Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.
Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.
Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono.
"Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya.
"Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.
Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun.
"Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Nama aslinya adalah Sasmitha Maharani. Tapi ia selalu mengenalkan dirinya sebagai Smith. Bukan Sas, Mitha, atau Rani.Entah mengapa ia sengaja tidak memilih nama panggilan yang lebih menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang perempuan.Bukan hanya nama panggilan, tingkah lakunya juga tidak mencerminkan bahwa dirinya memang perempuan.Jika dulu dirinya masih terpaksa tampak sebagai perempuan karena diwajibkan untuk mengenakan rok di sekolah, kini ia bebas membuang segala rok yang terpaksa ia miliki.Lebih dari itu, mulai detik ini, Smith juga bebas menentukan pakaian seperti apa yang akan ia kenakan di kampus.Praak!“Apa matamu sudah rabun? Turun dan minta maaf pada nenek ini sekarang juga! Kalau tidak, aku akan meneriakimu sebagai sopir cabul!” bentak Smith usai memukul sebuah angkot hijau yang ia tumpangi.Suara Smith yang sangat lantang dan meledak-ledak, dengan c
Suasana di kantin sangat ramai. Meja-meja telah penuh. Dari sekian banyak gerai yang menyediakan makanan yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang terlihat sepi.Hal itu sangat berbeda dengan suasana perpustakaan yang tampak lengang. Tidak banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di sana, hanya segelintir saja. Itupun tidak kesemuanya benar-benar berniat untuk membaca buku atau mencari referensi tertentu.Ada saja mahasiswa yang duduk lesehan di pojokan sekadar untuk menghabiskan waktu kosong dengan tidur di dalam perpustakaan. Suasana yang tenang dengan suhu ruangan yang dingin, sungguh lokasi yang pas untuk terlelap.Tidak sedikit pula yang hanya berkumpul dan menggosip, sambil melahap kudapan yang dibawa secara sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat dari pantauan penjaga perpustakaan.Pasalnya, sepinya perpustakaan sudah menjadi budaya yang sangat lumrah terjadi. Selain karena penjaga perpustakaan
“Bangs*t! Berhenti menelponku!”Smith mematikan telepon dengan wajah geram. Ia menyisir ke belakang rambutnya yang panjang dan selalu terurai dengan jari-jari kanannya. Memunculkan terbentuknya sebuah belahan rambut tepat di tengah-tengah kepalanya.Smith bahkan juga menghentakkan kaki untuk melampiaskan kejengkelannya yang telah sampai di ubun-ubun.“Orang ini benar-benar bisa membuatku gila. Apa dia tidak bosan mendengar umpatanku setiap saat? Haaah, menyebalkan sekali!” ujar Smith dengan napas yang masih tersengal menahan amarah.Gadis itu berjalan melewati pos satpam fakultas masih dengan menggerutu. Membuat Janu yang tadi melewatinya dan kini tengah berdiri di tempat parkir, tak jauh dari pos satpam, menjadi bertanya-tanya, kepada siapa Smith berbicara dengan begitu kasar?“Nona Smith!” teriak seorang lelaki yang berusia sekitar 42 tahun dengan baju berwarna putih lengkap dengan topi, peluit, d
Hening sempat menyekat kelas sebelum akhirnya menjadi begitu bergemuruh. Apa yang diucapkan Smith tidak pernah terduga sebelumnya. Hal itu secara otomatis memperluas pemahaman teman-temannya tentang apa yang diterangkan Pak Jack.“Bagus Smith. Sepertinya kau telah memperhatikan Janu jauh sebelum Bapak memintanya. Hehehe.”Suara tawa Pak Jack lekas diikuti oleh gelak tawa teman-teman Smith satu kelas. Tapi suara tawa itu segera terhenti saat Smith mengangkat wajahnya dan memandang temannya satu per satu dengan tatapan khas singa jantan.Tapi hal berbeda terlihat di wajah Janu. Pemuda itu masih terpaku tak jelas, entah memandang apa, dengan kedua alis yang hampir menyatu.“Janu, sekarang giliranmu,” suara Pak Jack mengejutkan Janu.Pemuda itu menarik napas panjang. Lalu membuangnya secara perlahan sambil memejamkan mata, seolah tidak hanya melepaskan sisa ud
Ketika Smith turun dari ojek yang mengantarnya pulang, ada sebuah mobil mewah yang juga berhenti di depan gerbang rumahnya.Smith sangat mengenal mobil itu. Maka, ia yang baru saja merogoh saku bajunya untuk membayar jasa tukang ojek, dengan terburu-buru kembali mengambil helm yang diletakkan di atas kaca spion. Smith memakai helm itu lagi sembari duduk di belakang tukang ojek yang masih berada di atas motor bebek."Berhenti atau saya laporkan Anda ke polisi!" teriak seorang lelaki paruh baya yang baru keluar dari dalam mobil. Membuat tukang ojek yang telah menyalakan mesin motornya menjadi gugup dan menelan ludahnya.Lelaki itu tampak gagah dengan setelan jas bermerk berwarna hitam. Ia juga mengenakan sepatu hitam yang tersemir sempurna tanpa terlihat sedikitpun debu."Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona ini pencuri, kriminal, pesakitan, atau apa?" tanya tukang ojek berbisik-bisik sambil sedikit menoleh ke belakang. Ke