Gemma meletakkan satu tangannya di atas meja, dan tangan yang lainnya menyangga dagu. Jenis ancaman seperti ini sudah usang untuknya.
"Kau pikir aku peduli dengan apa yang terjadi pada hidupku?" cemooh Gemma.
Gemma tahu bahwa pria misterius itu tidak menyangka ia akan memberi jawaban seperti ini.
"Hal terakhir yang pasti terjadi pada semua manusia adalah kematian. Tidak ada yang perlu ditakutkan,” ucapnya lagi.
Walaupun tak nampak, Gemma dapat merasakan pria di hadapannya ini kehilangan kata-kata. Tapi itu tak lama, karena ia mulai membuka mulutnya lagi. Meskipun suaranya kini terdengar parau.
"Kau mungkin tidak peduli pada hidupmu, tapi apakah orang-orang terdekatmu punya pemikiran yang sama?"
Gemma memandang pria itu dengan tatapan yang semakin malas.
"Orang terdekatku? Apa maksudmu, jika aku tidak menuruti keinginanmu, kau akan macam-macam dengan orang-orang yang dekat denganku?"
Tak ada suara. Jadi jawabannya adalah ya.
Ini semakin menggelikan.
"Tuan, kalau kau pikir bisa mengancamku dengan cara murahan seperti itu, kau salah besar. Aku bukan bagian dari kalian dan urusan kalian bukanlah urusanku. Sebagaimana aku tak peduli dengan hidupku, aku pun tak peduli dengan hidup orang-orang terdekatku."
"Pikirmu aku tidak tahu apa yang kau katakan itu hanya omong kosong?” sanggah lelaki itu, “sama seperti yang lain, kalian mengatakan tidak peduli pada apa yang terjadi dengan orang-orang yang kalian sayangi. Tapi saat hal itu benar-benar terjadi, kalian akan menangis dan memohon, dan akan melakukan apapun."
Gemma tertawa mendengar perkataan lelaki itu. Tawanya keras dan mengejek. Lalu tawa itu terhenti secepat datangnya. Gemma mendongak dan berucap dengan angkuh. "Kau pikir begitu? Kau terlalu banyak menonton film."
"Kita lihat saat ini juga. Ada salah satu di sini yang bisa membuktikan teoriku.”
Gemma dapat merasakan kepuasan pada pria itu saat ia mengatakannya.
Gemma terhenyak, matanya melebar.
"Maksudmu, saudaraku, Jonathan?"
"Ya." Si pria menjawab puas.
Tak perlu menunggu sampai lelaki itu menutup mulut sepenuhnya, Gemma langsung berputar di kursinya dengan kecepatan yang tak terduga. Benar saja, yang sedari tadi berdiri di belakangnya adalah Jo.
"Oh... Jonathan."
Gemma melambai mengejek, dengan cepat ia melangkah dan meraih pistol yang tergantung di pinggang Jo, dan Gemma menarik pelatuk.
Jo jatuh berlutut dan mengerang kesakitan.
"Maksud kalian, menyakiti seperti ini?"
Gemma menembak Jo lagi, dan teriakan Jo semakin menjadi.
Semua yang ada di situ terpaku. Prajurit lain hanya bisa menodongkan pistolnya tapi tak melakukan apa-apa.
"Apa yang kau lakukan?! Kalian, cepat tangkap dia!!"
Pria misterius itu meraung, tapi Gemma dapat mendengar ada gemetar di dalam suaranya.
Ada dua prajurit lain yang kini berlari dengan cepat ke arah Gemma. Bertarung dalam kegelapan seperti sekarang tentu tidak mudah bagi orang biasa. Tetapi Archturian sudah dilatih dengan sangat keras untuk pertarungan dalam kegelapan.
Begitupun dengan Gemma.
Pertarungan dengan prajurit yang bahkan kemampuannya tidak sampai seperempat dari dirinya. Beberapa serangan ke titik vital menggunakan gagang pistol, dan para prajurit itu langsung lumpuh tergeletak.
Gemma membiarkan kesadaran mereka tetap terjaga, agar bisa melihat aksinya lebih jauh lagi.
"Apa yang kulakukan? Menunjukkan padamu bahwa aku benar-benar tak peduli padanya."
Gemma kembali menodongkan pistolnya pada Jo, dan mengarahkannya tepat ke dahi.
"Mungkin kau kubunuh saja, Jo, supaya mereka percaya. Aku juga sangat kesal padamu. Bisa-bisanya kau membiusku, dan membawaku kemari."
Gemma tersenyum miring melihat pria tua yang menjadi satu-satunya orang yang bisa menyerangnya, tidak melakukan sesuatu.
"Menyedihkan sekali mengetahui bahwa atasanmu itu ternyata tak peduli kalau kau mati."
"Hentikan!!!!"
Lelaki itu berteriak. Gemma tahu lelaki itu masih berusaha menunjukkan kalau ia yang memegang kendali atas situasi di sini. Tapi dari nadanya yang terdengar putus asa, dia sudah tidak seangkuh tadi. Gemma hanya bisa menertawakannya dalam hati.
"Punya apa kau sampai menyuruhku berhenti?"
Gemma masih menodongkan pistol ke kepala Jo, dan bersiap untuk menarik pelatuk.
"Apa yang kau inginkan!!?"
Gemma tertawa terbahak-bahak, tapi hanya dalam hatinya saja. Di luar, ia menyeringai lebar.
"Aku akan membersihkan seluruh catatan kriminalmu dari Archturian, jika itu yang kau mau!!"
Suara lelaki itu terdengar semakin putus asa. Kemana tingkah sok nya yang tadi membuat Gemma kesal bukan main?
"Oh ... Aku punya catatan kriminal? Seingatku aku tidak pernah mencuri, hanya perkelahian-perkelahian kecil yang terkadang diganggu oleh kalian."
Gemma masih dalam posisi siaga. Lalu dia kembali berkata, "Jujur saja aku tersinggung saat kalian membawaku kemari tanpa memborgol kedua tanganku. Bukankah kalian sudah tahu seperti apa kemampuanku? Kalian pikir itu semua hanya di atas kertas?"
"Katakan apa maumu?!!"
"Dari tadi berteriak-teriak saja. Berisik sekali."
Gemma menurunkan pistol, namun tubuhnya masih terjaga untuk kemungkinan serangan. Walaupun tidak begitu jelas, Jo pastilah tampak kepayahan karena dua tembakan dari Gemma.
"Seharusnya dari tadi kau begitu. Tidak perlu mengancam-ancamku."
Gemma memainkan pistol di tangannya, sembari pura-pura berpikir.
"Aku tidak butuh catatan kriminal yang bersih, karena aku juga tidak akan mendaftar di institusi pemerintahan."
"Lalu apa maumu??!!"
Gemma berhenti sesaat mendengar pertanyaan itu. Sepertinya tidak ada yang benar-benar ia inginkan saat ini. Sebuah mobil terdengar menarik, tapi memintanya pada Archturian sama saja menyia-nyiakan kesempatan emas. Kemudian ingatan percakapannya dengan Maya terngiang di otaknya.
"Lunasi semua hutang-hutangku,” usul Gemma kemudian.
"Apa?" Dari suaranya, lelaki itu terkejut. "Hutangmu?"
"Ya. Manajerku bilang sampai sepuluh tahun ke depan aku hanya akan mendapatkan seperempat dari bayaran konserku karena uangnya habis dipakai untuk membayar hutang. Jadi lunasi hutang-hutangku supaya aku bisa dapat bayaran penuh lagi."
Pria itu tertegun, begitu juga dengan Jo.
"Kau punya hutang sebanyak itu?" bisik Jo pada Gemma, ia bertanya menahan sakit. Gemma tersenyum malu.
"Ya, Jo. Aku sedang menuju kebangkrutan."
***
Suara gedoran di pintu membuat Gemma mengerang tanpa ia sadari. Kepalanya seperti mau pecah, dan matanya begitu berat. Perlu beberapa saat untuk Gemma mengumpulkan tenaga, merasakan setiap pergerakan otot dari tubuhnya.Gedoran di pintu
"Kau tahu, aku tidak suka setiap kali pergi bersamamu ke tempat umum.""Aku tahu. Kau mengatakannya setiap kali kita pergi bersama."Mereka berdua tengah makan di restoran cepat saji paling populer di Ayria, yang terletak sekitar empat ratus meter ke selatan dari perpustakaan tempat Gemma tinggal. Cukup lima belas menit berjalan kaki.Cuaca hari ini cerah dan menyenangkan untuk dihabiskan dengan menyantap makan siang di tempat duduk yang ditata di pinggir jalan. Sepertinya banyak yang satu pemikiran dengan Gemma dan Jo, karena kursi-kursi di sekitar mereka nyaris penuh.Dua orang cewek, sepertinya masih kuliah, berbisik-bisik ketika melintasi tempat Jo dan Gemma duduk. Mereka bukan cewek pertama yang sengaja melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian.Perhatian siapa?Siapa lagi kalau bukan Jo."Kau hanya iri, itu saja. Tidak ada laki-laki yang bertingkah seperti itu saat melihatmu.""Jika ada, malah mengerikan."Gemma meng
"Hatchii!!!"Ini sudah keempat kalinya ia bersin dalam kurun waktu kurang dari setengah jam, membuat konsentrasinya terganggu."Sedang tidak sehat, Jonah?"Lawan main caturnya bertanya. Bukan sekadar pertanyaan biasa, itu lebih kepada sebuah ejekan."Aku maklum jika kau tidak bisa mengalahkanku. Kau bisa pakai alasan kesehatan, kok."Jonah menatap orang di hadapannya. Tetangganya yang tinggal di lantai bawah ini selalu berhasil membuatnya kesal dengan ocehannya. Tapi Jonah sudah hidup berdampingan selama delapan belas tahun untuk membuatnya paham bahwa itu adalah cara Michael bercanda."Aku baik-baik saja. Mungkin ada yang sedang membicarakanku sehingga aku bersin-bersin."Jonah memindahkan posisi bidak caturnya. Sekarang dia punya bidak yang siap mengantar Michael pada posisi skakmat."Membicarakanmu? Siapa? Paling juga anakmu."Michael yang menyadari bahwa posisinya tak menguntungkan, memindahkan bidak caturnya yang la
Mobil Maya berhenti di depan perpustakaan. Sebuah city car berwarna kuning lemon yang mengkilat. Sebelumnya Gemma tak pernah bertanya darimana Maya bisa memiliki mobil, mengingat pekerjaannya sebagai manajer belumlah bisa memberinya kemewahan seperti sebuah mobil. Tapi kini Gemma mulai menduga-duga bahwa, mungkin saja para pemberontak mendanai Maya.Itu jika memang benar Maya adalah pemberontak. Gemma belum tahu pasti karena sejauh ini yang ia punya hanya asumsi.Gemma menenteng gitar dengan satu tangan dan berjalan menuju ke mobil. Ia meletakkan gitarnya di bangku penumpang belakang, kemudian ia duduk di kursi penumpang di sebelah pengemudi.Maya menginjak pedal gas, membawa mereka melaju menembus suasana sore di kota Ayria yang perlahan mulai lengang.Orang-orang yang masih ada di trotoar berjalan dengan terburu-buru sembari menundukkan kepala. Jika mereka mengalami kebahagiaan seharian tadi, rasa itu kini tak terlihat di wajah mereka. Yang ada han
Draconian menyabetkan tangannya pada seseorang dalam jangkauannya, dan hanya sekejap mata, orang itu tergeletak di lantai. Kulitnya menjadi sangat keriput dan tubuhnya tak lagi berdaging. Hanya ada ceruk hitam di tempat mata seharusnya berada. Tiga sayatan memanjang di dada orang itu, di tempat Draconian menyarangkan jemari tajamnya. Tidak ada darah mengalir di sana, hanya ada luka dalam berwarna hitam yang tampak kosong seperti celah yang sangat dalam. Cairan berwarna hitam mengalir keluar dari mulut manusia itu, bersamaan dengan asap pekat.Para penjaga menembaki makhluk-makhluk itu dengan putus asa. Bodoh, tentu saja hal itu sia-sia. Draconian tidak bisa dilukai dengan senjata biasa.Keheningan singkat berubah menjadi kepanikan dan kengerian. Semua orang berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan nyawa mereka.Draconian tak tinggal diam. Mereka bergerak dan berjalan seperti orang yang kejang, namun dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka semua menyebar, dan tak
"Sakit?"Nero mendongak untuk menatap Gemma saat ia bertanya. Gemma menggeleng pelan."Katakan kalau sakit, aku akan lebih hati-hati."Nero melanjutkan membebat kedua telapak tangan Gemma dengan perban. Gemma tidak mengatakan apa yang terjadi pada dirinya, karena pastilah tidak ada yang percaya. Nero juga tidak menanyakan hal itu sedari tadi. Entah kenapa Gemma jadi merasa tenang. Jika ia bersama Jo sekarang, Jo pasti sudah bertanya macam-macam dan memasang wajah khawatir yang berlebihan seperti ayah Gemma.Mereka tidak bisa pergi keluar sebelum fajar tiba, dan Gemma pikir Nero hanya akan menjaganya saja di salah satu sudut King's Door sampai mereka bisa pergi dari situ.Tapi ternyata Nero punya ide lain. Dia menyambar kotak pertolongan pertama yang ada di kelab malam itu, lalu mengajak Gemma menuju ke tangga darurat yang mengarah ke atas.King's Door terletak di ruangan bawah tanah sebuah gedung yang digunakan sebagai pusat perbelanjaan. Nero ter
Apa yang terjadi di King's Door menimbulkan kegemparan di seluruh Elenio. Puluhan nyawa manusia melayang, sekaligus membuka sisi gelap Elenio, khususnya Ayria, yang selama ini terkenal sebagai negara yang tentram.Beberapa orang yang dianggap bertanggung jawab, termasuk Heros, kini menjadi buronan.Semua berita tentang hal itu berseliweran di berbagai media selama berhari-hari, kebanyakan berita diberi bumbu dan dipelintir supaya menarik dan menjual. Padahal hampir semua pemberitaan yang ada hanya berisi asumsi dan tidak sesuai kenyataan.Efek dari apa yang terjadi di King's Door membuat Archturian melakukan razia besar-besaran di tempat-tempat ilegal di Ayria dan kota-kota sekitarnya. Hal itu membuat Gemma saat ini menjadi pengangguran dan hanya mengisi hari-harinya di perpustakaan.Gemma pada dasarnya suka membaca, karena ia suka mendapatkan ilmu baru dari buku yang ia baca. Jadi tak masalah untuknya jika harus terkurung di perpustakaan. Toh ia jug
Laju kereta membawa Gemma dan Jo menjauh dari Ayria. Kemarin Jo menemani Gemma seharian setelah apa yang terjadi di hutan. Dia merawat luka Gemma sembari terus melontarkan pertanyaan, yang akhirnya membuat Gemma menceritakan kejadian di King's Door."Jadi, Draconian yang hancur lebur waktu itu, karena ledakan dari tanganmu?"Gemma mengangguk.Sejak kemarin, Jo terus mencoba menarik kesimpulan dari dugaan-dugaannya sendiri, tapi tak ada yang terdengar tepat."Apa kau menggunakan obat-obatan?"Jo bertanya pada Gemma, yang sedari tadi hanya memandang keluar jendela. Kedua matanya berusaha menikmati alam Elenio yang berisi hamparan padang rumput, serta hutan dalam lembah-lembah yang berkabut. Tapi usaha untuk mengalihkan diri dari hal yang mengganggu tidak berhasil, karena Jo terus-terusan membahasnya.Gemma menelengkan kepalanya pada Jo. Sepertinya itu adalah teori Jo yang kedua puluh dan semakin ke sini teorinya jadi sekadar tebakan konyol."A