Dante mencium aroma masakan dari dapur, ia pun mengikuti aroma wangi bumbu, dan ia terdiam saat melihat ibunya dan istrinya sedang masak berdua.
Penuh dengan canda tawa, Dante menatap mereka dengan tatapan senang.
"Andai aja lo nggak buat gue benci, gue bakal sayang banget sama lo," gumam Dante melihat Irin yang sedang tertawa.
"Dante?" Panggil ibunya membuat Dante tersadar.
"Ibu?"
"Sejak kapan kamu di situ?"
"Ah, baru… ibu kapan datang?"
"Sejak tengah hari ibu udah di sini,"
"Oh ya? Ibu sendirian di sini sejak siang?"
"Kan ada menantu ibu yang cantik ini, masa kamu lupa?" Irin tersipu mendengar pujian dari ibu mertuanya.
"Bukannya Irin pergi?"
"Aku pergi cuma sebentar aja kok," jawab Irin membuat Dante sedikit bingung.
"Ya udah, aku ke atas dulu. Mau mandi,"
"Iya,"
"Bu, Irin juga ke atas dulu ya, mau siapin baju Dante," pamit Irin dengan sopan.
"Ya, sayang."
Irin pun menyusul Dante naik ke lantai atas. Entah mengapa, Dante tak pernah meminta untuk pisah kamar dengan Irin.
Emy menatap punggung menantu cantiknya yang semakin menjauh.
"Maafkan ibu, ibu bukan ibu mertua yang baik," gumamnya lirih.
Dan sampailah Irin di kamar, ia mendengar suara percikan air.
Irin pun mengambil kaos polos berwarna putih dan juga celana pendek selutut berwarna cream untuk Dante.
Dante pun selalu memakai pakaian yang Irin siapkan, alasannya adalah ingin Irin seperti pembantunya.
Irin pun menuruti keinginan Dante, Irin selalu menyiapkan pakaian dan keperluan suaminya.
Setelah menyiapkan pakaian Dante, Irin pun keluar dan tak lama kemudian Dante pun keluar dari kamar mandi.
Dante menatap pakaian yang tertata rapi di atas ranjang.
Dante pun memakainya, ia terduduk di tepi ranjang.
Ia melihat barang yang sejak tadi ia ambil dari kamar mandi.
Barang yang sudah beberapa kali ini ia temui,
"Cutter?"
Dante memandang cutter di tangannya, terlihat ada sedikit darah kering di bagian ujung.
"Sebenernya buat apa cutter ini?"
Dante pun berinisiatif untuk keluar kamar dan menanyakan langsung pada Irin
"Nih, punya lo?" Tanya Dante langsung menunjukkan cutter pada Irin.
Tubuh Irin memegang, begitu pula dengan Emy yang sebenarnya mengetahui segalanya.
"I-irin?"
"Maaf, Bu.. bukan apa-apa, kok."
Dante hanya mengernyit bingung, mungkin karena ia tak peduli, ia pun duduk di samping sang ibu dan bermain game di ponselnya.
Emy menatap cemas pada menantunya, Irin pun tersadar.
"Ibu, Irin nggak apa-apa. Jangan khawatir,"
Emy pun mengangguk ragu, Irin berdiri dan berjalan ke kamar mandi.
"Dante, tolong… berbuat baik dan sayangi Irin seperti dulu,"
Dante meletakkan ponselnya, ia memandang wajah sang ibu yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak ayah, nggak Regio dan nggak ibu, ternyata sama aja. Kalian kenapa sih harus urusin kehidupan rumah tangga aku? Bukankah kalian ingin aku dan Irin menikah, lalu apa lagi?"
"Dante, ibu mohon… cintai Irin, dia menderita, nak"
Dante hanya memutar bola mata jengah,
"Tolong, Bu. Jangan bahas apapun, aku benar-benar lelah seharian." Emy pun terdiam atas permintaan Dante.
Memang jelas terlihat, jika Dante terlihat sangat kelelahan.
"Ya udah, sebaiknya kita makan malam. Semua udah siap,"
"Terserah ibu aja,"
"Biar Irin yang siapkan, Bu."
Irin pun dengan telaten menyiapkan menu makan malam untuk mereka bertiga.
"Makasih ya, nak.."
"Udah kewajiban Irin kan, Bu?"
Emy pun mengangguk dan tersenyum pada menantunya,
Dasar wanita yang pandai berakting. Batin Dante
"Dante, kamu mau makan apa?"
"Nasi putih sama sayur aja," Irin pun mengangguk, ia menyiapkan sepiring nasi beserta lauk untuk suaminya, lalu beralih pada ibu mertua.
"Kalau ibu mau apa?"
"Ibu ambil sendiri saja, sayang. Kamu makan yang banyak, biar berisi."
Irin pun mengangguk, tak sadar jika Dante menatapnya sejak tadi.
Iya, dulu dia tidak sekurus ini, batin Dante bergumam.
Lalu mereka bertiga pun makan dengan tenang.
"Kalian nggak ada niat buat jalan gitu, ini kan malam minggu?"
"Nggak, Bu.."
"Nanti, sekalian antar ibu pulang,"
"Eh?"
Emy tersenyum manis, ia berharap jika Dante akan berbuat baik pada Irin.
Berbuat layaknya seorang suami pada istrinya.
Tak lama kemudian, mereka telah selesai makan malam dan Dante pun sudah berada di dalam mobil bersama Irin yang duduk di sampingnya.
Mereka sedang menunggu Emy yang masih mengemas barang bawaan miliknya.
"Nah, ayo… kasian ayah sama Darren pasti kelaparan,"
Dante pun mengangguk, dan mulai melajukan mobilnya menuju rumah kedua orangtuanya.
"Kalian mau kemana setelah antar ibu?"
Irin menoleh pada Dante yang masih diam,
"Mungkin cari tempat yang bisa buat otak lebih rileks,"
"Ah, benar juga. Bawa Irin ke tempat yang bagus, biar dia seneng."
"Hm,"
Irin hanya diam tanpa menjawab, sejujurnya ia takut jika Dante akan membawanya ke tempat yang mengerikan.
Setelah tiga puluh menit mereka menempuh perjalanan, akhirnya mereka pun sampai.
Saat Dante akan memutar balik mobilnya, sang ayah pun meminta mereka untuk turun.
"Dante, mainlah dulu. Biar Irin tau dalam rumah ini,"
"Ah, benar ayah. Irin kan belum pernah nginep di sini," sambung ibu.
Dante menghela napasnya berat, ia pun lebih memilih untuk mengalah.
"Baiklah, aku turun."
Irin pun tersenyum, ia ikut turun dari dalam mobil.
Ini pertama kalinya ia datang kerumah orang tua Dante tanpa kedua orang tuanya.
Irin pun di sambut hangat, di dekat pintu sudah ada Darren yang sedang menatapnya dengan senyuman manis.
"Malam, Rin.."
"Malam juga, kak.."
"Udah, ayo masuk, jangan di pintu terus.." perintah ibu.
Dan mereka pun masuk,
"Bagaimana kalau kalian menginap saja?" Ucap sang ayah dengan di beri seringaian jahat Darren pada Dante.
Dante hanya menatap tajam pada sang kakak,
"Ya," jawaban Dante.
Irin pun menoleh pada Dante.
"Dante ___ "
"Nggak apa-apa, besok kan gue libur." Jawab Dante menatap Irin.
"O-oh, iya.." Irin gugup karena Dante menatapnya.
Darius dan Emy pun tersenyum lebar,
"Nah, sekarang ajak Irin ke kamar kamu. Ibu mau siapin makanan buat ayah sama kakak kamu,"
Dante pun menarik tangan Irin dan membawanya pergi ke kamar Dante.
Irin sedikit terkejut, karena Dante menariknya dengan lembut.
"Dante…" lirih Irin saat mereka sudah sampai di kamar Dante.
Dante hanya menatap Irin yang juga menatapnya.
"Besok, bolehlah kita ke rumah ayah sama bunda?" Tanya Irin dengan ragu.
"A-aku kangen sama mereka, bolehkan?"
"Hm,"
Irin pun tersenyum lebar saat mendengar jawaban Dante. Meskipun Dante hanya menjawab dengan gumaman, namun Irin tahu jika Dante meng-iyakan permintaannya.
"Makasih,"
Dante merasa kagum, ia baru menyadari jika, baru kali ini ia melihat Irin tertawa bahagia bersamanya.
Apa hanya sebatas itu kebahagiaannya? Dulu saat kita masih pacaran, kamu selalu bahagia. Tapi, sekarang kamu selalu aku buat menderita. Aku ingin kamu menderita selama hidup denganku. Batin Dante yang menatap Irin dengan tatapan tajam.
…
Tbc
"Dante, aku nggak bisa tidur…" lirih Irin saat ia sudah di ranjang bersama Dante."Tinggal tidur aja, pejamin mata lo. Nggak usah ganggu gue, gue ngantuk.."Irin menahan tangisnya, ia benar-benar merasa sangat lelah.Ia sudah mencoba untuk tidur, namun tak bisa.Irin menatap jam di ponselnya, dan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.Irin pun memilih bangkit, ia berjalan keluar dari kamar Dante.Ia merasa gelisah, ia akan sulit tidur jika tak meminum obat tidurnya."A-alya.." lirih Irin, ia pun tersentak saat tangan besar menepuk bahunya.Irin mengatur napasnya agar stabil,"It's okay, Rin.. semua baik-baik aja, hm?" Ucapnya dan perlahan Irin pun merasa rileks."Kak Darren," Darren pun tersenyum."Kenapa belum tidur?""A-
Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur."Kamu kok ketawa sih?""Kamu kaya kucing baru bangun tidur,""Ish," Irin mencebikkan bibirnya."Turun, udah sampe nih,"Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin."Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin gira
Dante mencium aroma masakan gosong dari dapur, ia mulai membuka matanya dan berjalan ke arah dapur."Irin?""D-dante,""Kenapa?""M-maaf, tadi aku niatnya mau bikin sarapan buat kamu, tapi aku lupa,""Lupa?""Lupa kalo aku nggak bisa masak," cicit Irin pelan yang membuat Dante terbahak."Udah, udah. Nanti makan di kantor aja,""Eh, terus aku gimana?""Kamu ya urus sendiri,""Eh?" Irin menatap Dante, memerjapkan matanya pelan.Dante pun terkekeh dan mencubit hidung Irin,"Aw, sakit…""Bercanda,""Ah, kirain kamu sengaja mau bikin aku mati kelaparan,""Ya, kalo bisa.""Huh?"Dante tersenyum miring,"Mendingan kamu siap-siap, ikut aku ke kantor.""Eh, beneran?"
Dante membawa Irin ke sebuah mall."Dante, kenapa kita kesini?""Ya, kamu harus ikut aku nanti malam,""Eh, kemana?""Aku mendapatkan undangan pernikahan dari kolega ku,""Ho, baiklah.""Kamu cari dress sesuai keinginan mu dan setelah itu kita ke salon,""Kenapa ke salon?""Kamu nggak ada make up, selama ini aku cuma liat parfum, dan polesan bibir aja,"Irin tersenyum tipis,"Aku nggak suka make up sekarang,""Kenapa? Ada apa?""Udah deh, nggak usah banyak tanya. Ayo, cepat cari dress buat aku.""Kamu cari yang gimana?""Hm, lengan panjang dan terusan panjang.""Ini?"Irin menoleh dan menatap Dante yang sudah menegang dress terusan panjang berwarna peach, yang di hiasi oleh berlian-berlian kecil dibagika
malam ini, dante tidur dengan gelisah.rasa penasaran terus saja menghantuinyadilihatnya irin yang sudah terlelap tenang. dante mengusap lembut kepala iridante menarik lengannya yang di jadikan bantalan oleh irin, lalu berjalan keluar dan menuju kamar khusus untuk minuman alkohol koleksinydante pun mengambil satu botol minuman yang beralkohol sedangia menenggak langsung hingga tandas setengah boto"sialan, gara-gara dia gue jadi nggak bisa tidur"gue benci berpura-pura, gue benci sama lo, ini demi nyokap gue, demi nyokap gue, arghdante mengusap wajahnya kasadante terpekik saat mendengar suara irin berteriak"hei, berhenti… tolong dengarkan aku, hei"aku mohon, hiks… berhenti, dengarkan penjelasan dariku, hiks… hiks."rexa, kejar dia, alex kejar dia hiks… hiks."berhenti, berhenti,
Sesuai rencana, Irin pun mengenakan long dress berlengan panjang. Sebenarnya Dante memiliki rasa penasaran tinggi, mengapa Irin memakai dress yang selalu tertutup saat ini.Dante pun teringat bekas luka di bahu dan punggung Irin.Kini, mereka telah sampai di rumah kedua orang tua Irin.Mereka berencana untuk pergi bersama."Ayah, bunda udah siap?""Udah dong, sayang… eh, kok kamu pakai dress ini lagi?""Maaf, Bun, Irin nggak mau aku ajak pergi buat cari dress lagi,"Irin pun terkekeh,"Maaf ya, dress ini bagus. Aku suka,"Dan, mereka pun mengerti dengan keinginan Irin.Dante pun membukakan pintu mobil untuk Irin. Ayah dan ibu mertuanya menggunakan mobil lain, yang dikemudikan oleh supir."Dante, kamu nggak capek ya nyetir sendiri?"&nbs
Dante pun sampai di kantornya dan langsung mendapati beberapa berkas menumpuk di mejanya.Berkas dari sang kakak yang ingin menjalin kerjasama dengannya.Dengan seenaknya, sang kakak malah ingin Dante menandatangani surat kerjasama di enam cabang cafe miliknya.Dante pikir, Darren hanya memintanya untuk di satu tempat, nyatanya justru enamlah yang ingin di jalin kerjasamanya."Ini sih pemerasan namanya. Sialan banget," gerutu Dante yang melihat berkas di hadapannya.Lalu
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dan sangat memakan waktu, akhirnya Dante sampai di Amerika, dan bayangan Irin terus menghantui pikirannya.Dante pun tengah bersiap untuk melakukan tugasnya. Ia tak sempat menghubungi istrinya saat ini.Jadi, ia langsung berangkat ke kantor cabang.Namun, saat di kantor cabang, ia langsung mendatangi Rere divisi keuangan yang ada disana.Rere, adalah gadis yang dipilih langsung oleh ayah Dante untuk menjadi karyawan lemparan dari Indonesia ke kantor cabang di Amerika, itu karena cara kerjanya yang memuaskan."Wah, ada mantan," goda Rere dengan gaya sensual.Dante hanya meliriknya sinis."Gue kesini nggak ada urusan sama lo, tapi gue kesini karena ada kepentingan yang harus gue urus,""Ah, itu masalah kecil. Aku udah urus kok," ucap Rere yang kini mengusap dada bidang Dante.