Share

5.Seberkas Luka

      Masih ada beberapa kerabat yang tengah sibuk membukakan kado, pemberian sahabat maupun relasi bisnis sebagai ucapan selamat kepada pernikahan Axelle dan Stela. Zeroun memandang gadis manis yang kini menjadi menantunya tersebut. Ada rasa bersalah bercampur rasa lega. Lelaki tua itu mengingat kembali malam hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Sang gadis kecil marah besar dan menolak. Namun, Zeroun membuatnya tak berkutik. Dengan kekuasaannya, lelaki tua itu menghubungi pihak kampus. Alhasil Stela dikeluarkan dengan paksa. Mata bening gadis tersebut berkaca, air mata meleleh, Stela terdiam seribu bahasa tak berkomentar lagi. Dia akhirnya berjalan gontai menuju kamar yang telah Zeroun persiapkan. Gadis itu meringkuk di tengah ranjang. Hidungnya memerah, matanya sembab dalam kelelahan.

    Zeroun mengurut dada berpikir perbuatannya terlalu kejam. Lelaki tua itu sempat ingin membatalkan niatnya. Dia melangkah keluar kamar tersebut dengan hati gundah. Pikirannya kacau, ingin dia meraih sang putra kembali. Dia pun bertekad, tegar, dihela napas panjang dalam. Zeroun memandang ke arah kerabat jauhnya. Mereka menyambut bahagia pernikahan dadakan itu. Rasa bersalahnya sedikit berkurang kala menilik Stela, yang tanpa perlawanan di rias dengan sangat anggun dan cantik.

    "Maafkan orang tua egois ini, Nak," ujar Zeroun, menatap Stela dari cermin.

    "Mulai sekarang saya akan berpikir realistis kakek. Mau melawan juga tidak akan berguna, kan," keluh Stela. Kalimat yang benar-benar menohok mengena pada Zeroun.

     Gelak tawa menggema membuyarkan lamunan Zeroun, lelaki tua tersebut menoleh ke arah sepasang pengantin baru yang tengah menjadi bulan-bulanan kerabatnya. Lelaki tersebut tersenyum melihat gadis muda itu hanya tertunduk malu.

    "Berhentilah menggoda mereka, biarkan sepasang pengantin ini istirahat," ucap Zeroun membuat ketiga bibi Axelle itu terdiam.

    "Aku tahu kakak, aku sangat bahagia. Akhirnya bujang lapuk ini menikah juga. Aku sempat khawatir dia penyuka sesama jenis," kelakar seorang wanita paruh baya mengenakan kebaya warna biru muda tersebut.

     Stela terlihat menutup mulut dengan jari-jemari lentiknya, menahan tawa. Axelle sendiri menggeleng kepala menahan ketidak berdayaan. Lelaki itu memandang sang Ayah dalam. Zeroun mengerti maksud sang anak menyingkir dari kerumunan. Dia menuju ke balkon yang ada di lantai dua. Selang tak lama Axelle muncul.

     "Kenapa?" tanya Zeroun basa-basi, padahal ia sudah tahu maksud sang anak.

     "Aku akan pulang, Ayah setuju atau tidak, aku tetap akan pulang," dengkus Axelle.

    "Baiklah, aku tidak akan melarangmu. Silahkan kau pulang temui wanitamu, jika kau ingin mempermalukan gadis yang kini menjadi istri sahmu," terang Zeroun dengan santai. "Kau pikir bagaimana tanggapan para kerabat jika mereka melihatmu pergi meninggalkan wanita yang baru saja kau nikahi? Jika tidak ingin memikirkan dirimu, pikirkanlah perasaan gadis itu," lanjutnya memprovokasi.

    "Benar-benar keterlaluan, kenapa Ayah selalu menempatkan aku pada posisi sulit?" pekik Axelle.

    "Aku tidak pernah menempatkan dirimu pada posisi sulit. Kau sendiri yang salah jalur sejak awal, aku hanya berusaha meluruskan, agar saat kau jatuh nanti tidak terlalu sakit," kata Zeroun datar. "Semua tergantung keputusanmu, pergilah jika ingin pergi aku tidak akan melarang," imbuh Zeroun. Lelaki tersebut melenggang pergi dengan langkah panjangnya.

      Axelle meraup wajah, bingung, dia kemudian mengambil ponsel di saku celananya, mengabarkan pada Freya bahwa ia tak dapat pulang malam ini. Beruntung Freya sangat percaya padanya, wanita tersebut tak pernah sekalipun marah ataupun kesal pada sikap mertuanya. Mereka sama-sama saling memahami, karena sejak awal pernikahan jua sangat berat terasa. Axelle berjalan menelusuri koridor, naik ke lantai tiga, yang merupakan kamarnya terdahulu ketika ia masih muda. Lelaki itu membuka pintu.

   "Aaa?!" teriak Stela yang langsung menutup bagian payudaranya yang terbuka. Axelle langsung membalikkan badan. Dia tak mungkin keluar kamar sekarang. Jalan terbaik satu-satunya adalah masuk ke kamar mandi.

     "Maafkan aku," ujar Axelle melengos, menutup pintu kamar mandi dengan kasar.

    Lelaki tersebut masih terkejut sangat, melihat gadis muda yang baru dinikahinya hampir bertelanjang dada. Rambutnya basah kuyup. Dipastikan Stela baru saja usai mandi dan tengah mengganti pakaian. Tubuh mulus terpampang jelas, payudaranya terlihat ranum dan kencang, meski ukurannya tak sebesar milik Freya. Paha mulusnya begitu menggiurkan untuk di sentuh. Wajah Axelle merah padam memikirkan bayangan gadis muda tersebut.

     "Astaga! Apa yang aku pikirkan?" keluh Axelle. Dia melucuti semua pakaian yang dikenakan. Kemudian mengguyur badan dengan air dingin yang mengalir lewat shower. Axelle berusaha menghilangkan bayang-bayang tubuh sang gadis nan kencang menggoda tersebut.

    Axelle keluar kamar mandi, mengenakan mantel handuk. Dia menghela napas panjang, berjalan mendekat ke arah istri yang baru ia nikahi. Gadis itu menutup rapat tubuh kecilnya dengan selimut.

    "Stela, maafkan aku, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu jika kamu berada di kamar ini," keluh Axelle. Lelaki itu duduk di sudut tempat tidur.

    "Tidak apa," jawab Stela singkat. "Anggap saja kejadian baru saja tidak pernah terjadi," imbuhnya. "Tuan bisa istirahat dengan tenang," lanjutnya masih membekap tubuh dengan selimut.

     "Baiklah, selamat tidur, aku akan tidur di ruang kerja, ada sofa di sana?" terang Axelle kikuk.

    "Om bisa tidur di ranjang, aku sudah menyiapkan guling sebagai pembatas," jelas Stela.

    Axelle menilik ke ranjang, dia mendapati guling dan bantal bertumpuk di tengah. Saking fokusnya ia sampai tak sadar melihat itu tadi. Tanpa berkomentar Axelle merebahkan tubuh di kasur.

     "Jangan panggil aku Tuan, akan terasa canggung jadinya," kata Axelle mengingatkan.

     "Baiklah, Om," jawab Stella.

     Axelle menoleh ke arah Stela, hanya bantal yang dapat ia tatap. Lelaki itu bangkit duduk. "Stela, kau percaya aku tidak akan melakukan hal aneh-aneh padamu?" selidik Axelle.

    "Justru karena saya percaya dengan Om, saya mengizinkan anda tidur di kasur yang sama," jelas Stela.

    Axelle terkekeh, "Hei, kau tidak kegerahan membalut dirimu dengan selimut seperti kepompong?" kelakarnya mulai nyaman bercakap.

    "Sebenarnya saya tidak merasa nyaman. Saya ingin kembali ke kamar semula saja. Tapi kakek tidak mengizinkan," ucap Stela.

    "Maaf, karena kau harus terlibat dalam masalah keluarga kami," tutur Axelle.

     "Tidak masalah, mulai saat ini saya akan berpikir realistis saja. Toh saya tidak rugi, saya bisa tinggal di tempat yang nyaman untuk sementara waktu, bisa makan enak," ucap Stela bergetar.

    Axelle sadar gadis tersebut sedang menangis sekarang, hantinya trenyuh. Lelaki itu menyingkirkan bantal pembatas ke samping. Tangannya kemudian menarik selimut yang dikenakan Stela.

    "Jangan ditarik!" pekik Stela menahan.

    "Memangnya kenapa? Aku tidak nyaman berbincang dengan kau memunggungiku. Mari kita duduk berhadapan dan saling bicara, kita selesaikan masalah ini bersama," ujar Axelle. Dia ingin menghibur Stela. Karena Axelle berpikir pasti sangatlah berat beban untuknya saat ini.

     "Jangan!" pekik Stela sekali lagi saat, selimut benar-benar terlepas. Stela tertunduk malu, Axelle sendiri ternganga melihat gadis tersebut.

Bersambung….

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rudi
sangat Bagus
goodnovel comment avatar
Imelda Marcos
belom apa2 sudah hrs koin
goodnovel comment avatar
KA Rin KA
bkin penasarn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status