Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya.
"Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja.
"Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu.
"Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."
Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai pertanda bahwa Smith berharap agar gadis itu lekas angkat kaki dari rumahnya.
"Tapi mama sangat khawatir pada ayah. Ayah belum pulang, juga tidak bisa dihubungi. Terakhir dari sini, ayah masuk angin dan sakit maghnya juga kambuh. Aku tidak..."
"Sudah aku katakan padamu, ayahmu TIDAK ADA DI SINI!" tukas Smith dengan suara sangat lantang. Hingga membuat Janu menghentikan jari-jarinya yang bergerak lincah di atas laptop.
Janu menoleh ke arah Smith. Ia sungguh ingin tahu, dengan siapa Smith berbicara hingga terdengar begitu marah. Tapi Janu menahan rasa ingin tahunya. Ia tidak mau ikut campur dalam urusan pribadi Smith.
"Dengar, aku sungguh malas berbicara padamu, tapi berhentilah menanyakan ayahmu. Dia sudah besar, sudah bisa menjaga diri. Biarkan saja dia pergi. Tidak ada gunanya menunggu orang seperti itu. Akan lebih baik jika dia tidak kembali lagi."
Smith sudah sangat berusaha untuk menyabarkan diri. Tapi semua memang terasa sulit. Ia tidak pernah suka dengan situasi seperti itu. Smith masih belum bisa menjernihkan pikirannya dari masa lalu.
"Smith, aku tahu kau sangat marah pada ayah. Dan tidak suka padanya, tapi tidak seharusnya kau..."
"Tsuut! Mengapa kau sangat menyebalkan?"
kata Smith memotong ucapan tamunya. Ia sungguh kesal pada gadis yang seumuran dengannya itu.
Smith pun berlalu meninggalkan gadis yang berdiri di depan pintunya, tanpa mempersilakan masuk, juga tanpa menutup pintu. Seolah membiarkan tamunya untuk memilih sendiri akan masuk atau pulang.
Smith yang kesal berjalan menuju ruang tamu masih dengan menggerutu. Janu pun terkejut saat Smith membanting tubuhnya ke atas sofa. Kepala singa jantan itu benar-benar terasa nyut-nyut karena gadis yang masih berdiri di ambang pintu rumahnya.
Perempuan yang bertamu malam-malam itu bernama Sisilia Pradita. Putri dari istri kedua Hendry Sasongko, ayah Smith. Tapi ia bukan anak kandung Hendry. Sisil merupakan buah cinta dari Sinta dengan suami pertamanya yang sudah meninggal.
Gadis itu adalah anak perempuan yang dulu dilihat Smith kecil di taman kota saat mengantar almarhum ibunya periksa ke dokter. Gadis kecil yang tampak sangat bahagia menerima kado dari Hendry.
Sisil sangat berbeda dengan Smith. Baik dari tampilan ataupun perangainya.
Gadis itu selalu tampak anggun dengan rok atau dress. Ia juga kerap mengenakan baju dengan ornamen bunga, juga renda yang membuatnya terlihat semakin feminim.
Selain itu, Sisil juga berbicara dengan santun dan lembut. Tidak suka berteriak, apalagi membentak. Sungguh bertolak belakang dengan Smith yang setiap hari selalu berkata kasar. Entah pada diri sendiri atau orang lain.
"Apa semua baik-baik saja? Siapa yang datang? Kau terdengar sangat marah."
"Bukan urusanmu. Diam dan selesaikan saja urusanmu. Tidak usah sok peduli padaku," jawab Smith tanpa membuka matanya.
Janu menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir mengapa Smith bisa begitu kesal untuk hal-hal sepele yang sebenarnya bukan suatu masalah.
Tapi raut wajah Janu kemudian berubah, ketika seorang gadis memasuki rumah Smith setelah beberapa saat sebelumnya hanya berdiri di ambang pintu membawa sebuah rantang antik bercorak bunga lili.
"Sisil?"
"Janu?"
Dan orang yang paling kaget di antara mereka tentu saja, Smith. Gadis yang semula merebahkan badannya di atas sofa itu, kini langsung duduk dan memandang saudara serta teman satu kelasnya dengan tatapan heran.
"Kalian saling kenal?"
"Ya, kami teman satu kelas saat SMA dulu," jawab Janu yang diikuti senyum manis Sisil.
"Hebat. Ini benar-benar luar biasa. Ada dua orang sinting yang reunian di rumahku. Haah, aku bisa gila. Aku benar-benar akan gila," gerutu Smith yang berdiri sambil meletakkan kedua tangannya di dahi.
"Smith, kau mau kemana?" tanya Janu yang mulai curiga Smith akan meninggalkannya.
"Ini rumahku, terserah aku mau kemana saja," sahut Smith tanpa menoleh.
"Tapi tugas kita be..."
"Selesaikan saja sendiri. Atau tinggalkan saja biar aku kerjakan nanti. Sekarang kepalaku rasanya mau pecah."
Smith tetap melanjutkan langkahnya. Ia bahkan sudah menaiki tangga dan tidak menghiraukan Janu sama sekali.
"Dan kau, anggap saja ini seperti rumahmu sendiri. Tapi aku sarankan agar kau cepat pulang. Aku sudah pengalaman menunggu lelaki itu. Dia hanya akan membuatmu kecewa. Mungkin saja sekarang dia sedang berkunjung ke rumah simpanannya."
Janu bisa melihat kemarahan di wajah Smith saat berbicara pada Sisil dari lantai dua. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi antara teman lama dan teman satu kelasnya itu.
"Sisil..." kata Janu lirih melihat Sisil yang berkaca-kaca matanya.
"Tidak apa, Janu. Tolong maafkan Smith. Dia selalu berbicara kasar pada siapapun. Tapi sebenarnya dia gadis yang baik."
Sisil berusaha untuk tetap tersenyum. Membuat Janu juga menggulirkan senyum di wajahnya. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati karena harus menyaksikan peristiwa seperti itu.
Biasanya Sisil selalu diperlakukan dengan sangat baik oleh siapapun. Janu belum pernah melihat seorang pun memarahi Sisil sejak sekolah dulu.
Sisil yang santun dan cemerlang, juga sangat cantik, selalu menerima pujian dari semua orang. Baik dari sesama siswa, ataupun dari guru-guru.
"Tapi, apa hubungan Sisil dengan Smith? Mengapa Sisil menunggu ayahnya di rumah Smith?" kata Janu dalam hati yang sempat samar-samar mendengar percakapan antara dua gadis jelita di pintu rumah mewah itu.
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati
Setelah kematian ibunya, Smith mulai belajar bisnis. Seorang manajer kepercayaan Lisa-lah yang dengan telaten mengajari Smith remaja tentang bisnis butik.Manajer dengan nama panggilan Sheira itu merupakan sahabat baik Lisa. Ia mengetahui semua hal buruk yang dialami Lisa dan Smith karena ulah Hendry. Itu sebabnya, Sheira selalu ada kapanpun Smith membutuhkannya.Hingga kini Sheira masih setia mendampingi Smith dalam mengelola butik peninggalan Lisa. Sebetulnya bisa saja ia berhenti menjadi manajer dan membuka butik sendiri. Sheira memiliki lebih dari cukup uang untuk itu. Tapi Sheira tidak melakukannya.Sheira sudah berjanji pada almarhum sahabatnya, akan menjaga Smith dengan sebaik-baiknya. Ia selalu ada untuk Smith.Tapi Smith memang terlalu dewasa. Gadis itu tidak pernah sedikitpun merasa perlu untuk merepotkan Sheira. Ia selalu melakukan semuanya sendiri, kecuali soal butik yang mema
Suasana sore di butik terasa sangat panas. Bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi.Ketegangan melingkupi batin para karyawan ataupun pengunjung butik. Melihat Smith bersitegang dengan ibu sambungnya.Para pengunjung yang semula tidak begitu menghiraukan keributan kecil di sana, kini mulai mengabaikan pakaian yang menyita perhatian mereka, dan turut menyimak apa yang terjadi.Ketika itu, Sheira, sang manajer butik memang sedang tidak bekerja. Ia mengambil cuti karena ibunya sedang sakit.Itu sebabnya, Smith harus mengurusi sendiri masalah ibu sambungnya yang menyebalkan itu. Biasanya Smith tidak akan keluar ruangan jika Sinta, Sisil, atau ayahnya datang berkunjung. Ia juga meminta Sheira dan para karyawan agar tidak mengatakan keberadaannya."Smith, kau tidak boleh pergi jika ibumu sedang bica
Smith masih bisa tersenyum pada seluruh karyawan ketika berjalan masuk ke dalam ruangannya. Orang-orang di dalam butik pun tersenyum lebar, turut senang karena Smith telah memberikan pelajaran telak pada ibu sambungnya yang terlihat sangat kejam itu.Tapi Smith tetaplah gadis biasa, yang memerlukan dekapan dari orang tersayang untuk membantu membuat batinnya tenang kembali.Smith terlihat sangat tegar dan kuat untuk segalanya di hadapan semua orang. Namun, setelah ia masuk ke dalam ruangannya dan pintu telah terkunci, gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya.Smith merebahkan tubuhnya yang bergetar di atas sofa. Ia meringkuk sambil memeluk erat sebuah bantal berbentuk bunga.Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Lekas-lekas diikuti rembesan air hangat dari kedua matanya. Smith menangis tanpa bersuara. Ia tidak menger
Pak Jono menelan ludah. Lidahnya seperti kaku hingga sulit untuk dipakai berbicara."Haaah, apa ini acara yang diadakan Lisa? Untuk apa dia mengadakan acara di rumah saat sedang sakit begitu? Melihat rumah ini, benar-benar membuatku semakin lelah," ujar Hendry yang terus mengoceh karena dongkol. Ia yang sudah sangat letih mengurus perusahaan, masih harus repot dengan masalah rumah tangga yang menurutnya sangat konyol."Tuan, apa Tuan belum tahu apa yang terjadi?" tanya Pak Jono kemudian dengan suara ragu-ragu. Wajah lelaki itu sampai pucat menahan takut."Katakan, apa yang terjadi? Mengapa keluargaku menjadi semakin aneh? Aku tidak habis pikir atas tingkah istri dan anakku. Belum juga seminggu aku tidak pulang, semuanya menjadi sangat berbeda. Bagaimana jika aku pergi selamanya? Aku benar-benar bisa gila," tukas Hendry sembari mengusap dahinya."Tuan, jangan bicara begitu. Kasihan Nona Smith jika Tua
Smith baru keluar dari dalam ruangannya setelah melihat merah di hidung dan matanya telah menghilang. Ia juga berdeham beberapa kali untuk menghilangkan serak dari tenggorokan."Siapa yang datang?" tanya Smith tanpa melihat wajah orang yang ia ajak bicara, khawatir kalau-kalau masih tersisa kesedihan di wajahnya."Tidak tahu, Nona. Dia belum pernah kemari sebelumnya. Saya pikir, dia datang secara khusus untuk mengunjungi Nona," ujar salah seorang karyawan sambil tersenyum-senyum. Smith juga melihat para karyawan lainnya memandang dirinya dengan senyum yang tidak biasa.Hal itu membuat Smith bertanya-tanya, mengapa seorang tamu sampai membuat karyawannya menjadi demikian? Aneh!Ini bukan kali pertama ia mendapat tamu. Orang-orang sering datang menemuinya untuk memesan baju dengan desain khusus. Smith memiliki dua perancang busana yang andal di butiknya, yang bisa memuaskan para pelanggan dengan desain yang dibuat.
Sinta membanting tas mahalnya di sofa. Diikuti tubuhnya yang membuat sofa empuk premium itu bergoyang-goyang.Wajahnya yang kesal membuat Hendry bertanya pada putrinya tentang apa yang terjadi menggunakan bahasa isyarat. Dan Sisil hanya menggeleng karena memang tidak tahu apa yang dialami mamanya di luar sana, hingga pulang dengan wajah masam."Ada apa mama? Bukankah mama tadi keluar untuk berbelanja? Biasanya mama selalu senang setelah pulang dari belanja," tegur Sisil."Haaah, semua ini gara-gara Smith. Aku tidak mendapatkan baju yang aku inginkan, malah dipermalukan di depan orang-orang. Dia benar-benar sudah kelewatan," jawab Sinta masih dengar tubuh lemas menahan kesal."Smith? Kau dari butik Lisa? Mengapa tidak bilang? Aku bisa mengantarmu ke sana. Sudah lama aku tidak mengunjungi butik Lisa," tanya Hendry bersemangat."Haaah, setidaknya tanyakan dulu kenapa aku bisa kesal. Kau ini hanya memikirkan putrimu saja."Sinta mendengus. Ia semakin