telpon demikian.
Tapi ketika itu, pacar dari suaminya juga mengatakan akan membuat Hendry melupakan putri kandungnya. Perempuan gila itu lantas menyarankan pada Lisa untuk lekas mati saja agar semua tidak menjadi lebih buruk. Lalu telpon diakhiri dengan gelak tawa yang berkepanjangan.
Sejujurnya, Lisa terkadang memang ingin mati saja. Tapi pikirannya kemudian berubah. Ia khawatir jika suatu ketika ia tiada, bagaimana dengan Smith?
Lisa menjadi takut jika memikirkan Smith yang selama ini sudah seperti anak yatim, pasti akan merasa sangat kehilangan dirinya. Apalagi jika sampai pacar suaminya itu benar-benar melakukan apa yang dikatakan padanya.
Lisa menjadi begitu cemas karena ada banyak pikiran buruk yang terlintas di benaknya setelah kematiannya. Apakah Smith akan mampu bertahan? Apa putrinya akan kesepian? Apa kehidupan putrinya itu akan semakin menyedihkan? Apa Hendry akan peduli pada putrinya lagi? Dan seterusnya, dan seterusnya.
***
"Halo ayah? Ayah, cepatlah ke rumah sakit Pertiwi. Ibu kritis. Aku takut ibu akan... Kemarilah ayah. Aku berjanji tidak akan pernah bandel lagi, akan selalu les piano seperti yang ayah inginkan. Aku akan menuruti semua perintah ayah. Tapi aku mohon, kemarilah a..."
"Hei, berhenti bicara! Ayahmu sedang sibuk. Urus ibumu sendiri. Jangan pernah telepon lagi!"
Tut... Tut... Tut...
Sambungan telepon terputus. Membuat jantung Smith seolah berhenti. Air matanya berjatuhan dengan sendirinya.
Walaupun yang mengangkat telepon darinya bukanlah sang ayah, tidak semestinya Hendry membiarkan ponsel pribadinya dipegang sembarang orang.
Smith menyimpan kembali ponselnya. Ia mencoba melihat sang ibu dengan menempelkan wajahnya ke dinding kaca ruang ICU. Tapi tentu saja tidak ada apa-apa yang bisa ia lihat. Kaca buram itu tidak memberi kesempatan pada orang yang berada di luar ruangan untuk melihat apa yang terjadi di dalam.
***
"Telepon dari siapa?" tanya Hendry yang baru keluar dari kamar mandi.
"Aaah, bukan dari siapa-siapa sayang. Hanya orang sint*ng yang menawarkan investasi bodong. Haaah, sekarang ini semakin banyak orang yang kerjaannya menipu orang lain. Apa mereka pikir bisa membodohi orang seperti kita? Membuang-buang waktu saja," ujar pacar Hendry berbohong.
"Ya, ya, ya. Sudah letakkan ponselnya dan duduklah di sini," kata Hendry sambil menepuk pahanya. Lekas-lekas diikuti senyum genit dari pacarnya yang berjalan mendekat setelah meletakkan ponsel di meja.
"Sayang, katamu Lisa kena stroke. Gimana keadaannya sekarang?" tanya Sinta pura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu lebih banyak dari apa yang diketahui Hendry.
"Ya, begitulah. Kau tidak perlu memikirkan Lisa. Sasmitha pasti akan merawatnya dengan baik. Aku yakin itu. Dia anak yang sangat berbakti."
"Aaah, tidak. Aku hanya khawatir jika sewaktu-waktu Lisa meninggal. Bagaimana dengan dirimu sayang?" ujar Sinta sambil merangkulkan kedua tangannya ke leher Hendry.
"Hahaha, tidak ada yang perlu dicemaskan. Kalau dia pergi, itu sudah takdir. Toh sudah ada kau yang lebih pandai dalam melayaniku," balas Hendry memegang dagu Sinta.
"Kau ini. Apa iya aku ini hanya akan jadi pelayanmu saja?" Sinta memasang wajah masam.
Hendry sudah mengerti arah pembicaraan itu. Tentu saja menyoal pernikahan mereka yang terhalang oleh izin dari Lisa.
Meski Hendry bisa saja menikah dengan Sinta kapanpun yang ia mau, kenyataannya lelaki itu memiliki sedikit adab. Ia merasa perlu untuk mendapatkan izin dari istri pertamanya, sebelum menikah lagi. Dan sudah jelas kalau Lisa tidak akan pernah memberi izin padanya. Maka, Hendry hanya berpacaran saja dengan Sinta.
Tapi entah mengapa, memang ada perasaan aneh yang kerap menggelayuti batin Hendry. Ia merasa sangat mencintai Sinta, namun jika untuk menikah, entahlah. Wajah istrinya yang senantiasa tersenyum atas semua usaha yang ia lakukan dalam masa-masa sulitnya dulu, tidak peduli berhasil atau gagal, selalu terlintas dalam pikirannya.
"Apa kau sudah tidak sabar untuk menjadi istriku?" ucap Hendry sembari memainkan rambut pirang pacarnya.
"Ayolah sayang, aku sudah bertahun-tahun menunggu untuk bersanding di pelaminan denganmu. Apa aku perlu mencekik leher Lisa, baru kau akan menikahiku?"
"Tenanglah. Tidak perlu terburu-buru. Sembari menunggu, kau bisa menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk pernikahan kita. Mungkin kau bisa memulainya dengan memikirkan mas kawin apa yang kau inginkan."
"Benarkah?"
"Kau bisa meminta apa saja. Pikirkan baik-baik dan katakan padaku jika sudah menentukannya. Aku pasti akan memberikan semua yang kau mau."
"Aaaa, terima kasih sayang. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu," tukas Sinta yang begitu bahagia sebab hal yang sangat ia inginkan selama ini, mungkin akan segera terwujud sebentar lagi.
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati
Setelah kematian ibunya, Smith mulai belajar bisnis. Seorang manajer kepercayaan Lisa-lah yang dengan telaten mengajari Smith remaja tentang bisnis butik.Manajer dengan nama panggilan Sheira itu merupakan sahabat baik Lisa. Ia mengetahui semua hal buruk yang dialami Lisa dan Smith karena ulah Hendry. Itu sebabnya, Sheira selalu ada kapanpun Smith membutuhkannya.Hingga kini Sheira masih setia mendampingi Smith dalam mengelola butik peninggalan Lisa. Sebetulnya bisa saja ia berhenti menjadi manajer dan membuka butik sendiri. Sheira memiliki lebih dari cukup uang untuk itu. Tapi Sheira tidak melakukannya.Sheira sudah berjanji pada almarhum sahabatnya, akan menjaga Smith dengan sebaik-baiknya. Ia selalu ada untuk Smith.Tapi Smith memang terlalu dewasa. Gadis itu tidak pernah sedikitpun merasa perlu untuk merepotkan Sheira. Ia selalu melakukan semuanya sendiri, kecuali soal butik yang mema