Seorang dengan badan lebih kecil mengacungkan telunjuknya pada Gemma.
Gemma menaruh telapak tangannya di dada dan bertanya dengan polos.
"Aku? Kalian mencariku?"
Pria satunya, dengan badan bongsor yang membuat kaosnya terlihat bersusah payah menahan perut buncitnya, mendengus dengan kesal dan menaikkan nada bicaranya.
"Tidak usah pura-pura tidak tahu! Gara-gara kau, kami harus berada di rumah sakit selama tiga hari!!!"
Gemma memiringkan kepalanya. Kini ia ingat siapa mereka. Dua orang itu adalah pria-pria yang ia hajar di sebuah kelab malam tempat Gemma mengadakan konser minggu lalu. Gemma menghajarnya karena mereka berani melakukan pelecehan pada seorang pelayan di sana.
Yah, walaupun alasannya terdengar benar, tapi tetap saja pemilik tempat itu tidak mau tahu dan meminta ganti rugi pada Gemma.
"Hanya tiga hari? Kupikir sampai satu minggu."
Gemma menekan jari-jari tangannya sampai menimbulkan bunyi. Pandangan matanya menggelap. Apa mereka mau buat perhitungan? Berani sekali mereka menunjukkan batang hidungnya setelah apa yang Gemma lakukan pada mereka.
Sebuah tangan menepuk pundak Gemma. Gemma menoleh. Itu Purity, yang memandangnya dengan tatapan tegas, namun suaranya lembut saat ia berbicara.
"Gemma, apapun urusanmu, jangan lakukan di sini. Aku tidak mau membuat para pengunjung takut."
Gemma langsung melihat ke arah perpustakaan, dan baru menyadari kalau para pengunjung kini berdiri terpaku di tempatnya masing-masing, sembari memandang cemas pada Gemma dan kedua pria itu.
Gemma juga tidak mau menghancurkan perpustakaan.
Ia menghela napas.
"Baiklah."
Gemma berjalan keluar dari balik meja administrasi. Dia menuju ke hadapan mereka berdua, berdiri dengan membuka dua kaki dan menyilangkan tangan di depan dada.
"Apapun itu mau kalian, jangan lakukan di sini. Ikut denganku."
Awalnya sepasang pria itu hanya terdiam, kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Lalu, si Badan Kecil menunjuk Gemma sambil berteriak.
"Ikut denganmu?! Kau pikir kau ini siapa memerintah kami?!"
Gemma tidak suka ada telunjuk yang mengacung-acung tepat di depan wajahnya seperti saat ini.
Dia meraih tangan itu dan memutarnya, membuat si Badan Kecil berteriak kesakitan sampai jatuh berlutut.
"Apa kalian sudah gila? Masih nekat menemuiku padahal kalian tahu tak akan bisa mengalahkanku??"
Gemma menatap mereka berdua, tajam dan ganas. Ia tak akan menyerang duluan. Apa yang dilakukannya tadi hanya karena ketidaksukaannya saja, dan sebagai pengingat dengan siapa mereka berhadapan.
Si Pria Bongsor tampak tercekat melihat rekannya tersungkur. Ia bergegas meraih sesuatu dari balik bajunya. Sebuah pistol.
"Aku tidak takut padamu!!! Hari ini aku yang akan membuatmu menyesal telah melawan kami!!"
Gemma berdiri tak bergeming di tempatnya.
"Aku? Menyesal?"
Gemma membiarkan amarahnya muncul ke permukaan. Dia menatap dingin pada pria besar itu, yang memegang senjata tapi tangannya gemetaran.
Cih. Yang benar saja.
"Bagaimana kau bisa menembak dengan tepat kalau tanganmu saja seperti sedang terkena gempa?"
Pria itu meraung, dan ia hendak menarik pelatuk.
Tapi dia tidak secepat itu.
Gemma menunduk, kemudian melayangkan tendangan ke atas, yang tepat mengenai pergelangan tangan si pria, membuat pistol yang ia genggam terlempar jauh dari tempatnya.
Gemma berdiri, dan kini mereka berhadapan pada jarak kurang dari satu meter. Gemma memuntahkan kata-kata di hadapan si Pria Bongsor.
"Beraninya kau menembakkan senjata di rumahku."
Pria itu berteriak dan melayangkan pukulan serampangan, yang dengan mudah Gemma hindari.
Gemma tak mau ada kerusakan di sini, sehingga ia menendang perut pria itu, membuatnya terpental jauh ke belakang, dan jatuh dengan bunyi berdebam ke atas aspal.
Gemma berjalan dan berdiri di undakan yang paling tinggi. Ia menatap rendah ke bawah, ke arah lawannya yang mengerang kesakitan sembari memegangi perutnya.
"Kau!!" teriak pria itu.
"Perut besar seperti itu, seharusnya tidak sakit saat ditendang."
Gemma menyeringai, dan seringainya hilang saat ia merasakan moncong pistol ditempelkan di belakang kepalanya.
"Mati kau."
Si Pria Kecil yang Gemma lupakan keberadaannya, kini menodongnya dari belakang.
Gemma hendak menunduk dan berbalik untuk menendang kaki pria itu, saat ia mendengar suara.
"Seorang pria tidak seharusnya mengeroyok wanita seperti ini."
Dan Gemma mendengar suara hantaman diikuti suara terjatuh yang sangat keras.
Gemma menoleh cepat. Si Pria Tampan berpakaian kaku berdiri di belakangnya. Wajahnya tampak imut dari dekat.
"Kau hebat,” pujinya pada Gemma. Ekspresi wajahnya datar tapi nadanya menunjukkan kebanggaan.
"Benar. Karena itu, aku tidak butuh bantuanmu."
"Kita sama-sama tahu kau akan tertembak jika aku tidak ada."
"Oh, ya? Menurutku tidak."
Gemma hendak melontarkan penjelasan mengapa ia bisa melawan mereka sendirian saat si Pria Bongsor berlari menaiki undakan sembari berteriak marah. Gemma memutar mata dan mendengus kesal.
"Ugh, kenapa mereka berisik sekali. Siapa yang mengharuskan menyerang sambil berteriak-teriak begitu."
Gemma menunjuk si imut-tampan-kaku di hadapannya.
"Urusan kita belum selesai. Tunggu aku, aku singkirkan mereka dulu."
Saat lelaki besar itu sampai di undakan teratas, Gemma dengan cepat menyambutnya. Gemma menunduk saat si pria melayangkan tinju, dan Gemma menyarangkan kepalan tangannya ke tubuh lawan. Saat lelaki itu menunduk kesakitan, Gemma menghantam wajahnya sampai badan pria itu nyaris terjatuh ke samping.
Si Bongsor ini masih nekat. Pikir Gemma saat melihat lawannya kembali berdiri dan menyerangnya lagi.
Gemma memasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga ke kaki, saat si Bongsor sudah dalam jangkauannya, Gemma melakukan tendangan. Tepat mengenai dada, dan mengirim si Bongsor ke belakang menyeberangi jalan, dan berakhir dengan menghantam toko kelontong yang ada di seberang perpustakaan.
Suara hantamannya cukup keras sampai membuat orang-orang keluar. Termasuk pemilik toko kelontong, Nyonya Milly dan suaminya, yang badannya gemetaran menyaksikan tokonya nyaris hancur.
Sial. Apa Gemma masih punya uang untuk membayar ganti rugi?
Suara mobil patroli terdengar dari kejauhan. Ugh... Archturian. Apa ada yang menghubungi mereka?
Gemma menoleh untuk mencari lelaki yang tadi ikut campur dalam pertarungannya.
Dia sudah tidak ada.
Mobil patroli semakin mendekat dan berhenti tepat di depan perpustakaan. Terdengar suara pintu mobil yang terbuka dan menutup lagi. Gemma mendengar langkah kaki bersepatu yang menaiki tangga dengan cepat.
"Kau buat ulah lagi."
Gemma memutar tubuhnya, dan tak bisa menyembunyikan cengiran bersalah saat melihat wajah kesal orang yang memanggilnya.
"Hai, Jo."
***
"Kita mau kemana?"Gemma bertanya ketika iring-iringan mobil terus melaju, melindas aspal jalan lingkar luar timur kota Ayria, alih-alih menuju ke markas cabang Archturian di sebelah barat Ayria.
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan selama perjalanan. Hanya protokol standar saat kami harus membawa orang asing ke markas."Kata-kata itu menyambut Gemma saat ia mulai bisa membuka mata. Dari napasnya yang tak terhalang, Gemma tahu kalau
Gemma meletakkan satu tangannya di atas meja, dan tangan yang lainnya menyangga dagu. Jenis ancaman seperti ini sudah usang untuknya."Kau pikir aku peduli dengan apa yang terjadi pada hidupku?" cemooh Gemma.Gemma tahu bahwa pria misterius itu tidak menyangka ia akan memberi jawaban seperti ini."Hal terakhir yang pasti terjadi pada semua manusia adalah kematian. Tidak ada yang perlu ditakutkan,” ucapnya lagi.Walaupun tak nampak, Gemma dapat merasakan pria di hadapannya ini kehilangan kata-kata. Tapi itu tak lama, karena ia mulai membuka mulutnya lagi. Meskipun suaranya kini terdengar parau."Kau mungkin tidak peduli pada hidupmu, tapi apakah orang-orang terdekatmu punya pemikiran yang sama?"Gemma memandang pria itu dengan tatapan yang semakin malas."Orang terdekatku? Apa maksudmu, jika aku tidak menuruti keinginanmu, kau akan macam-macam dengan orang-orang yang dekat denganku?"Tak ada suara. Jadi jawabannya adalah y
Suara gedoran di pintu membuat Gemma mengerang tanpa ia sadari. Kepalanya seperti mau pecah, dan matanya begitu berat. Perlu beberapa saat untuk Gemma mengumpulkan tenaga, merasakan setiap pergerakan otot dari tubuhnya.Gedoran di pintu
"Kau tahu, aku tidak suka setiap kali pergi bersamamu ke tempat umum.""Aku tahu. Kau mengatakannya setiap kali kita pergi bersama."Mereka berdua tengah makan di restoran cepat saji paling populer di Ayria, yang terletak sekitar empat ratus meter ke selatan dari perpustakaan tempat Gemma tinggal. Cukup lima belas menit berjalan kaki.Cuaca hari ini cerah dan menyenangkan untuk dihabiskan dengan menyantap makan siang di tempat duduk yang ditata di pinggir jalan. Sepertinya banyak yang satu pemikiran dengan Gemma dan Jo, karena kursi-kursi di sekitar mereka nyaris penuh.Dua orang cewek, sepertinya masih kuliah, berbisik-bisik ketika melintasi tempat Jo dan Gemma duduk. Mereka bukan cewek pertama yang sengaja melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian.Perhatian siapa?Siapa lagi kalau bukan Jo."Kau hanya iri, itu saja. Tidak ada laki-laki yang bertingkah seperti itu saat melihatmu.""Jika ada, malah mengerikan."Gemma meng
"Hatchii!!!"Ini sudah keempat kalinya ia bersin dalam kurun waktu kurang dari setengah jam, membuat konsentrasinya terganggu."Sedang tidak sehat, Jonah?"Lawan main caturnya bertanya. Bukan sekadar pertanyaan biasa, itu lebih kepada sebuah ejekan."Aku maklum jika kau tidak bisa mengalahkanku. Kau bisa pakai alasan kesehatan, kok."Jonah menatap orang di hadapannya. Tetangganya yang tinggal di lantai bawah ini selalu berhasil membuatnya kesal dengan ocehannya. Tapi Jonah sudah hidup berdampingan selama delapan belas tahun untuk membuatnya paham bahwa itu adalah cara Michael bercanda."Aku baik-baik saja. Mungkin ada yang sedang membicarakanku sehingga aku bersin-bersin."Jonah memindahkan posisi bidak caturnya. Sekarang dia punya bidak yang siap mengantar Michael pada posisi skakmat."Membicarakanmu? Siapa? Paling juga anakmu."Michael yang menyadari bahwa posisinya tak menguntungkan, memindahkan bidak caturnya yang la
Mobil Maya berhenti di depan perpustakaan. Sebuah city car berwarna kuning lemon yang mengkilat. Sebelumnya Gemma tak pernah bertanya darimana Maya bisa memiliki mobil, mengingat pekerjaannya sebagai manajer belumlah bisa memberinya kemewahan seperti sebuah mobil. Tapi kini Gemma mulai menduga-duga bahwa, mungkin saja para pemberontak mendanai Maya.Itu jika memang benar Maya adalah pemberontak. Gemma belum tahu pasti karena sejauh ini yang ia punya hanya asumsi.Gemma menenteng gitar dengan satu tangan dan berjalan menuju ke mobil. Ia meletakkan gitarnya di bangku penumpang belakang, kemudian ia duduk di kursi penumpang di sebelah pengemudi.Maya menginjak pedal gas, membawa mereka melaju menembus suasana sore di kota Ayria yang perlahan mulai lengang.Orang-orang yang masih ada di trotoar berjalan dengan terburu-buru sembari menundukkan kepala. Jika mereka mengalami kebahagiaan seharian tadi, rasa itu kini tak terlihat di wajah mereka. Yang ada han
Draconian menyabetkan tangannya pada seseorang dalam jangkauannya, dan hanya sekejap mata, orang itu tergeletak di lantai. Kulitnya menjadi sangat keriput dan tubuhnya tak lagi berdaging. Hanya ada ceruk hitam di tempat mata seharusnya berada. Tiga sayatan memanjang di dada orang itu, di tempat Draconian menyarangkan jemari tajamnya. Tidak ada darah mengalir di sana, hanya ada luka dalam berwarna hitam yang tampak kosong seperti celah yang sangat dalam. Cairan berwarna hitam mengalir keluar dari mulut manusia itu, bersamaan dengan asap pekat.Para penjaga menembaki makhluk-makhluk itu dengan putus asa. Bodoh, tentu saja hal itu sia-sia. Draconian tidak bisa dilukai dengan senjata biasa.Keheningan singkat berubah menjadi kepanikan dan kengerian. Semua orang berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan nyawa mereka.Draconian tak tinggal diam. Mereka bergerak dan berjalan seperti orang yang kejang, namun dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka semua menyebar, dan tak