Evangeline makan malam bersama Radhika di sebuah restoran, wajah keduanya tampak memancarkan aura penuh kebahagiaan.
"Minggu depan aku akan ada proyek di luar kota, apa kamu mau ikut?" tanya Radhika di sela makan.
Evangeline menggelengkan kepala, ia merasa tidak perlu ikut. Lagi pula itu perjalanan bisnis dan Evangeline tidak mau mengganggu suaminya.
"Yakin? Padahal aku sangat berharap kalau kamu mau ikut," ucap Radhika penuh pengharapan dan sedikit kekecewaan.
"Fokus dengan proyeknya, biarkan rindu itu terpupuk agar kita bisa semakin menyayangi ketika bertemu," balas Evangeline dengan seutas senyum yang merekah.
"Kamu suka sekali menyiksaku dengan kerinduan," seloroh Radhika.
Evangeline tertawa kecil, ia memang tidak pernah mau ikut ketika suaminya melakukan perjalanan bisnis. Evangeline hanya merasa jika mereka terlalu sering menempel maka akan menciptakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Bagi Evangeline, perjalanan bisnis suaminya adalah cara menumbuhkan rasa rindu, sehingga ketika mereka bertemu akan membuat keduanya semakin menyayangi karena rindu itu.
"Dhika! Angel!"
Suara seorang wanita terdengar memanggil mereka, keduanya menoleh dan melihat ke arah sumber suara.
"Catherine!" balas Evangeline.
Catherine adalah teman mereka ketika kuliah, wanita itu langsung ikut duduk bersama Evangeline dan Radhika.
"Kebetulan sekali, ya! Tidak apa 'kan kalau aku bergabung di sini?" tanya Catherine meminta izin.
"Tentu silahkan!" Evangeline mempersilahkan.
Catherine tampak memesan makanannya, kemudian mereka berbincang sebagai teman yang lama tidak berjumpa.
"Perusahaanku bekerja sama dengan perusahaan suamimu, menurutmu apa itu tidak luar biasa," kata Catherine membuka pembicaraan.
"Benarkah?" Evangeline bertanya-tanya tidak percaya, ia menoleh pada suaminya dengan wajah penuh kebanggaan.
"Iya, proyek kali ini perusahaan kita bekerjasama dengan milik keluarga Catherine," ujar Radhika meyakinkan.
"Aku harap kedua perusahaan selalu bisa bekerjasama dengan baik hingga seterusnya," timpal Evangeline.
Radhika dan Catherine tampak tersenyum senang, mereka tahu jika apa yang diucapkan Evangeline terkadang menjadi sebuah doa tersendiri bagi mereka semenjak kuliah.
Malam itu mereka makan bersama bertiga seraya bercerita, mengenang masa-masa kuliah di mana mereka bertiga dulu terlihat begitu dekat. Bahkan sampai ada yang berpendapat jika Radhika menjalin hubungan dengan Evangeline dan Catherine secara bersamaan karena kedekatan ketiganya.
-
--"Ingat untuk segera menghubungiku ketika sampai," ucap Evangeline seraya membetulkan dasi Radhika.
Hari ini adalah hari Radhika harus pergi ke luar kota, Evangeline sudah menyiapkan segala sesuatu kebutuhan suaminya selama di sana.
"Vi, yakin nggak ikut?" tanya Radhika sekali lagi dengan wajah memelas.
Evangeline menggeleng, ia hanya memberikan kecupan di bibir suaminya.
"Jangan merengek! Biasanya juga berpisah tidak masalah, lagi pula ini hanya dua minggu, biasanya satu sampai dua bulan juga tidak masalah," ujar Evangeline menepuk jas bagian dada suaminya.
Radhika memeluk pinggang istrinya, ia menyentuhkan keningnya ke dahi wanita yang sudah mencuri hatinya itu.
"Entah kenapa aku merasa berat meninggalkanmu, rasanya seperti ada sesuatu yang akan terjadi." Radhika menatap lekat wajah sang istri, ia benar-benar merasa berat meninggalkan istrinya kali ini.
"Jangan berpikiran negatif, jangan merasa berat karena itu akan menghambat langkahmu," ucap Evangeline.
Radhika mengulas senyum, entah kenapa setiap kata yang keluar dari bibir Evangeline seperti sebuah energi khusus yang terus mendorong dirinya untuk tetap berusaha dan bersemangat.
"Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Jika ada apa-apa segera hubungi aku, oke!" pesan Radhika yang disusul dengan sebuah kecupan di kening.
Evangeline memejamkan mata, ia mengulas senyum merasakan kecupan hangat dari suaminya.
Setelah Radhika pergi, Evangeline melakukan aktifitasnya seperti biasa. Mengurus rumah, berbelanja dan saling menghubungi saat malam hari.
-
---Dua minggu terasa cepat berlalu. Evangeline tengah mengeringkan rambutnya setelah mandi, ia sesekali menengok layar ponselnya yang tergeletak di meja rias, menanti Radhika menghubungi dirinya seperti yang biasa mereka lakukan.
Namun, entah kenapa malam itu Radhika tidak menghubunginya, membuat Evangeline merasa khawatir.
"Apa dia sedang dalam perjalanan pulang?" batin Evangeline.
Ia menekan tombol dial pada nomor suaminya, tapi yang ia terima hanyalah mesin penjawab pesan. Evangeline semakin cemas karena tidak biasanya Radhika mematikan daya ponselnya.
Tidak ingin berpikir negatif dan berlebih, Evangeline memilih untuk beristirahat. Siapa tahu Radhika akan menghubunginya di pagi hari, itulah yang ada di pikiran Evangeline saat ini.
-
---Mentari mulai berhias untuk menampakan diri, warna jingga sudah tampak mewarnai langit. Evangeline menggerakkan kelopak matanya, mengerjapkan berkali-kali agar bisa terbuka lebar.
Evangeline sadar jika ada yang memeluknya, ia lantas melirik ke bawah dan tahu jika itu suaminya melihat dari cincin pernikahan yang melingkar di jari manis.
Ia sedikit menggeser tubuhnya agar bisa berbalik menatap suaminya. Namun, Radhika sepertinya enggan membiarkan Evangeline menghadap ke arahnya.
"Biarkan seperti ini untuk sesaat," ucap Radhika dengan suara parau, ia mempererat pelukannya.
Mendengar apa yang dikatakan suaminya, Evangeline pun memilih mengurungkan niatnya untuk melihat wajah suami. Ia masih membiarkan Radhika memeluknya dari belakang bahkan pria itu sesekali menghidu aroma tubuh yang menguar darinya.
"Apa proyeknya lancar?" tanya Evangeline yang merasa jika mereka sudah berada di posisi itu selama hampir satu jam.
Radhika tidak menjawab meski tidak dalam kondisi tidur, ia hanya terus mengecupi pundak hingga ceruk leher istrinya.
"Apa kamu sangat merindukan 'ku, hah?" tanya Evangeline lagi karena tidak mendapat jawaban dari suaminya.
"Ya, aku sangat merindukanmu," jawabnya lirih.
Radhika memejamkan mata, ia terus saja mengecupi pundak dan ceruk leher istrinya.
Evangeline merasa aneh dengan sikap suaminya, tapi dibalik itu Evangeline selalu berpikir positif, menganggap jika suaminya pasti sangat lelah. Evangeline pun memilih untuk merengkuh tangan Radhika yang memeluknya, mengusapnya secara konstan untuk memberikan sebuah kehangatan.
Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi."Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya."Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis."Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline."Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas
"Oma!" teriak Angel begitu sampai di rumah.Angel berada di perusahaan Devan sampai sore, gadis kecil itu tidak mau dipisah dari Evangeline."Ya ampun, kenapa baru pulang?" tanya Sonia—Nenek Angel."Angel tadi sama mama Ivi," jawabnya seraya naik ke pangkuan Sonia.Sonia mengernyitkan dahi, ia tidak mengerti kenapa Angel memanggil nama 'mama Ivi'."Ma-mama Ivi siapa?" tanya Sonia bingung, ia menatap Angel dengan ekspresi keheranan.Devan yang baru saja masuk rumah tampak sedikit melonggarkan dasinya lalu duduk di sebelah Sonia. Ia ikut mendengarkan celotehan Angel."Mama Ivi itu bibi yang kemarin nolong Angel. Itu lho yang pakai kacamata!" Angel menjelaskan pada Sonia.Sonia bisa menangkap maksud cucunya, tapi ia bingung kenapa Angel memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama Ivi'.Angel menjelaskan jika dirinya menganggap Evangeline
Devan melepas dasi kemudian membuka kemejanya, ia lantas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Pria itu menyalakan shower air, membiarkan air mengguyur tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Entah kenapa tiba-tiba Devan teringat akan kejadian lima belas tahun yang lalu setelah Evangeline menyentuhnya, kejadian di mana ia memiliki kenangan buruk yang membuatnya trauma hingga pada akhirnya ia merasa jijik dengan wanita.Devan saat itu berumur lima belas tahun, ia baru saja duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Pemuda itu menunggu Diana—Adik perempuannya, Diana kala itu duduk di kelas dua SMP.Diana terlihat berjalan cepat menuju ke arah Devan, gadis itu melambaikan tangan kepada kakaknya."Sudah lama?" tanya Diana begitu sampai di hadapan Devan."Nggak, baru saja. Ayo pulang!" ajak Devan seraya menggandeng adiknya itu.Mereka memang berjalan kaki saat pulang
Evangeline terlihat sedang menyusun dokumen, hari ini dia terlihat begitu serius bekerja. Evangeline melihat laporan untuk pengajuan Tender yang akan diikuti oleh perusahaan Devan. Perusahaan Devan salah satunya adalah sebuah perusahaan properti, tentu saja mereka tidak akan melewatkan setiap ada proyek besar yang akan dilaksanakan.Wanita itu tampak mencermati dan mempelajari berkas itu, tapi ia merasa ada yang kurang. Evangeline yang sudah biasa membantu Radhika memenangkan Tender melalui ide-idenya agar bagian penyelenggara tertarik, tentu saja merasa perlu membantu perusahaan atasannya agar bisa menang Tender yang akan mereka ikuti.Evangeline membawa berkas itu, ia lantas berjalan menuju meja Devan. Evangeline meletakkan dokumen di tangan ke atas meja."Pak, untuk pengajuan Tender ini, saya punya usul," ucap Evangeline memberanikan diri seraya menunjuk pada berkas yang ia bawa.Meski bagian pengajuan ada sendir