Darren membawa Irin ke Timezone, mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang baru saja jatuh cinta.
Namun, siapa tahu jika mereka adalah saudara ipar, Irin adalah istri dari adik Darren.
"Aku pikir, kak Darren mau ajak makan nasi Padang di pinggir jalan, ternyata ada juga ya restoran khusus masakan Padang di kota ini,"
Darren pun terkekeh,
"Jelas ada lah, Rin. Kamu haus?"
"Dikit sih, capek juga ni habis main loncat-loncat sama kakak," jawab Irin dengan kekehan kecilnya.
"Ya udah ayo, kita cari minum." Darren menarik tangan Irin, dan Irin hanya mengikutinya.
"Dari dulu loh Irin mau punya kakak, eh malah jadi anak tunggal," keluh Irin dengan imut.
Darren terkekeh,
"Sekarang aku kakakmu, kan?"
"Iya kakak ipar,"
"Kamu mau minum apa?"
"Irin mau air mineral dingin aja, kak?"
"Okay,"
Saat mereka sedang duduk di kursi depan area bermain game, seorang wanita cantik memanggil nama Darren dan menghampiri mereka berdua.
"Darren?"
Darren dan Irin pun menoleh, Darren sedikit terkejut melihat siapa yang memanggilnya.
"Felice?"
Wanita yang bernama Felice itu menatap Irin dengan tatapan menyelidik, Irin jauh lebih cantik dibanding Felice.
"Dia siapa?" Tunjuk Felice pada Irin,
"Bukan urusan kamu, kamu ngapain di sini?"
"Ah, okay. Velove ngajak main game,"
"Mana Velove nya?"
"Itu, sama ayahnya," tunjuk Felice pada seorang laki-laki yang lumayan tampan sambil menggendong putri kecil, yang berumur sekitar 4 tahunan.
"Darren?"
"Hai," Darren membalas dengan jawaban singkat.
"Kebetulan ketemu disini, lo apa kabar?"
"Seperti yang lo liat,"
"Ini calon istri lo?"
"Ini bukan urusan kalian, gue permisi dulu," tanpa aba-aba Darren menarik kembali tangan Irin.
Irin hanya terdiam dan hanya mengikuti langkah kaki Darren.
Hingga sampailah mereka di basement mall,
"Kak Darren nggak papa?"
Darren tersadar, ia pun segera melepaskan pegangannya di tangan Irin,
"Astaga, Irin… maaf, maaf banget…"
"Untuk apa minta maaf, kak Darren kan nggak punya salah sama Irin?"
"Huh, ngajak kamu pergi tanpa aba-aba,"
"Irin," teriak seseorang tak jauh dari tempat mereka berada.
Darren dan Irin pun menoleh, kali ini Irin terkejut karena suaminyalah yang memanggilnya.
"D-dante?" Irin merasa takut saat melihat Dante menatapnya dengan tatapan penuh amarah.
Dante berjalan tergesa menghampiri mereka, dan Dante segera menarik kasar lengan Irin.
"Dante, jangan kasar!" Ucap Darren mengingatkan.
"Lo diam, dia istri gue. Lo nggak ada hak ikut campur urusan rumah tangga gue,"
"Sialan," umpat Darren setelah Dante menarik Irin dan membawanya pergi dari sana.
Di dalam mobil, Irin merasa takut namun ia mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Sekali wanita j*lang tetap aja j*lang,"
"Dante, aku bukan wanita seperti itu," lirih Irin dengan nada pilu.
"Tidak ada wanita baik yang ___ "
"Dante, please…" ucap Irin dengan nada bergetar.
Dante hanya mendecih dan tak melanjutkan ucapannya.
Wanita murahan, lagi-lagi gue nggak bisa berbuat jahat sama lo, sialan! Batin Dante mengumpat.
Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi telah sampai dan berhenti di jalan parkir rumah baru mereka.
"Keluar lo, beresin semua barang penting kita,"
"Diberesin untuk apa, Dante?"
"Lo lupa, nyokap bokap lo ngasih hadiah bulan madu ke Bali,"
"Ah, iya… gue lupa,"
Dante memutar bola mata jengah, jika mode lebay, Irin akan menggunakan kata aku dan kamu.
Jika sedang garang, dia akan kembali menggunakan kata lo dan gue.
"Ya udah, cepet beresin, gue nggak mau nunggu lama,"
Irin pun mengangguk, ia segera berjalan masuk ke dalam kamar.
Irin segera menyiapkan keperluannya dan juga Dante.
Hanya barang penting yang akan ia bawa, jujur saja, Irin sudah paham segala yang Dante butuhkan.
Bukan waktu singkat mereka menjalin hubungan, mereka menjalin hubungan menjadi sepasang kekasih selama dua tahun dan mengenal sejak masa sekolah.
Mereka dekat sudah lama, namun mereka terpisah karena suatu masalah.
Dengan gerakan secepat kilat, Irin telah siap.
Ia pun menarik satu koper miliknya begitu juga dengan Dante.
"Lama banget si lo,"
"Nggak sadar ya, lo yang buat gue lama,"
"Nggak pantes lo ngomong lo gue,"
"Bukan urusan lo," Irin berjalan mendahului Dante.
Dante hanya tersenyum sinis menatap punggung Irin.
"Lo bakal liat kejutan indah dari gue nanti,"
Di dalam mobil menuju bandara, mereka saling diam seperti orang yang tak saling mengenal.
Hanya memakan waktu kurang lebih dua jam, mereka telah sampai di kota Denpasar, Bali.
Mereka menaiki taksi menuju hotel.
Dan saat mereka sampai di hotel, mereka pun langsung di sambut hangat oleh pegawai hotel, mereka langsung diberi kunci kamar yang berkelas VVIP.
Saat mereka berjalan menuju kamar, seseorang memanggil nama Dante.
"Dante,"
Dante dan Irin menoleh,
"Veve," balas Dante,
Irin terdiam menatap wanita yang berada di hadapannya, dia tersenyum manis pada Dante dan hanya melirik sinis padanya.
Wanita bernama Veve itu mendekati Dante dan seperti menganggap tak ada Irin di sana.
"Aku kangen," peluk Veve manja pada Dante.
Irin memejamkan matanya sejenak saat melihat Dante dan Veve berciuman saling melumat, Irin berjalan masuk ke dalam kamar hotel yang di pesan oleh kedua orang tuanya untuk bulan madu dirinya dengan Dante.
Irin merebahkan tubuhnya di ranjang yang sudah tersiap rapi dan juga bernuansa romantis.
Irin terkekeh kecil, ia merasa seperti orang bodoh.
Irin tahu betul siapa wanita bernama Veve itu.
"Ternyata masih ya,"
Irin pun mulai mengganti pakaiannya dengan dress santai lengan panjang.
Ya, sudah tak pernah lagi Irin memakai dres ataupun pakaian dengan lengan pendek. Ia selalu memakai pakaian berlengan panjang.
Irin berjalan keluar, ia menatap kamar hotel di hadapan pintu kamarnya.
Sepertinya Dante masuk ke dalam kamar itu, dan benar saja…
Saat Irin menatap pintu kamar itu, Dante keluar dengan sambil mengecup ringan bibir wanita bernama Veve itu.
"Nanti malam aku tunggu ya, sayang.."
"Iya, sayang."
Mereka bermesraan tanpa peduli jika Irin ada di sana.
Veve masuk ke dalam kamar hotelnya dan sebelum itu ia menatap tajam pada Irin.
Berbeda dengan Irin, ia hanya menatap tanpa ekspresi.
"Gimana kejutan dari gue, lo suka nggak?"
"Makasih," hanya itu jawaban dari Irin. Ia berjalan keluar dari hotel.
Ia berjalan menuju pesisir pantai, hari sudah mulai mendekati petang.
Irin terduduk di bawah pohon kelapa, menatap ombak yang terlihat sangat indah bergelombang.
Irin menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya secara halus.
"Aku harus kuat, aku harus bisa."
Irin tersenyum lebar saat melihat matahari mulai terbenam, ia tak peduli jika Dante berlaku kejam padanya.
Toh, Irin juga sudah menyiapkan diri, ia pun akan meminta pisah jika Dante tak bisa berubah.
…
Tbc.
"Heh, lo mau sampe kapan tidur di sini?"Seperti mendengar suara seseorang, Irin perlahan membuka matanya.Irin terpekik saat melihat Dante sedang berjongkok di hadapannya.Menatapnya tajam,"Gue pikir lo bunuh diri nyebur ke laut,"DegggIrin hanya menahan napasnya saat Dante mengatakan hal itu, dia pun bangkit dari duduknya.Ya, sejak sore Irin masih berada di bawah pohon kelapa, Irin tertidur di sana.Irin merasakan kedamaian yang menyejukkan ya sesaat.Dante merasa geram karena tanpa terimakasih, Irin justru meninggalkannya.Dante melihat Irin berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri, Irin terlihat rapuh."Kenapa kamu jadi kurus," gumam Dante lirih, namun terbesit pikiran yang membuatnya merasa benci dengan Irin.Dia kembali menata
"Bunda, ayah, Irin minta maaf. Irin minta maaf sama kalian, Irin sudah kecewakan kalian.""Irin sayang kalian, Irin harus pergi, Irin harus pergi dengan Alya. Makamkan Irin di samping makam Alya, maafkan Irin…"Dante terduduk saat mendengar racauan Irin saat tidur. Dante benar-benar tak mengerti, mengapa Irin meracau seperti itu?Dan lagi, siapa Alya?Apakah adik Irin?Seingat Dante, Irin tak memiliki saudara, ia hanya anak tunggal di keluarganya.Dante menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu terkejut saat ia baru menyadari jika di ranjang mereka sudah ada darah."Menjijikan, udah tau pms masih aja nggak pake pembalut,"Dante pun berdiri tepat di samping Irin tidur, ia pun dengan sengaja meraih air minum di atas nakas dan menyiramkan ke wajah Irin.Byurrr"Ahhh,
Irin berteriak sekencang-kencangnya, ia sudah berada di batu karang dekat pantai.Ia berdiri dan menangis terisak, sesak sekali rasanya."Kamu yang br*ngsek, kamu yang buat aku kecewa, bukan aku hiks...hiks…""Aku juga tidak tau, kenapa ayah mau aku dijodohkan sama kamu, aku juga tidak mau, tapi itu sudah keputusan dari ayah,""Sulit untukku membantah keinginannya, karena selama ini aku banyak meminta padanya, ya Tuhan… kenapa rasanya sakit sekali, hiks… hiks..""Kamu kejam, Dante…""Menangislah sepuasmu, Irin.."Irin pun menoleh saat mendengar seseorang menyebut namanya,Irin langsung menghambur peluk padanya dan langsung dibalas pelukan hangat."A-alex, hiks… kenapa hidup aku begini hiks, kenapa aku nggak mati aja?""Ssst, kamu nggak boleh
Tiga minggu kemudian, Dante sudah menjalani hari-hari seperti sebelumnya, ia harus pergi ke kantor untuk melakukan tugasnya.Irin pun berniat untuk pergi, namun sebelum itu, ia menghubungi Dante dan meminta izin padanya.Sebelum Dante membalas chat Irin, Irin sudah di jemput oleh Alex.Alex adalah orang kepercayaan ayah Irin, Alex pun adalah sahabat kecil Irin.Hanya saja, Alex adalah anak dari keluarga biasa saja."Aku nggak peduli kamu nggak balas, aku harus pergi." Gumam Irin sambil menatap ponselnya.Irin pun berjalan keluar, dan mendapati Alex sudah berdiri dan bersandar di mobilnya."Alex,""Hai, Nona manis… silahkan masuk," ucap Alex yang kini mulai membukakan pintu mobil untuk Irin."Terimakasih, pengawal…""Ck, pangeran gitu kek, masa dunia akting sama d
Dante mencium aroma masakan dari dapur, ia pun mengikuti aroma wangi bumbu, dan ia terdiam saat melihat ibunya dan istrinya sedang masak berdua.Penuh dengan canda tawa, Dante menatap mereka dengan tatapan senang."Andai aja lo nggak buat gue benci, gue bakal sayang banget sama lo," gumam Dante melihat Irin yang sedang tertawa."Dante?" Panggil ibunya membuat Dante tersadar."Ibu?""Sejak kapan kamu di situ?""Ah, baru… ibu kapan datang?""Sejak tengah hari ibu udah di sini,""Oh ya? Ibu sendirian di sini sejak siang?""Kan ada menantu ibu yang cantik ini, masa kamu lupa?" Irin tersipu mendengar pujian dari ibu mertuanya."Bukannya Irin pergi?""Aku pergi cuma sebentar aja kok," jawab Irin membuat Dante sedikit bingung."Ya udah
"Dante, aku nggak bisa tidur…" lirih Irin saat ia sudah di ranjang bersama Dante."Tinggal tidur aja, pejamin mata lo. Nggak usah ganggu gue, gue ngantuk.."Irin menahan tangisnya, ia benar-benar merasa sangat lelah.Ia sudah mencoba untuk tidur, namun tak bisa.Irin menatap jam di ponselnya, dan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.Irin pun memilih bangkit, ia berjalan keluar dari kamar Dante.Ia merasa gelisah, ia akan sulit tidur jika tak meminum obat tidurnya."A-alya.." lirih Irin, ia pun tersentak saat tangan besar menepuk bahunya.Irin mengatur napasnya agar stabil,"It's okay, Rin.. semua baik-baik aja, hm?" Ucapnya dan perlahan Irin pun merasa rileks."Kak Darren," Darren pun tersenyum."Kenapa belum tidur?""A-
Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur."Kamu kok ketawa sih?""Kamu kaya kucing baru bangun tidur,""Ish," Irin mencebikkan bibirnya."Turun, udah sampe nih,"Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin."Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin gira
Dante mencium aroma masakan gosong dari dapur, ia mulai membuka matanya dan berjalan ke arah dapur."Irin?""D-dante,""Kenapa?""M-maaf, tadi aku niatnya mau bikin sarapan buat kamu, tapi aku lupa,""Lupa?""Lupa kalo aku nggak bisa masak," cicit Irin pelan yang membuat Dante terbahak."Udah, udah. Nanti makan di kantor aja,""Eh, terus aku gimana?""Kamu ya urus sendiri,""Eh?" Irin menatap Dante, memerjapkan matanya pelan.Dante pun terkekeh dan mencubit hidung Irin,"Aw, sakit…""Bercanda,""Ah, kirain kamu sengaja mau bikin aku mati kelaparan,""Ya, kalo bisa.""Huh?"Dante tersenyum miring,"Mendingan kamu siap-siap, ikut aku ke kantor.""Eh, beneran?"