"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"
Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu.
"Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.
Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.
Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya.
"Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar.
"Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali."
"Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri."
"Mana bisa begitu?"
"Tentu saja bisa. Aku sudah biasa seperti itu. Dan selama ini mereka yang satu kelompok denganku, tidak masalah dengan itu. Malah dengan senang hati mereka menerimanya," kata Smith sambil melangkah ke samping kanan dan kembali berjalan ke depan melewati Janu.
"Tapi aku tidak begitu."
Janu menahan Smith. Ia menggenggam pergelangan tangan gadis itu erat-erat.
"Lepaskan tanganku."
Smith tidak menarik tangannya. Ia juga berbicara lirih saja. Namun, tatapan matanya persis dengan tatapan singa jantan yang mengincar mangsanya. Sangat tajam.
Namun Janu tidak takut. Ia tetap menggenggam tangan Smith tanpa melonggarkannya sedikitpun. Dan tentu saja itu berhasil membuat Smith semakin kesal.
"Lepaskan tanganku sekarang juga," pinta Smith lagi masih dengan suara pelan.
Lagi-lagi Janu tidak menurutinya. Pemuda itu hanya menggeleng dan mengatakan bahwa ia baru akan melepaskan genggamannya hanya jika Smith mau duduk dan berbincang dengannya.
"Dasar gila! Lepaskan tanganku! Apa kau pikir bisa memperlakukanku seperti perempuan-perempuan lainnya? Apa kau kira aku akan diam saja? Sekarang lepaskan tanganku atau aku akan menendangmu!" bentak Smith dengan sangat lantang hingga membuat orang-orang yang berada di sekitar mereka menoleh.
Kali ini Janu menuruti ucapan Smith. Ia tidak ingin orang-orang akan menilai buruk gadis itu. Selama ini Janu yakin penilaian mereka pada Smith telah keliru, dan hal itu akan semakin salah karena Smith memang sama sekali tidak peduli pada tatapan sinis orang-orang.
Saat Janu menjadi cemas mendapati orang-orang memandang Smith sambil berbisik-bisik, gadis singa jantan itu bahkan hanya fokus menatap matanya.
"Smith, kita harus diskusi. Aku akan datang ke rumahmu nanti malam," ucap Janu pada Smith yang telah berjalan menuruni tangga.
"Dasar pria sinting!" gerutu Smith sambil menyisirkan jari-jari tangan kanannya ke rambutnya yang tergerai.
***
Jika Smith merasa kesal, tidak demikian dengan Janu. Lelaki itu semakin bersemangat untuk mendekati Smith.
Janu sangat yakin jika seseorang yang memiliki jiwa sosial tinggi seperti Smith, tidak mungkin mempunyai hati yang keras seperti batu. Jadi, cepat atau lambat pastilah mereka akan bersahabat juga. Begitulah pikir Janu.
"Pak Hadi."
"Ya. Ada apa, Mas?"
"Apa Bapak sedang repot?"
"Hehehe, ya seperti ini Mas. Mengawasi orang yang masuk dan keluar. Juga mengawasi tempat parkir. Memangnya kenapa, Mas? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Pak Hadi yang kemudian keluar dari dalam posnya. Semula ia berbincang dengan Janu hanya melalui lubang posnya yang seperti jendela kecil.
"Pak Hadi kenal mahasiswa Sastra yang namanya Smith?" tanya Janu langsung tanpa basa-basi setelah Pak Hadi duduk di sampingnya di atas kursi panjang sederhana dekat pintu pos satpam.
"Hehe, Mas ini siapa? Maafkan saya Mas, di sini ada banyak mahasiswa. Saya ingat wajah Mas yang biasanya parkir motor di sini. Tapi saya tidak ingat nama Mas."
Seperti biasa Pak Hadi yang bersahaja selalu tersenyum dan setengah membungkuk saat berbicara. Ia merasa tidak enak hati karena benar-benar tidak tahu siapa nama pemuda yang duduk di sebelahnya itu.
"Hehe, saya Janu. Teman satu kelasnya Smith. Di jurusan Sastra."
"Ooo, teman Nona Smith," kata Pak Hadi manggut-manggut.
"Jadi..., apa Pak Hadi mengenal Smith?" ujar Janu mengulangi pertanyaannya.
"Ya, ya. Saya kenal Nona Smith. Tapi kenapa Mas Janu menanyakan Nona Smith pada saya?"
"Begini Pak Hadi, sebenarnya kami menjadi teman satu kelompok untuk tugas mata kuliah tertentu. Tapi, kami belum pernah berdiskusi. Saya mengalami sedikit kesulitan untuk bisa berbicara baik-baik dengannya. Saya pikir, jika saya mengetahui informasi tentang Smith, akan membantu saya untuk lebih dekat dengannya, sehingga tugas kami bisa lekas selesai."
"Begitu ya...."
"Benar. Sore itu tanpa sengaja saya melihat Smith berbincang dengan Bapak. Dia terlihat sangat berbeda dari biasanya. Bapak dan Smith tampak akrab. Dia belum pernah kelihatan begitu bahagia saat berada di kelas. Bahkan dia kadang tampak menakutkan katena hanya diam saja, tidak berbicara sama sekali."
"Hehehe, apa iya Nona Smith begitu? Dia selalu baik pada saya."
"Begitulah pak. Saya yakin Smith orang baik. Karena itu, saya ingin berteman dengannya. Tapi sepertinya itu akan cukup sulit. Dia tidak pernah merasa nyaman ketika ada di dekat saya."
Janu berkata jujur. Ia cukup kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa membuat Smith nyaman. Janu sangat sadar jika Smith selalu kesal ketika berbicara dengannya.
"Saya sendiri tidak mengetahui banyak hal tentang Nona Smith. Tapi yang jelas, dia gadis yang sangat baik. Awalnya Nona Smith melihat saya yang berpegangan di tembok pos sambil memegang perut. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Nona Smith sudah ada di belakang saya. Dia menanyakan keadaan saya yang katanya sangat pucat dan mengeluarkan banyak keringat. Nona Smith melihat tangan saya bergetar, dan menduga dengan benar kalau saya belum makan. Saat itu hari sudah sangat siang.
Nona Smith meminta saya untuk duduk saja. Lalu dia pergi entah kemana. Beberapa saat kemudian, saya melihat dia berlari membawa sekantong kresek. Ternyata Nona Smith membelikan saya makanan dan minuman.
Dia melarang saya untuk bicara dan meminta saya untuk cepat-cepat menyantap makanan yang dia belikan. Lalu Nona Smith berlari lagi, dia bilang ada kelas saat itu.
Dia sempat mengancam saya untuk menghabiskan makanan itu, sebab dia akan kembali ke pos satpam saat perkuliahan telah selesai untuk memastikannya.
Sejak saat itu kami menjadi akrab. Nona Smith sering membelikan saya makanan. Beberapa kali dia juga datang ke rumah kontrakan saya dengan membawa segala macam."
Pak Hadi sudah mengakhiri ceritanya. Namun Janu masih tertegun. Dalam pikirannya ada banyak hal yang ingin ditanyakan. Misalnya soal keluarga Smith, latar belakangnya, juga hal-hal tertentu yang mungkin tidak diketahui orang lain.
"Mas Janu."
Pada akhirnya lamunan Janu buyar oleh suara Pak Hadi yang memanggilnya.
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati
Setelah kematian ibunya, Smith mulai belajar bisnis. Seorang manajer kepercayaan Lisa-lah yang dengan telaten mengajari Smith remaja tentang bisnis butik.Manajer dengan nama panggilan Sheira itu merupakan sahabat baik Lisa. Ia mengetahui semua hal buruk yang dialami Lisa dan Smith karena ulah Hendry. Itu sebabnya, Sheira selalu ada kapanpun Smith membutuhkannya.Hingga kini Sheira masih setia mendampingi Smith dalam mengelola butik peninggalan Lisa. Sebetulnya bisa saja ia berhenti menjadi manajer dan membuka butik sendiri. Sheira memiliki lebih dari cukup uang untuk itu. Tapi Sheira tidak melakukannya.Sheira sudah berjanji pada almarhum sahabatnya, akan menjaga Smith dengan sebaik-baiknya. Ia selalu ada untuk Smith.Tapi Smith memang terlalu dewasa. Gadis itu tidak pernah sedikitpun merasa perlu untuk merepotkan Sheira. Ia selalu melakukan semuanya sendiri, kecuali soal butik yang mema
Suasana sore di butik terasa sangat panas. Bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi.Ketegangan melingkupi batin para karyawan ataupun pengunjung butik. Melihat Smith bersitegang dengan ibu sambungnya.Para pengunjung yang semula tidak begitu menghiraukan keributan kecil di sana, kini mulai mengabaikan pakaian yang menyita perhatian mereka, dan turut menyimak apa yang terjadi.Ketika itu, Sheira, sang manajer butik memang sedang tidak bekerja. Ia mengambil cuti karena ibunya sedang sakit.Itu sebabnya, Smith harus mengurusi sendiri masalah ibu sambungnya yang menyebalkan itu. Biasanya Smith tidak akan keluar ruangan jika Sinta, Sisil, atau ayahnya datang berkunjung. Ia juga meminta Sheira dan para karyawan agar tidak mengatakan keberadaannya."Smith, kau tidak boleh pergi jika ibumu sedang bica
Smith masih bisa tersenyum pada seluruh karyawan ketika berjalan masuk ke dalam ruangannya. Orang-orang di dalam butik pun tersenyum lebar, turut senang karena Smith telah memberikan pelajaran telak pada ibu sambungnya yang terlihat sangat kejam itu.Tapi Smith tetaplah gadis biasa, yang memerlukan dekapan dari orang tersayang untuk membantu membuat batinnya tenang kembali.Smith terlihat sangat tegar dan kuat untuk segalanya di hadapan semua orang. Namun, setelah ia masuk ke dalam ruangannya dan pintu telah terkunci, gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya.Smith merebahkan tubuhnya yang bergetar di atas sofa. Ia meringkuk sambil memeluk erat sebuah bantal berbentuk bunga.Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Lekas-lekas diikuti rembesan air hangat dari kedua matanya. Smith menangis tanpa bersuara. Ia tidak menger
Pak Jono menelan ludah. Lidahnya seperti kaku hingga sulit untuk dipakai berbicara."Haaah, apa ini acara yang diadakan Lisa? Untuk apa dia mengadakan acara di rumah saat sedang sakit begitu? Melihat rumah ini, benar-benar membuatku semakin lelah," ujar Hendry yang terus mengoceh karena dongkol. Ia yang sudah sangat letih mengurus perusahaan, masih harus repot dengan masalah rumah tangga yang menurutnya sangat konyol."Tuan, apa Tuan belum tahu apa yang terjadi?" tanya Pak Jono kemudian dengan suara ragu-ragu. Wajah lelaki itu sampai pucat menahan takut."Katakan, apa yang terjadi? Mengapa keluargaku menjadi semakin aneh? Aku tidak habis pikir atas tingkah istri dan anakku. Belum juga seminggu aku tidak pulang, semuanya menjadi sangat berbeda. Bagaimana jika aku pergi selamanya? Aku benar-benar bisa gila," tukas Hendry sembari mengusap dahinya."Tuan, jangan bicara begitu. Kasihan Nona Smith jika Tua