"Mohon maaf atas ketidaknyamanan selama perjalanan. Hanya protokol standar saat kami harus membawa orang asing ke markas."
Kata-kata itu menyambut Gemma saat ia mulai bisa membuka mata. Dari napasnya yang tak terhalang, Gemma tahu kalau selubung wajahnya sudah dibuka. Tapi kenapa semuanya nampak kabur ... dan gelap. Hanya ada satu titik yang begitu terang, sedari tadi menyorotnya bahkan saat ia masih setengah bermimpi.
Awalnya Gemma kira itu adalah lampu yang biasa digunakan saat interogasi berlangsung. Tapi ternyata bukan. Sinar itu berasal dari bulan, berwarna putih bulat sempurna, menggantung di luasnya langit hitam kebiruan. Cahaya bulan adalah satu-satunya penerangan di sini, dan menjadikan lawan bicara Gemma, yang duduk di hadapannya, hanyalah nampak sebagai siluet sempurna.
Satu hal yang jelas, ia yang duduk di sana adalah seorang laki-laki paruh baya. Sepertinya seumuran ayahnya.
"Aku tidak akan memperkenalkan diriku, tapi aku akan memberitahumu ada dimana kita saat ini."
Gemma tak perlu menunggu lelaki itu mengatakannya, tapi Gemma sudah punya tebakan sendiri tentang dimana ia berada sekarang.
"Markas utama Archturian. Lantai ... tiga, tidak, empat puluh. Dua lantai teratas dimana tidak sembarang orang bisa masuk."
Tak ada jawaban, hanya suara napas. Dari situ Gemma bisa mendengar bahwa mereka tidak hanya berdua. Apa Jo juga ada di sini?
Gemma masih merasa limbung karena pengaruh obat bius. Dia bersumpah akan menghajar Jo habis-habisan setelah semua ini selesai. Itu pun jika ia bisa keluar hidup-hidup dari sini.
"Tidak ada Archturian, selain dari divisi ini, yang tahu tentang tempat ini,” desis lelaki itu, jelas tidak senang mendengar jawaban Gemma yang ternyata tepat sasaran.
"Aku bukan Archturian."
"Darimana kau tahu soal tempat ini?"
Gemma diam sejenak, sebelum memutuskan untuk menjawab.
"Aku pernah menghitung jumlah tingkat gedung Archturian yang terlihat dari luar, dan pada saat aku mengikuti tur markas Archturian, aku menemukan jika jumlah lantai yang tertera di lift lebih sedikit daripada yang seharusnya."
Gemma membayangkan lawan bicaranya mencebik mendengar jawabannya. Gemma tahu terkadang ia melakukan hal tidak masuk akal, tapi memang itu yang suka ia lakukan. Apalagi jika ia sudah terobsesi pada sesuatu.
"Gemma Amaire. 23 tahun. Berasal dari Fiend, dibesarkan oleh orang tua tunggal. Siswa yang tidak begitu menonjol saat SMA."
Lelaki itu dengan pongah menunjukkan bahwa ia tahu soal Gemma. Apakah ia berharap Gemma akan terkejut? Informasi standar seperti itu bisa didapatkan dengan mudah. Mereka juga pasti memiliki berkas Gemma karena ia pernah mencoba menjadi Archturian.
"Kau pernah mendaftar sebagai Archturian, tiga tahun yang lalu."
Jeda sejenak, lalu pria itu bertanya, "Bagaimana rasanya ditolak?"
Benar saja. Mereka menghafalkan informasi tentang Gemma sebelum membawanya kemari.
"Menyakitkan. Tapi hidup harus terus berjalan,” kilah Gemma.
Sebenarnya hidup telah berhenti di sana, atau setidaknya ada sebagian dari jiwa Gemma yang masih berputar-putar di masa itu, mencari jawaban mengapa Archturian tidak menerimanya. Sejujurnya Gemma tak pernah percaya pada tuduhan mereka. Gemma selalu merasa ada yang disembunyikan dari dirinya.
Asumsi itulah yang membuat kecintaannya pada Archturian perlahan berubah menjadi benci.
"Sayang sekali. Padahal pencapaianmu sangat mengagumkan. Kau akan menjadi Archturian dengan karir yang luar biasa cemerlang, jika saja batu sandungan itu tidak ada."
Jeda kembali, tidak lama tapi cukup untuk Gemma merasakan penghinaan di kalimat terakhir.
Rasa sesak memenuhi dada Gemma dalam hitungan sepersekian detik. Ia benci jika ada orang yang membahas masalah ini. Apalagi orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Apakah aku dibawa ke sini hanya untuk dicemooh?" tandas Gemma.
"Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya ingin mengetahui latar belakangmu sebelum memberimu tugas penting."
"Tugas?"
Setelah mengorek-ngorek lukanya, kini ia diberi tugas? Mereka pikir mereka siapa seenaknya menyuruh-nyuruh Gemma?
"Seperti yang kukatakan tadi, aku akan memberitahumu kita ada dimana. Kita berada di Divisi Anti Pemberontakan dan Teror."
"Archturian tidak punya divisi seperti itu,” tampik Gemma.
Gemma menjawab cepat. Ia tahu karena ia hafal semua divisi Archturian.
"Oh … kami punya. Hanya saja kami tidak menuliskannya. Kami tidak ingin membuat rakyat Elenio berpikir bahwa ada pemberontak dan teroris di negara kecil ini. Tapi tentu saja, sebagaimana di setiap negara di seluruh penjuru dunia, selalu ada pemberontakan. Di antara empat juta penduduk Elenio, ada saja orang-orang yang suka mengumbar teori-teori konspirasi mereka. Mengumpulkan pengikut yang memiliki pemikiran sama, yang membenarkan bahwa mengkritisi pemerintah adalah hal terpuji."
Lelaki itu berdeham, Gemma dapat menangkap samar pergerakannya. Kini lelaki itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
"Pemerintah Elenio terbuka pada kritik, tapi tidak pada ujaran kebencian, penghinaan, dan ketidakpercayaan yang berpotensi menimbulkan kerusuhan. Contohnya, seperti temanmu."
"Temanku? Siapa?"
"Siapa menurutmu?"
Gemma menelengkan kepalanya bingung. Tidak banyak orang yang bisa disebut sebagai temannya. Seperti sebuah ujaran, semakin dewasa akan semakin sedikit orang yang bisa kita sebut teman. Begitu pula dengan Gemma. Dia hanya punya Purity yang lebih seperti ibu yang galak daripada seorang teman, dan ....
"Maya?" bisik Gemma, setengah bertanya pada dirinya sendiri.
Gemma tercekat saat lawan bicaranya mendengus senang.
"Kau benar tidak tahu? Atau pura-pura saja?"
Maya adalah pemberontak? Manajernya yang lebih sering membereskan kekacauan yang Gemma buat ketimbang mengurusi jadwal konsernya?
Wajah Maya yang cantik dan anggun langsung terlintas di kepala Gemma. Maya memang jarang tersenyum, tapi penampilannya terlalu mempesona untuk ukuran pemberontak. Dengan kulit putih, rambut hitam panjang, mata yang besar dan hidung mancungnya, Maya lebih cocok menjadi model atau artis ketimbang jadi tukang cari gara-gara dengan pemerintah.
"Kami sudah menyelidiki semua soal kalian. Maka dari itu aku membawamu kemari karena orang-orangku sudah memastikan bahwa kau bukan bagian dari mereka. Kau cuma penyanyi di tempat ilegal yang suka membuat keributan."
Darah Gemma mendidih mendengar kata-kata lelaki di hadapannya ini. Jika saja ini bukan di markas mereka, orang ini sudah habis dalam sekejap mata.
"Apa? Kau pikir kami tidak tahu ulahmu? Kau pikir kami tidak tahu ada tempat-tempat seperti itu di Elenio?" cemooh lelaki itu.
"Bukan. Yang membuatku terkejut adalah, bagaimana bisa tempat yang kalian sebut ilegal itu masih beroperasi dengan leluasa, padahal kalian sudah mengetahuinya. Kurasa, Archturian pun tak sebersih kelihatannya, ya?"
Gemma menyeringai, dia bisa merasakan sekelumit amarah yang terpancar dari lawan bicaranya.
Pengaruh bius sudah hilang sepenuhnya dari tubuh Gemma, dan kini matanya sudah mampu menyesuaikan dengan kegelapan ruangan, yang sebenarnya tidak begitu gelap dengan adanya sinar rembulan.
Seperti yang Gemma duga, mereka tidak hanya berdua di sini. Ada sekitar dua atau tiga orang yang berdiri di belakang Gemma, dan salah satu dari mereka adalah Jo. Gemma bisa tahu itu karena keberadaan Jo selalu terasa akrab di sekitarnya.
Gemma dan laki-laki yang bicara padanya, terpisah oleh sebuah meja konferensi yang besar dan permukaannya berlapis kaca. Dinding di belakang pria itu nyaris seluruhnya terdiri dari kaca.
"Sepertinya kau lupa menulis di datamu kalau mulutmu sangat lancang,” hardik si lelaki.
"Ups … maaf. Aku tidak akan melupakannya lagi."
Gemma tidak terkejut saat pria itu memukul meja hingga mengeluarkan suara retak.
"Sudah cukup! Aku tak akan main-main denganmu lagi. Jika memang kau tidak bisa menutup mulut dan melaksanakan apa yang kami perintahkan, jangan harap kau bisa menjalani hidup dengan tenang."
Gemma melayangkan tatapan tajam.
"Apa kau mengancamku?"
Pria itu terkekeh, terdengar senang karena ia mengira Gemma mulai gusar.
"Kami tahu dimana kau tinggal, apa pekerjaanmu, siapa saja orang yang dekat denganmu. Pikirmu kau bisa hidup dengan tenang jika menolak tawaran ini? Itu juga jika kau masih hidup.
*
Gemma meletakkan satu tangannya di atas meja, dan tangan yang lainnya menyangga dagu. Jenis ancaman seperti ini sudah usang untuknya."Kau pikir aku peduli dengan apa yang terjadi pada hidupku?" cemooh Gemma.Gemma tahu bahwa pria misterius itu tidak menyangka ia akan memberi jawaban seperti ini."Hal terakhir yang pasti terjadi pada semua manusia adalah kematian. Tidak ada yang perlu ditakutkan,” ucapnya lagi.Walaupun tak nampak, Gemma dapat merasakan pria di hadapannya ini kehilangan kata-kata. Tapi itu tak lama, karena ia mulai membuka mulutnya lagi. Meskipun suaranya kini terdengar parau."Kau mungkin tidak peduli pada hidupmu, tapi apakah orang-orang terdekatmu punya pemikiran yang sama?"Gemma memandang pria itu dengan tatapan yang semakin malas."Orang terdekatku? Apa maksudmu, jika aku tidak menuruti keinginanmu, kau akan macam-macam dengan orang-orang yang dekat denganku?"Tak ada suara. Jadi jawabannya adalah y
Suara gedoran di pintu membuat Gemma mengerang tanpa ia sadari. Kepalanya seperti mau pecah, dan matanya begitu berat. Perlu beberapa saat untuk Gemma mengumpulkan tenaga, merasakan setiap pergerakan otot dari tubuhnya.Gedoran di pintu
"Kau tahu, aku tidak suka setiap kali pergi bersamamu ke tempat umum.""Aku tahu. Kau mengatakannya setiap kali kita pergi bersama."Mereka berdua tengah makan di restoran cepat saji paling populer di Ayria, yang terletak sekitar empat ratus meter ke selatan dari perpustakaan tempat Gemma tinggal. Cukup lima belas menit berjalan kaki.Cuaca hari ini cerah dan menyenangkan untuk dihabiskan dengan menyantap makan siang di tempat duduk yang ditata di pinggir jalan. Sepertinya banyak yang satu pemikiran dengan Gemma dan Jo, karena kursi-kursi di sekitar mereka nyaris penuh.Dua orang cewek, sepertinya masih kuliah, berbisik-bisik ketika melintasi tempat Jo dan Gemma duduk. Mereka bukan cewek pertama yang sengaja melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian.Perhatian siapa?Siapa lagi kalau bukan Jo."Kau hanya iri, itu saja. Tidak ada laki-laki yang bertingkah seperti itu saat melihatmu.""Jika ada, malah mengerikan."Gemma meng
"Hatchii!!!"Ini sudah keempat kalinya ia bersin dalam kurun waktu kurang dari setengah jam, membuat konsentrasinya terganggu."Sedang tidak sehat, Jonah?"Lawan main caturnya bertanya. Bukan sekadar pertanyaan biasa, itu lebih kepada sebuah ejekan."Aku maklum jika kau tidak bisa mengalahkanku. Kau bisa pakai alasan kesehatan, kok."Jonah menatap orang di hadapannya. Tetangganya yang tinggal di lantai bawah ini selalu berhasil membuatnya kesal dengan ocehannya. Tapi Jonah sudah hidup berdampingan selama delapan belas tahun untuk membuatnya paham bahwa itu adalah cara Michael bercanda."Aku baik-baik saja. Mungkin ada yang sedang membicarakanku sehingga aku bersin-bersin."Jonah memindahkan posisi bidak caturnya. Sekarang dia punya bidak yang siap mengantar Michael pada posisi skakmat."Membicarakanmu? Siapa? Paling juga anakmu."Michael yang menyadari bahwa posisinya tak menguntungkan, memindahkan bidak caturnya yang la
Mobil Maya berhenti di depan perpustakaan. Sebuah city car berwarna kuning lemon yang mengkilat. Sebelumnya Gemma tak pernah bertanya darimana Maya bisa memiliki mobil, mengingat pekerjaannya sebagai manajer belumlah bisa memberinya kemewahan seperti sebuah mobil. Tapi kini Gemma mulai menduga-duga bahwa, mungkin saja para pemberontak mendanai Maya.Itu jika memang benar Maya adalah pemberontak. Gemma belum tahu pasti karena sejauh ini yang ia punya hanya asumsi.Gemma menenteng gitar dengan satu tangan dan berjalan menuju ke mobil. Ia meletakkan gitarnya di bangku penumpang belakang, kemudian ia duduk di kursi penumpang di sebelah pengemudi.Maya menginjak pedal gas, membawa mereka melaju menembus suasana sore di kota Ayria yang perlahan mulai lengang.Orang-orang yang masih ada di trotoar berjalan dengan terburu-buru sembari menundukkan kepala. Jika mereka mengalami kebahagiaan seharian tadi, rasa itu kini tak terlihat di wajah mereka. Yang ada han
Draconian menyabetkan tangannya pada seseorang dalam jangkauannya, dan hanya sekejap mata, orang itu tergeletak di lantai. Kulitnya menjadi sangat keriput dan tubuhnya tak lagi berdaging. Hanya ada ceruk hitam di tempat mata seharusnya berada. Tiga sayatan memanjang di dada orang itu, di tempat Draconian menyarangkan jemari tajamnya. Tidak ada darah mengalir di sana, hanya ada luka dalam berwarna hitam yang tampak kosong seperti celah yang sangat dalam. Cairan berwarna hitam mengalir keluar dari mulut manusia itu, bersamaan dengan asap pekat.Para penjaga menembaki makhluk-makhluk itu dengan putus asa. Bodoh, tentu saja hal itu sia-sia. Draconian tidak bisa dilukai dengan senjata biasa.Keheningan singkat berubah menjadi kepanikan dan kengerian. Semua orang berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan nyawa mereka.Draconian tak tinggal diam. Mereka bergerak dan berjalan seperti orang yang kejang, namun dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka semua menyebar, dan tak
"Sakit?"Nero mendongak untuk menatap Gemma saat ia bertanya. Gemma menggeleng pelan."Katakan kalau sakit, aku akan lebih hati-hati."Nero melanjutkan membebat kedua telapak tangan Gemma dengan perban. Gemma tidak mengatakan apa yang terjadi pada dirinya, karena pastilah tidak ada yang percaya. Nero juga tidak menanyakan hal itu sedari tadi. Entah kenapa Gemma jadi merasa tenang. Jika ia bersama Jo sekarang, Jo pasti sudah bertanya macam-macam dan memasang wajah khawatir yang berlebihan seperti ayah Gemma.Mereka tidak bisa pergi keluar sebelum fajar tiba, dan Gemma pikir Nero hanya akan menjaganya saja di salah satu sudut King's Door sampai mereka bisa pergi dari situ.Tapi ternyata Nero punya ide lain. Dia menyambar kotak pertolongan pertama yang ada di kelab malam itu, lalu mengajak Gemma menuju ke tangga darurat yang mengarah ke atas.King's Door terletak di ruangan bawah tanah sebuah gedung yang digunakan sebagai pusat perbelanjaan. Nero ter
Apa yang terjadi di King's Door menimbulkan kegemparan di seluruh Elenio. Puluhan nyawa manusia melayang, sekaligus membuka sisi gelap Elenio, khususnya Ayria, yang selama ini terkenal sebagai negara yang tentram.Beberapa orang yang dianggap bertanggung jawab, termasuk Heros, kini menjadi buronan.Semua berita tentang hal itu berseliweran di berbagai media selama berhari-hari, kebanyakan berita diberi bumbu dan dipelintir supaya menarik dan menjual. Padahal hampir semua pemberitaan yang ada hanya berisi asumsi dan tidak sesuai kenyataan.Efek dari apa yang terjadi di King's Door membuat Archturian melakukan razia besar-besaran di tempat-tempat ilegal di Ayria dan kota-kota sekitarnya. Hal itu membuat Gemma saat ini menjadi pengangguran dan hanya mengisi hari-harinya di perpustakaan.Gemma pada dasarnya suka membaca, karena ia suka mendapatkan ilmu baru dari buku yang ia baca. Jadi tak masalah untuknya jika harus terkurung di perpustakaan. Toh ia jug