Share

Bab 2

"Dante, bisa nggak sih jangan cepet-cepet jalannya?" Irin berbicara sambil berlari untuk menyamai langkah lebar kaki Dante.

"Gue nggak punya banyak waktu buat ngurusin orang nggak penting kaya lo, lo-nya aja yang lelet," ucap Dante dengan sinis.

"Terserah deh,"

"Buruan lo, lama banget," Dante menarik kasar lengan Irin.

"Awhh, Dante.. lepas, sa..kit," 

"Nggak usah lebay lo, gue cuma pegang pelan," Dante masih terus menarik tangan Irin dengan kasar.

"Astaga, Dante…" Irin menarik kasar tangannya dan membuat Dante menoleh tajam.

Irin menggosok pelan lengannya, membuat lengan dress-nya sedikit tertarik ke atas.

Dante terkejut saat melihat lengan Irin, dengan cepat Irin menutupinya.

"Tangan lo, kenapa?"

"Bukan urusan lo," jawab Irin dengan ketus lalu berjalan mendahului Dante.

"Sialan," Dante pun mengejar langkah kaki Irin.

Hingga sampai mereka di dalam toko perhiasan, lalu pelayan toko menghampiri mereka.

"Selamat siang mas dan mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, ya.. siang. Eum, kami mau ambil cincin pesanan atas nama Rosmi,"

"Oh, Nona Irin dan Tuan Dante?"

Irin tersenyum lembut dan mengangguk,

"Baiklah, sebentar… saya akan mengambilkan beberapa pilihan nyonya Rosmi, kalian silahkan duduk terlebih dahulu."

"Baik, terimakasih…" jawab Irin dan ia pun duduk, berbeda dengan Dante yang masih berdiri.

Irin pun tak peduli, karena kursinya memang berada di sebelahnya.

Karena lelah, Dante pun terduduk di sebelah Irin.

Irin tersenyum miring tanpa melihat pada Dante.

"Permisi, Nona dan Tuan… ini beberapa pilihan yang sudah di pilihkan langsung oleh nyonya Rosmi dan juga nyonya Emy,"

Dante sedikit terkejut, ia tak tahu jika sang ibu pun turut turun untuk mencari keperluan untuk pernikahannya.

"Lo pilih aja, gue terserah mau lo," Irin pun tersenyum lebar saat mendengar ucapan pasrah Dante.

Mata Irin berbinar saat melihat cincin dengan bentuk sederhana, cincin emas putih dengan permata berwarna biru cerah transparan, terlihat sangat indah. 

"Saya pilih ini aja, mbak…" ujar Irin dengan memberikan cincin pilihannya.

"Pilihan yang tepat, Nona. Ini adalah bentuk lambang kebahagiaan, semoga pernikahan kalian selalu di selimuti dalam kebahagiaan," ucap pelayan itu ramah.

Irin hanya tersenyum lembut pada pelayan toko dan hal itu membuat Dante sedikit oleng melihat mantan kekasihnya itu yang terlihat sangat manis.

Dante menggelengkan kepalanya pelan, ia pun tersadar.

"Jika sudah selesai, bisakah kami keluar?" Tanya Dante pada pelayan toko.

"Tentu, nanti akan kami kirimkan barang yang kalian pesan, Nona dan Tuan…"

Dante hanya mengangguk kecil,

"Kalau begitu, kami permisi, mbak.." pamit Irin pada pelayan toko yang langsung di angguki dan di berikan senyum hangat.

Dante dan Irin pun pergi keluar toko perhiasan, mereka pun pergi dengan saling bungkam.

Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan sedang, Irin menautkan kedua alisnya bingung.

"Dante, ini bukan jalan pulang ke rumah gue,"

Dante tersenyum miring,

"Gue nggak mau antar lo pulang kok, ini memang bukan jalan pulang ke rumah lo,"

"Sial, turunin gue di sini," umpat Irin dengan geram, Dante sedikit terkejut karena Irin bisa berbicara dengan kasar saat ini.

Dante menghentikan mobilnya di tepi jalan, dan Irin segera keluar dari dalam mobil Dante.

Brakkk

Irin menutup pintu mobil Dante dengan keras.

Dia pun segera menyetop taksi, Dante hanya tersenyum sinis menatap kepergian Irin.

"Gue bakal buat hidup lo menderita, camkan itu!"

Lalu Dante melanjutkan perjalanan pulang ke rumah kedua orangtuanya.

Sesampainya di rumah, Dante di sambut oleh sang kakak.

"Wow, calon pengantin…" sindir Darren pada Dante.

"Nggak ada urusan sama lo,"

"Hm, tentu ada. Lo itu adek gue, dan lo itu pengecut,"

Dante menatap tajam pada sang kakak yang kini tersenyum mengejek padanya.

"Apa maksud lo bilang kalo gue ini pengecut, bahkan lo sendiri jauh lebih pengecut saat lihat istri lo hamil sama laki-laki lain," 

Darren terkekeh kecil mendengar ejekan sang adik,

"Setidaknya gue lepas dengan damai, bukan dengan cara yang bodoh,"

"Gue nggak tau kenapa lo ngomong begini sama gue, dan gue males debat sama lo," ucap Dante sambil berlalu meninggalkan sang kakak.

"Lo bakal nyesel, Dante." Gumam Darren lirih sambil menatap punggung sang adik.

"Darren, adek kamu sudah pulang?"

Darren pun menoleh dan mendapati ibunya yang baru saja pulang dari pasar.

"Ibu, baru pulang?"

"Buktinya ibu sudah di sini," Darren pun terkekeh mendengar jawaban dari wanita tercintanya.

"Ibu ada-ada aja,"

"Kamu sih, ditanya bukannya jawab malah balik bertanya,"

"Hehe, iya, iya maaf. Dante udah pulang kok, Bu. Udah di kamar,"

"Oh, kalau begitu, ibu ke dapur dulu ya, mau beresin barang belanjaan nih," ujar sang ibu dengan menenteng dua kresek besar dan diikuti oleh asisten yang juga membawa tiga kantong plastik besar berisi belanjaan mereka.

Berbeda dengan Irin, ia sedang merebahkan tubuhnya dan menjadikan paha sang bunda dijadikan bantalannya. 

"Bunda, Irin minta maaf," lirih Irin dengan tatapan penuh penyesalan.

"Kamu nggak punya salah sama bunda, kamu nggak perlu minta maaf, sayang."

Jawab Rosmi yang dengan lembut membelai lembut rambut sang putri kesayangannya.

"Tapi, Irin udah buat bunda kecewa," 

"Ssst, udah ya… jangan dibahas,"

"Tapi, ___ "

"Ssst, jangan membantah."

"Ish," jawab Irin dengan mencebikkan bibirnya.

Rosmi tersenyum, Irin adalah anak semata wayangnya. Maka tidaklah salah jika keluarga Wicaksana yang kekayaannya melimpah ruah melebihi dari kekayaan keluarga orang tua Dante sangat mencintai Irin.

Apapun Rosmi dan Arman lakukan agar Irin hidup bahagia, tidak ingin putrinya menderita.

Siapapun yang membuat putrinya terluka, maka dialah yang akan menerima konsekuensinya.

"Nanti, kalau kamu udah nikah, jangan lupa sama bunda."

Irin pun terkekeh mendengar ucapan konyol sang bunda.

"Bunda iih, Irin bukan mau minggat… udah pasti Irin nggak bakal lupa sama bunda, Irin kan sayang sama bunda sama ayah,"

Rosmi pun tersenyum tipis mendengar ucapan sang putri, melirik sekilas pada lengan lengan nya.

Ya Tuhan, tolong bahagiakan putri ku, batin Rosmi memohon.

"Bunda, Irin ngantuk…" keluh Irin dengan manja,

Rosmi pun terus membelai lembut rambut sang putri, lambat tapi pasti, Irin pun tertidur nyenyak dengan usapan lembut dari sang bunda.

Rosmi berharap, jika putrinya akan hidup jauh lebih baik lagi, jika ia telah menikah dengan Dante.

"Bunda sangat mencintaimu, Irin." Bisik lirih Rosmi di telinga Irin yang kini telah terlelap,

"Apapun yang terjadi, bunda akan selalu bersamamu, bunda akan meminta ayah untuk selalu memperjuangkan hidupmu, maaf… maafkan bunda dan ayah yang masih belum bisa menjadi orang tua yang baik, sayang." Lanjutnya dengan pilu,

Harapan Rosmi dan Arman adalah ingin putrinya menjalani hidup dengan normal seperti dulu, tidak seperti saat ini.

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status