Dante merasa aneh dengan Irin, sejak kemarin siang setelah berdebat dengannya, Irin benar-benar tak keluar dari dalam kamar, bahkan Dante pun tak masuk ke dalam kamar karena ia meminum alkohol di ruang keluarga.
"Apa dia udah mati, kalo iya juga nggak masalah."
Deggg
Hati Dante terasa nyeri saat ia mengucapkan kata itu, padahal ia tahu, jika ia sangat membenci Irin.
Tapi, kenapa?
Dante pun merasa cemas, lalu berjalan tergesa masuk ke dalam kamar.
Ia mendapati Irin, yang terlelap dengan deru napas teratur.
Dante menghela napas lega, ia takut jika nantinya akan digiring ke kantor polisi.
Dan sangat tidak lucu jika ia mendapati istrinya meninggal tepat di hari kedua setelah pernikahan.
Bel rumahnya berbunyi, Dante mengernyit bingung, siapa yang bertamu di pagi hari seperti ini.
Dante berjalan menuju pintu utama dan membukanya, ia terkejut saat mendapati sang ibu tengah berdiri di hadapannya dengan membawa rantang, yang Dante yakin berisi makanan di dalamnya.
"Mana Irin?"
"Astaga, ibu… bukannya masuk dulu, malah tanya Irin dimana?" Protes Dante, entah ia yang bodoh atau ia yang tak peka, Dante tak menangkap wajah cemas sang ibu.
Lalu mereka pun masuk,
"Dante, dimana Irin?"
"Di kamar,"
Sang ibu berjalan cepat, ia pun terkejut mendapati ruang keluarga yang berantakan dengan banyak botol alkohol disana.
Emy menoleh dan menatap tajam pada putranya. Dante hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia yakin jika ia akan di ceramahi oleh sang ibu.
Emy kembali melanjutkan langkah kakinya menuju lantai atas.
Sesampainya ia di kamar, ia terkejut.
Ia mendapati menantunya tidur dengan sangat tenang.
"Astaga, Irin… bangun, sayang." Ucap Emy dengan mengguncang pelan tubuh menantu cantiknya itu.
Emy terpekik saat mendapati sudut bibir dan pipi Irin ada sedikit memar, Emy yakin jika ini adalah ulah putranya.
Emy berjalan cepat menghampiri putranya dan ia kembali menampar wajah sang putra.
Plakkk
"Ibu," tegur Dante yang tersentak saat tiba-tiba sang ibu menamparnya.
"Apa itu sakit?"
"Ya, jelas sakitlah, Bu" jawab Dante tanpa rasa bersalahnya.
"Ya, begitu juga Irin. Ibu tak pernah mengajarimu untuk bersikap kasar dan pengecut Dante,"
"Jadi ibu membela wanita j*lang murahan itu, huh?"
"Dante, kamu!" Geram sang ibu pada putranya.
"Kenapa, Bu? Dibayar berapa ibu dan ayah oleh orang tua Irin?" Sindir Dante yang merasa curiga pada kedua orang tuanya.
"Astaga, Dante… lo udah keterlaluan," Darren yang sejak tadi masih di luar rumah, kini masuk.
Ia datang mengantar sang ibu, untuk berkunjung ke rumah pengantin baru itu.
"Lo nggak usah ikut campur,"
"Jelas gue ikut campur, lo udah ngejatuhin harga diri orang tua lo sama gue, Lo nggak sadar itu, hah!" Bentak Darren yang sayangnya Dante seperti orang bodoh.
"Hoh, gue nggak ngerasa ngejatuhin harga diri lo dan juga ibu dan ayah. Karena gue udah naikin penghasilan dari perusahaan keluarga, yang sekarang udah sukses, ngerti nggak lo,"
"Ckckck, lo nggak harus bangga dengan harta warisan, adek kecil." ujar Darren tertawa mengejek pada sang adiknya uang bodoh.
Dante menarik kerah sang kakak, berniat untuk meng-hajarnya.
"Hentikan, Dante!" Teriak sang ibu membuat Dante mundur, Darren tersenyum mengejek sambil membenarkan kerah kemejanya yang sedikit berantakan.
"Ibu? Kak Darren?"
Mereka bertiga menoleh saat mendapati Irin yang terlihat baru terbangun dari tidurnya,
Emy segera menghampiri menantunya, lalu memeluknya erat.
"Irin, kamu nggak apa-apa kan, nak?"
"Aku, memangnya kenapa, Bu?"
"Nggak usah banyak cari perhatian," sambung Dante dengan ketus.
"Dante, Irin itu istri kamu. Jaga sikap kamu,"
"Iya, istri yang tak di harapkan,"
"Kalo lo nggak mau, buat gue aja. Gue tunggu," sambung Darren.
"Cih," Dante hanya berdecih,
"Cukup, jangan mempermalukan diri kalian,"
"Ibu, kenapa kok udah di sini aja?"
"Iya, ibu cuma mau ketemu sama menantu ibu yang cantik nan manis ini,"
Irin terkekeh mendengar pujian dari ibu mertuanya.
"Ibu bisa aja,"
"Rin, mau jalan?" Tawar Darren pada adik iparnya.
"Kemana, kak?"
"Kemana aja yang kamu mau,"
"Boleh," jawab Irin dengan sedikit melirik Dante.
"Sudah, sudah… Irin, kamu sarapan dulu ya, ibu ada bawa makanan untuk kamu dan Dante,"
"Tapi, Bu… Irin belum mandi, terus belum beresin itu," tunjuk Irin pada meja yang berantakan.
"Sudah, itu ulah Dante, biarkan dia bereskan sendiri. Ayo, kamu sebaiknya sarapan lebih dulu,"
Belum sempat menjawab, Irin sudah lebih dulu di seret oleh ibu mertuanya.
Irin di duduknya di tempat kursi makan, lalu ibu mertua menyiapkan menu sarapan, kali ini ibu mertuanya membawa rendang.
Ah, mungkin ia tahu jika sang menantu tak bisa memasak masakan yang lebih.
"Makan yang banyak, sayang.."
"Nanti Irin gendut gimana dong, Bu?" Sungut Irin berkata dengan manja, membuat Darren gemas.
"Kalo gendut juga kamu tetap cantik, Irin."
"Iih, kak Darren bisa aja."
Darren pun terkekeh, ia melihat Irin makan seperti orang kelaparan, tak lama kemudian Dante ikut bergabung.
Dia pun mengambil makan sendiri dan menyiapkannya sendiri.
Irin sedikit memperlambat makannya, ia masih terngiang ucapan Dante kemarin siang.
Irin menggenggam erat sendok dan garpu di tangannya, memejamkan matanya sejenak.
Napasnya sedikit memburu, Darren yang menyadari itu, langsung mengusap punggung Irin.
"Nggak apa-apa, semuanya nggak apa-apa, Rin.."
Irin sedikit bingung, namun ia pun segera mengangguk.
Dante menatap malas pada mereka berdua,
"Dante, ajaklah istrimu keluar dan bersenang-senang," ucap sang ibu pada Dante.
"Udahlah, Bu. Dia bisa pergi sendiri, belum lagi Darren mau ngajak dia pergi,kan?"
"Ho, Lo mau ikut juga?" Tawar Darren sengaja pada Dante.
"Nggak, gue di rumah aja."
"Hoh, bagus… lagian hama kaya lo mending di basmi aja, kan?"
Brakk
Dante menggebrak meja membuat Irin dan Emy terpekik.
"Maksud lo apa sih, hah?" Bentak Dante pada sang kakak.
"Kalian nggak malu, ada Irin di sini?"
"Terus saja kalian bela wanita j*lang itu,"
Ucap Dante kasar dengan menunjuk wajah Irin.
Irin hanya terdiam tanpa menjawab.
"Dante, kau benar-benar tidak punya hati, dia itu istrimu!" Jawab Emy penuh peringatan pada putra keduanya.
"Irin, sebaiknya kita pergi saja," Darren menarik lengan Irin.
Irin hanya meringis sakit saat Darren menarik lengannya.
Setelah kepergian Irin, Emy menatap tajam pada Dante.
"Sungguh, ibu tak menyangka jika putra ibu berubah menjadi monster," ucap Emy yang kini pergi meninggalkan Dante seorang diri.
"Aku sudah mengatakan, kalau aku tak ingin menikahi wanita sialan itu!" Teriak Dante yang mungkin masih bisa di dengar oleh Emy.
Saat di dalam mobil, Irin masih meringis dengan mengusap lembut lengannya.
Darren menarik lengan Irin pelan, lalu mencoba melihat apa yang ada di dalam lengan panjang baju yang Irin kenakan.
"I-irin,"
Irin hanya tersenyum dan menarik kembali lengannya.
"Jangan banyak tanya, kak. Irin nggak suka kehidupan Irin di korek lebih jauh,"
"Ah, baiklah… ayo, sebaiknya kita mencari tempat yang bagus,"
"Tapi, sebelum itu bawa Irin makan nasi padang, Irin masih lapar, kak."
Darren pun terkekeh dan mengangguk, ia menuruti permintaan Irin untuk datang ke restoran khusus masakan khas padang.
…
Tbc.
Darren membawa Irin ke Timezone, mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang baru saja jatuh cinta.Namun, siapa tahu jika mereka adalah saudara ipar, Irin adalah istri dari adik Darren."Aku pikir, kak Darren mau ajak makan nasi Padang di pinggir jalan, ternyata ada juga ya restoran khusus masakan Padang di kota ini,"Darren pun terkekeh,"Jelas ada lah, Rin. Kamu haus?""Dikit sih, capek juga ni habis main loncat-loncat sama kakak," jawab Irin dengan kekehan kecilnya."Ya udah ayo, kita cari minum." Darren menarik tangan Irin, dan Irin hanya mengikutinya."Dari dulu loh Irin mau punya kakak, eh malah jadi anak tunggal," keluh Irin dengan imut.Darren terkekeh,"Sekarang aku kakakmu, kan?""Iya kakak ipar,""Kamu mau minum apa?""Ir
"Heh, lo mau sampe kapan tidur di sini?"Seperti mendengar suara seseorang, Irin perlahan membuka matanya.Irin terpekik saat melihat Dante sedang berjongkok di hadapannya.Menatapnya tajam,"Gue pikir lo bunuh diri nyebur ke laut,"DegggIrin hanya menahan napasnya saat Dante mengatakan hal itu, dia pun bangkit dari duduknya.Ya, sejak sore Irin masih berada di bawah pohon kelapa, Irin tertidur di sana.Irin merasakan kedamaian yang menyejukkan ya sesaat.Dante merasa geram karena tanpa terimakasih, Irin justru meninggalkannya.Dante melihat Irin berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri, Irin terlihat rapuh."Kenapa kamu jadi kurus," gumam Dante lirih, namun terbesit pikiran yang membuatnya merasa benci dengan Irin.Dia kembali menata
"Bunda, ayah, Irin minta maaf. Irin minta maaf sama kalian, Irin sudah kecewakan kalian.""Irin sayang kalian, Irin harus pergi, Irin harus pergi dengan Alya. Makamkan Irin di samping makam Alya, maafkan Irin…"Dante terduduk saat mendengar racauan Irin saat tidur. Dante benar-benar tak mengerti, mengapa Irin meracau seperti itu?Dan lagi, siapa Alya?Apakah adik Irin?Seingat Dante, Irin tak memiliki saudara, ia hanya anak tunggal di keluarganya.Dante menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu terkejut saat ia baru menyadari jika di ranjang mereka sudah ada darah."Menjijikan, udah tau pms masih aja nggak pake pembalut,"Dante pun berdiri tepat di samping Irin tidur, ia pun dengan sengaja meraih air minum di atas nakas dan menyiramkan ke wajah Irin.Byurrr"Ahhh,
Irin berteriak sekencang-kencangnya, ia sudah berada di batu karang dekat pantai.Ia berdiri dan menangis terisak, sesak sekali rasanya."Kamu yang br*ngsek, kamu yang buat aku kecewa, bukan aku hiks...hiks…""Aku juga tidak tau, kenapa ayah mau aku dijodohkan sama kamu, aku juga tidak mau, tapi itu sudah keputusan dari ayah,""Sulit untukku membantah keinginannya, karena selama ini aku banyak meminta padanya, ya Tuhan… kenapa rasanya sakit sekali, hiks… hiks..""Kamu kejam, Dante…""Menangislah sepuasmu, Irin.."Irin pun menoleh saat mendengar seseorang menyebut namanya,Irin langsung menghambur peluk padanya dan langsung dibalas pelukan hangat."A-alex, hiks… kenapa hidup aku begini hiks, kenapa aku nggak mati aja?""Ssst, kamu nggak boleh
Tiga minggu kemudian, Dante sudah menjalani hari-hari seperti sebelumnya, ia harus pergi ke kantor untuk melakukan tugasnya.Irin pun berniat untuk pergi, namun sebelum itu, ia menghubungi Dante dan meminta izin padanya.Sebelum Dante membalas chat Irin, Irin sudah di jemput oleh Alex.Alex adalah orang kepercayaan ayah Irin, Alex pun adalah sahabat kecil Irin.Hanya saja, Alex adalah anak dari keluarga biasa saja."Aku nggak peduli kamu nggak balas, aku harus pergi." Gumam Irin sambil menatap ponselnya.Irin pun berjalan keluar, dan mendapati Alex sudah berdiri dan bersandar di mobilnya."Alex,""Hai, Nona manis… silahkan masuk," ucap Alex yang kini mulai membukakan pintu mobil untuk Irin."Terimakasih, pengawal…""Ck, pangeran gitu kek, masa dunia akting sama d
Dante mencium aroma masakan dari dapur, ia pun mengikuti aroma wangi bumbu, dan ia terdiam saat melihat ibunya dan istrinya sedang masak berdua.Penuh dengan canda tawa, Dante menatap mereka dengan tatapan senang."Andai aja lo nggak buat gue benci, gue bakal sayang banget sama lo," gumam Dante melihat Irin yang sedang tertawa."Dante?" Panggil ibunya membuat Dante tersadar."Ibu?""Sejak kapan kamu di situ?""Ah, baru… ibu kapan datang?""Sejak tengah hari ibu udah di sini,""Oh ya? Ibu sendirian di sini sejak siang?""Kan ada menantu ibu yang cantik ini, masa kamu lupa?" Irin tersipu mendengar pujian dari ibu mertuanya."Bukannya Irin pergi?""Aku pergi cuma sebentar aja kok," jawab Irin membuat Dante sedikit bingung."Ya udah
"Dante, aku nggak bisa tidur…" lirih Irin saat ia sudah di ranjang bersama Dante."Tinggal tidur aja, pejamin mata lo. Nggak usah ganggu gue, gue ngantuk.."Irin menahan tangisnya, ia benar-benar merasa sangat lelah.Ia sudah mencoba untuk tidur, namun tak bisa.Irin menatap jam di ponselnya, dan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.Irin pun memilih bangkit, ia berjalan keluar dari kamar Dante.Ia merasa gelisah, ia akan sulit tidur jika tak meminum obat tidurnya."A-alya.." lirih Irin, ia pun tersentak saat tangan besar menepuk bahunya.Irin mengatur napasnya agar stabil,"It's okay, Rin.. semua baik-baik aja, hm?" Ucapnya dan perlahan Irin pun merasa rileks."Kak Darren," Darren pun tersenyum."Kenapa belum tidur?""A-
Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur."Kamu kok ketawa sih?""Kamu kaya kucing baru bangun tidur,""Ish," Irin mencebikkan bibirnya."Turun, udah sampe nih,"Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin."Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin gira