Share

Bab 12

"Dante, aku nggak bisa tidur…" lirih Irin saat ia sudah di ranjang bersama Dante.

"Tinggal tidur aja, pejamin mata lo. Nggak usah ganggu gue, gue ngantuk.."

Irin menahan tangisnya, ia benar-benar merasa sangat lelah.

Ia sudah mencoba untuk tidur, namun tak bisa.

Irin menatap jam di ponselnya, dan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.

Irin pun memilih bangkit, ia berjalan keluar dari kamar Dante.

Ia merasa gelisah, ia akan sulit tidur jika tak meminum obat tidurnya.

"A-alya.." lirih Irin, ia pun tersentak saat tangan besar menepuk bahunya.

Irin mengatur napasnya agar stabil,

"It's okay, Rin.. semua baik-baik aja, hm?" Ucapnya dan perlahan Irin pun merasa rileks.

"Kak Darren," Darren pun tersenyum.

"Kenapa belum tidur?"

"A-aku nggak bisa tidur,"

Darren pun mengangguk,

"Duduk di balkon mau?"

"Mau," jawab Irin dengan semangat.

"Ya udah, ayo…"

Darren pun menarik tangan Irin, Darren tahu jika Irin tidak diperlakukan baik oleh Dante.

Kini mereka sudah duduk di kursi di area balkon.

Irin menatap langit yang saat ini cerah penuh bintang.

Irin tersenyum tipis,

"Kalo emang nggak bahagia, kamu minta berhenti aja, Rin."

Irin pun menunduk,

"Aku nggak bahagia dengan sikap Dante, tapi aku bahagia bisa hidup dengan Dante, meskipun hidup dalam rasa kekecewaan yang amat dalam,"

Darren menatap iba pada adik iparnya, Darren pun mengangkat tangannya. Memberanikan diri untuk menghapus air mata Irin.

"Jangan sungkan sama kakak kalau kamu butuh, anggaplah aku kakak kandungmu. Aku begini karena aku tak ingin Dante menyakitimu lebih jauh lagi,"

"Terimakasih, Kak. Aku akan menghubungi kakak kalau memang mendesak,"

Darren tersenyum tipis, Irin adalah gadis yang manis.

Ah, sayangnya Irin adalah istri adiknya.

Jika saja dia belum menikah, aku yang akan memperjuangkannya. Batin Darren berbicara.

"Kak, aku ke kamar ya? Ini udah hampir pagi,"

"Benarkah? Rasaku baru beberapa menit kita di sini," Irin pun terkekeh

"Ini udah jam setengah tiga loh, kak."

"Hah? Ya udah, kamu ke kamar aja. Kamu coba tidur, jangan biasakan begini terus."

Irin pun mengangguk,

"Selamat beristirahat, kak."

"Iya, kamu juga…" Irin pun berjalan menuju kamar milik suaminya, Irin bisa melihat jelas jika Dante masih terlelap.

"Dante," panggil Irin mengguncang tubuh Dante.

Dante pun menggeram, membuat Irin takut.

"Lo berani banget ganggu gue tidur,"

"A-aku mau tidur, tapi kamu pakai semua kasurnya..", lirih Irin dengan wajah menunduk.

"Ck," Dante berdecak kesal, namun ia menggeserkan tubuhnya.

"Makasih,"

Irin pun mencoba untuk memejamkan matanya, namun ia tak bisa.

Ia terus menggulingkan tubuhnya kesana dan kemari. Ia tak bisa tidur, dan tepat saat ia membalikkan tubuhnya. Ia terpekik saat pandangannya bertemu dengan Dante yang memang merasa terganggu dengan pergerakan Irin.

"Nggak bisa diam lo?"

"M-maaf, a-aku nggak bermaksud…"

"Tidur," entah kerasukan setan dari mana, Dante memeluk tubuh Irin.

Tubuh Irin menegang, antara rasa takut dan haru.

Irin membalas pelukan Dante, ia benar-benar merindukannya, merindukan pelukan hangat ini.

Irin masih menyimpan rasa cintanya pada Dante, meskipun Dante telah membuatnya hancur, tapi ia tak bisa membencinya. Hanya rasa kecewa dan sedih.

Tanpa terasa, air mata Irin mengalir.

Dia menangis dalam pelukan Dante.

Ingin rasanya Irin meluapkan segala rasa kekecewaannya, namun ini bukanlah waktu yang tepat.

Dante masih marah dan benci padanya, Irin mengeratkan pelukannya pada tubuh Dante.

Dante membuka matanya, ia tahu jika Irin menangis, namun tak ada niat untuk bertanya padanya.

Yang Dante tahu, mungkin Irin menyesali perbuatannya.

Irin pun mulai tertidur di pelukan Dante, Dante menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Irin.

Ia menatap tajam pada wajah Irin, rasa benci dan kecewa menjadi satu. Tak ada rasa iba, ia ingin membuat Irin gila.

"Lo udah buat gue kecewa, lo dengan beraninya hancurkan rasa percaya gue sama lo,"

Dante pun menarik tangan yang memeluk tubuh Irin.

Ia berjalan menuju ruang yang biasanya dulu ia pakai untuk bekerja.

Disana, ia menarik sebuah laci, dan mengambil bingkai foto yang berisi pose dirinya dengan Irin.

Disana Irin dan dirinya tersenyum lebar sembari bergaya saling menghadap dan memeluk mesra.

Dante dan Irin sama-sama baru menjalin hubungan saat itu, Irin yang memang terkenal sangat baik dan sopan, ia pun berkenalan dengan kakak tingkatnya, yaitu Dante.

Dari awal perkenalan, semakin dekat dan berakhir menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

Mereka di juluki sebagai favorit couple, dimana Dante yang selalu memanjakan Irin, Irin pun sebaliknya, ia selalu berlaku manja pada Dante.

Hingga suatu hari, sebuah insiden terjadi….

Dante tersentak saat sang ibu datang dan menyapanya,

"Pagi,"

"Pagi, Bu.."

"Ibu bawakan teh buat kamu,"

Dante pun mengangguk,

"Terimakasih, Bu."

"Hm, Irin mana?"

"Masih tidur, Bu. Aku nggak tau, kenapa dia kesulitan tidur. Padahal dulu, ___ "

"Dulu apa?"

"Ah, sudahlah… nggak perlu di bahas, Bu."

Dante terkejut saat melihat sang ibu menatapnya dengan mata berkaca-kaca,

"Ibu mohon, Dante. Sayangi Irin, cintai Irin. Ibu mohon," ucap Emy memohon pada Dante.

Dante hanya terdiam,

"Turuti permintaan ibu kali ini, Irin menderita selama ini. Ibu mohon, biarkan dia bahagia. Berikan kebahagiaan padanya, karena Irin mencintai kamu."

Dante terpekik saat melihat sang ibu menekuk kedua lututnya di hadapan Dante.

"Astaga, ibu… apa yang ibu lakukan?" Dante pun ikut menekuk kedua lututnya menghadap sang ibu.

"Ibu nggak akan bangun sebelum kamu mengiyakan," ucap Emy yang kini air matanya mulai berjatuhan.

"Tapi, kenapa? Kenapa harus, Bu? Aku benar-benar belum bisa nerima dia, aku benar-benar kecewa sama dia,"

"Dan sebelum itu, kamu jelaskan… kenapa kamu kecewa sama Irin, kenapa kamu keberatan? Irin itu baik, sopan dan cantik. Kenapa kamu nggak bisa, Dante?"

Dante terdiam, ia bingung harus menjelaskan dari mana.

"Maaf, Bu. Aku belum bisa memberi tahu jelasnya,"

"Baiklah, untuk kali ini, ibu mohon…. Turuti permintaan ibu, atau ibu ___ "

Dante mengusap wajahnya kasar, ia pun mulai menyerah.

"Oke, oke… aku nyerah, aku akan mencobanya."

Emy pun menghambur peluk pada putranya,

"Terimakasih, terimakasih. Ibu pegang perkataanmu, Dante."

"Iya, Bu."

Dante, Darren dan sang ayah kini sedang berada di ruang gym. Seperti akhir pekan biasanya, ini adalah kegiatan rutin mereka jika sudah berkumpul.

Bedanya, Dante dan Darren saat ini masih perang dingin.

Dante yang masih kesal karena ia ditugaskan memegang perusahaan pusat keluarganya karena ia belum siap, beruntung karena ia memiliki ahli dalam urusan bisnis.

Perusahaan yang seharusnya dipegang oleh sang kakak.

Darren pun menolak karena ia ingin memulai bisnis barunya yang ia kelola murni oleh uang hasil kerja kerasnya,

Darren mulai membuat coffee cafe, cookies cafe dan makanan berat lainnya. Cafe yang saat ini dimiliki Darren sudah memiliki banyak cabang, dan membuatnya menjadi pengusaha sukses dalam bidang kuliner dan minuman.

"Kenapa kau telat bangun, Darren?"

"Iya, ayah. Semalam aku tidak bisa tidur, dan yah… aku pun sedikit berbincang dengan Irin."

Dante segera menoleh saat nama sang istri di sebut oleh Darren.

"Irin? Apa dia terbangun?"

"Tidak bisa tidur, lebih tepatnya."

Wajah Darius tampak gugup, ia benar-benar takut jika menantunya sakit.

"Apa istrimu sakit?" tanya Darius yang kini memandang wajah Dante.

"Nggak, tuh. Dia masih tidur,"

"Ah, syukurlah. Takut menantu ayah sakit,"

"Mending lo bangunin, suruh sarapan."

"Lo nggak perlu repot-repot kasih perhatian buat Irin,"

Darren pun terkekeh kecil,

"Nggak apa-apa dong, kan lo nggak mau perhatiin dia?"

Dante mengepalkan kedua tangannya, bersiap untuk meninju wajah sang kakak.

"Sudah, sudah. Kalian tidak usah berantem. Ucapan kakakmu benar, Dante.. sebaiknya kamu bangunkan Irin, dia pasti lapar,"

Dante pun membuang napasnya kasar, ia mengangguk.

Kemudian berjalan keluar dari dalam ruang gym.

"Jangan terus menggoda adikmu, Darren."

Darren pun tertawa kecil,

"Tidak masalah ayah, aku ingin mencoba merebut Irin dan ingin tahu bagaimana dengan responnya,"

Darius menggelengkan kepalanya. Ia percaya jika Darren hanya menguji kesabaran Dante.

***

"Dante," panggil Emy yang menghentikan langkah kaki Dante.

"Ya, Bu?"

"Kamu bangunkan Irin gih, dia belum sarapan."

"Iya, ini mau aku bangunkan."

"Dante, ingat pesan ibu."

Dante pun mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamarnya.

Dante melihat Irin yang masih terlelap, ia pun berjalan mendekat.

Menatap wajah Irin dengan tatapan benci,

"Gue lakuin ini demi nyokap gue," gumam Dante lirih

Dante pun merubah tatapannya menjadi tatapan lembut, ia mengusap lembut kening Irin.

"Irin,"

Dante pun berniat menjahili Irin, dengan memencet hidung Irin. Hal yang biasa ia lakukan dulu, Dante memencet hidung Irin hingga Irin kehabisan napas.

"Arghh, D-dante…" pekik Irin yang kini benar-benar kehabisan napas.

Dante hanya terbahak, Irin merasa aneh. Ia terdiam melihat Dante terbahak.

Irin mencubit pipinya sendiri, dan..

"Awh," Irin merasakan sakit di pipinya,

Jadi ini bukan mimpi? Gumamnya dalam hati.

"Mandi gih, kamu di tunggu ibu buat sarapan. Habis itu kita siap-siap, kerumah bunda."

Irin memerjapkan matanya dua kali, ia benar-benar merasa bingung dengan perubahan sikap Dante sejak semalam.

"Rin," panggil Dante menyadarkan Irin.

"Ah, i-iya… aku mandi dulu,"

Dante pun mengangguk.

Ia pun menatap punggung Irin yang hilang di balik pintu kamar mandi.

***

Irin pun keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuhnya.

Irin melihat Dante yang masih duduk di tepi ranjang dan bermain game di ponselnya.

"Dante,"

"Ya?"

"Aku nggak bawa baju ganti," lirih Irin.

"Udah gue siapin, pake baju gue aja."

Irin pun mengangguk, ia berjalan mengambil baju yang telah Dante siapkan untuknya.

Irin meringis pelan saat handuk ia kenakan mengenai lukanya.

"Tangan lo kenapa?"

"I-ini, nggak apa-apa kok,"

Irin pun menatap ragu pada baju yang Dante berikan,

"Dante… a-aku nggak mau pakai baju yang lengan pendek, dan kalau bisa yang panjang ke bawah,"

Dante mengernyit heran,

"Bukannya lo suka baju yang minim ya?"

Irin tertegun, Dante masih mengingatnya.

"Dante,  ada nggak bajunya?"

Dante pun tersadar, ia pun berdiri.

"Biar gue pinjam baju ibu,"

"I-iya, maaf merepotkan."

Dante pun mengangguk.

Dante berjalan menghampiri sang ibu,

"Bu, Irin nggak bawa baju ganti, boleh pinjam baju ibu?"

"Ah, tentu. Sebentar ibu ambilkan,"

"Kalau bisa yang lengan panjang dan di bawah lutut,"

"Iya, ibu tau.." Emy pun segera masuk kedalam kamarnya dan mencarikan dress untuk menantu cantiknya.

Tak lama kemudian, Emy pun keluar. Dia membawa paper bag yang Dante yakini isinya adalah dress koleksi sang ibu.

"Ini, berikan untuk Irin. Ibu kasih menantu ibu yang cantik,"

"Makasih, Bu. Aku antar ini dulu buat Irin ya,"

Emy pun mengangguk, dia tersenyum melihat sang putra benar-benar menuruti perintahnya.

"Ibu, kenapa senyum-senyum sendiri di sini?" tanya Darren yang melihat ibunya sedang tersenyum.

"Ibu lagi bahagia, ibu berhasil membuat adek kamu mau berbuat baik sama Irin,"

"Oh ya? Ibu yakin?"

"Iya, buktinya dia mau di suruh Irin buat minjamin baju ke ibu,"

Darren pun mengangguk

"Syukurlah, semoga berhasil, Bu."

Dante pun kembali ke kamarnya dimana Irin menunggunya,

"Nih, dari ibu. Buat kamu katanya,"

"Eh?"

"Udah pake aja, nanti keburu kesiangan."

"Ya udah, iya.."

Irin pun segera memakai pakaian dari ibu mertuanya, dia pun mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

Setelah itu, ia menyisir rambutnya agar lebih rapi.

"Gue nggak punya vitamin rambut, nggak usah pake nggak apa-apa, kan?"

Irin menoleh pada Dante dan ia merasa aneh, hari ini Dante benar-benar berubah.

Ia menjadi seperti Dante yang dulu sempat menjadi kekasihnya.

"Nggak apa-apa kok, aku udah nggak pernah pakai vitamin rambut,"

Dante lagi-lagi mengernyit heran,

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa," Irin tersenyum tipis.

Tepat, saat itu Dante datang mendekatinya.

Dante pun berniat meraih ujung dress yang Irin kenakan, Irin yang sudah panik segera menepis tangan Dante.

"J-jangan,"

Dante terpekik saat tangannya di tepis oleh Irin.

"Ada apa?"

Irin segera menggelengkan kepalanya cepat,

"Gue mau buangin bandrolnya,"

Irin pun menunduk melihat apakah benar yang di katakan Dante, dan ternyata benar. Masih ada bandrol harga yang menggantung di ujung dress yang ia kenakan.

"M-maaf, a-aku bisa sendiri,"

"Oke,"

***

Irin pun mulai memakan sarapan paginya dengan di temani oleh Dante.

"Makan yang banyak, kamu kurusan…"

"Uhuk," Irin tersedak, ia benar-benar merasa aneh, karena Dante terus memperhatikannya.

"Minum, pelan-pelan makannya."

Mata Irin berkaca-kaca, ia benar-benar merasa sangat senang, di perlakukan seperti dulu oleh Dante.

"Nggak usah mewek, makan yang bener. Keburu siang nih, lumayan jauh jaraknya dari sini ke rumah bunda," Irin pun mengangguk semangat, ia menghabiskan sarapan paginya.

Setelah Irin selesai sarapan, ia dan Dante pun berpamitan pada keluarga Dante.

Dan, mereka pun segera melaju ke arah tujuan.

"Dante,"

"Ya?"

"Kamu kenapa hari ini?"

"Emangnya gue kenapa?"

"I-itu, kamu kenapa baik?" Lirih Irin yang masih bisa di dengar oleh Dante.

"Ah, ya, karena gue baik," jawab Dante yang bingung mencari jawaban.

"Hm,"

"Kalo ngantuk tidur aja, nanti aku bangunin kamu,"

"Eh, beneran?"

"Iya, bener kok."

"Ya udah, a-aku tidur."

Dante pun mengangguk, dan Irin yang mulai memejamkan matanya.

Dante tahu, jika Irin semalam tak bisa tidur.

Dante sering melihat, Irin kesulitan untuk tidur.

"Entahlah, gue nggak tau. Apa yang terjadi sama lo," gumam Dante lirih, sembari melirik pada Irin yang sudah terlelap.

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status