Share

Bab 13

Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.

Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.

Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.

Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.

Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.

Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur.

"Kamu kok ketawa sih?"

"Kamu kaya kucing baru bangun tidur,"

"Ish," Irin mencebikkan bibirnya.

"Turun, udah sampe nih,"

Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin.

"Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin girang.

Dante pun tersenyum, senyuman tulus.

Ia pun mengikuti langkah kaki Irin.

Mereka di sambut hangat oleh Rosmi -- bunda Irin.

"Bunda," pekik Irin yang berlari dan menghambur peluk pada sang bunda.

"Ah, anak bunda… kangen banget bunda sama kamu,"

"Irin juga, kangen banget sama bunda, sama ayah,"

"Hm, kamu bahagia banget, ada apa nih?"

"Ih, kan ketemu bunda," elak Irin mencari alasan.

Rosmi menatap Dante dan tersenyum,

"Dante,"

Dante pun membungkuk dan memeluk ibu mertuanya.

"Bunda, apa kabar?"

"Baik, kalian baik-baik aja kan?"

"Baik kok, Bun." Sambung Irin sebelum Dante menjawabnya.

"Ah, syukurlah. Ayo cepat masuk,"

Mereka pun masuk dengan berjalan beriringan.

"Ayah mana, Bun?"

"Ayah di ruang kerja, coba kamu temui. Kemarin ayah nggak bisa tidur mikirin kamu," Rosmi mengusap lembut kepala putrinya.

"Irin juga nggak bisa tidur tuh, Bun. Nggak tau kenapa, gulang guling aja terus,"

"Eh?"

"Bener itu, Irin?" tanya Rosmi bingung menatap wajah Irin.

"Nggak usah di pikirin ya, Bun. Irin. Ke ruang kerja ayah dulu," Irin memgecup pipi sang bunda lalu menarik lengan Dante untuk mengikuti langkah kakinya.

Dante hanya melihat sekeliling dengan raut kagum, benar-benar menakjubkan isi dalam rumah Irin.

Irin mengetuk pintu ruang kerja sang ayah.

Tok

Tok

Tok

"Masuk," ucap Arman dari dalam sana.

Irin pun membuka pintu ruang kerja sang ayah, dan berlari girang.

"Ayah,"

"Heght…" tubuh sang ayah tertekan beban berat saat Irin melompat di pangkuan sang ayah.

Dante sedikit terkejut, karena Irin yang ia lihat sekarang persis seperti Irin yang dulu masih menjalin hubungan dengannya sebagai kekasih.

"Astaga, anak ayah…" Arman mengusap punggung putrinya.

"Irin kangen,"

"Ayah pun sama,"

"Ini hari minggu, kenapa ayah masih sibuk kerja?"

"Terus ngapain kalau nggak kerja?"

"Ya… ngerjain bunda misalnya,"

Dante menahan tawanya, jawaban Irin benar-benar membuatnya ingin menyemburkan tawa.

Arman terkekeh mendengar jawaban Irin.

"Kamu ini ada-ada aja, --- Dante?" sapa Arman yang baru melihat disana ada Dante.

Dante pun mengangguk dan tersenyum,

"Ayah,"

"Duduk,"

Dante pun mengangguk dan duduk di kursi yang telah ada disana.

"Turun dong, malu sama Dante."

Irin mencebikkan bibirnya, namun ia tetap turun dari pangkuan sang ayah.

"Ayah, ___ "

"Sebentar, ayah mau tanya sama kamu."

"Huh, apa?"

"Kemarin kamu udah ketemu sama Rexa?"

"Udah kok, Rexa bawa Irin ke mall,"

"Bulan depan juga jangan lupa,"

"Ayah," tegur Irin menatap sang ayah, ia takut jika Dante mengetahuinya.

Arman pun menghela napas kasar,

"Okay, ayah diam."

Irin pun tersenyum lebar,

"Dante, kita ke kamar yuk, aku mau kasih liat kamar aku yang sekarang,"

Dante pun mengangguk,

"Ayah, kita ke kamar dulu ya?"

"Iya, ajak Dante berkeliling di rumah kita, sayang."

"Siap, ayah.."

Dante pun mengikuti langkah kaki Irin, entah hanya perasaan-nya saja atau lain, jika Arman menatapnya dengan tatapan tak suka.

"Irin," panggil Dante membuat Irin menggumam.

"Hm?"

"Ayah lo nggak suka sama gue?"

"Oh ya, sok tau kamu,"

"Hm…" Dante membuang pikiran negatifnya.

Hingga sampailah mereka di kamar Irin, Dante benar-benar merasa aneh.

Kamar Irin benar-benar tertutup rapat.

Tak ada jendela yang terbuka, hanya kaca besar dan Dante tahu, jika kaca itu kaca yang tidak mudah untuk di pecahkan.

Bahkan lemari pakaian yang terlihat biasa saja, tanpa adanya cermin.

Kamar yang hanya di penuhi dinding kokoh, ranjang yang berukuran sedang terlihat biasa saja.

"I-ini kamar kamu?" Tanya Dante yang mulai mengubah cara bicaranya.

Irin pun mengangguk pelan,

"Serius?"

"Iya, ini kamar aku. Apa ada yang salah?"

Dante menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tak menyangka jika Irin telah berubah.

"Apa ayahmu udah nggak mau kasih kamu kemewahan,"

Irin pun terkekeh,

"Bukan, tapi karena aku bandel, jadi ya...begini,"

"Maksudnya?" Dante semakin tak mengerti.

"Udah deh, jangan bawel. Sini duduk,"

Dante pun duduk di sebelah Irin.

"Suatu saat kamu pasti tau segalanya tentang aku, aku yang sekarang nggak seperti aku yang dulu. Dan semoga kamu akan mengerti dengan keadaan aku yang begini,"

"Apa sih maksud kamu?"

Irin menggelengkan kepalanya, ia tak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Dante.

Irin takut jika Dante akan jauh semakin membencinya.

"Dante, maafin aku," Irin pun mulai menangis di hadapan Dante, tangisan tulus kehilangan.

Dante pun ikut merasakan sesak, tangisan Irin terdengar sangat pilu.

"Udah jangan nangis, nggak usah cengeng."

"Aku cengeng dari dulu kan, tapi keadaan menyuruh aku untuk kuat,"

Irin memeluk tubuh Dante.

"Biarin aku meluk kamu kaya gini, aku kangen kamu." Ucap Irin yang kini berada di pelukan Dante.

Tangan Dante terulur untuk mengusap punggung Irin.

Tatapan Dante menajam, ia benar-benar muak dengan sikap berpura-pura Irin saat ini.

Tangan Dante mengepal erat saat mengingat yang sudah lalu.

"Aku ke kamar kecil dulu,"

"Oke, aku tunggu di bawah ya."

Dante pun mengangguk, Irin keluar dari kamar dan Dante merasa shock saat melihat kamar mandi milik Irin.

Hanya ada satu ember kecil untuk menampung air dan toilet jongkok.

"Ini beneran kamar Irin?"

"Apa dia tertekan?"

Dante pun segera membuang air kecil, ia keluar dari kamar Irin.

Dante mendapati Irin yang sedang tertawa cekikikan bersama seorang laki-laki seumuran dengannya.

"Alex, kamu harus cepet nikah, biar nggak di siram air lagi sama ayah pas tidur,"

"Ya aku harusnya nikah sama kamu, malah kamunya nikah duluan,"

Irin pun masih tertawa, dan ia tersadar saat Dante ternyata sudah berdiri tak jauh dari mereka.

"Dante, sini…"

Dante pun mendekat saat Irin memanggilnya.

"Alex, kenalan dulu. Ini Dante, dan Dante ini Alex. Orang kepercayaan ayah,"

"Dante,"

"Alex,"

Dante dan Alex pun berjabat tangan, tangan mereka saling menggenggam erat dan saling menatap tajam.

"Ih, udah dong. Kok kalian jadi mesra sih,"

Irin pun tertawa saat melihat mereka seakan tersadar, mereka saling melepaskan jabatan tangan dan memutus tatapan mereka.

"Alex, aku mau keliling rumah dulu ya,"

"Iya, hati-hati ya?"

"Iya, bawel."

Irin pun kembali menarik lengan Dante yang sedari tadi terus mengikuti langkah kakinya.

Mata Dante terfokus pada sebuah batu nisan yang terlihat sangat terawat dengan di tumbuhi bunga-bunga di sekelilingnya.

"Rin, itu makan siapa?"

Irin tersentak, ia pun nampak gugup.

"I-itu, makam ___ "

"Irin, Dante…"

Irin menghela napas lega saat sang bunda memanggil mereka.

"Kalian makan siang dulu gih, bunda udah masak kesukaan Irin,"

"Iya, Bun. Ayo, kasian bunda udah capek masak,"

Dante pun menuruti keinginan Irin.

Dan akhirnya, Dante pun melupakan tentang makam tadi.

Mereka pun melanjutkan makan siang, dan tak lama setelah itu mereka berpamitan untuk pulang.

Karena tak mungkin jika mereka menginap, rumah kedua orang tua Irin jauh dari kantor Dante.

"Irin, mau beli apa buat makan malam nanti?"

"Eum, terserah. Aku ngikut kamu aja,"

Dante pun mengangguk,

"Delive aja kalo gitu,"

***

Sesampainya di rumah, Irin pun berlari kecil karena sudah tak tahan sejak tadi menahan diri untuk membuang air kecil.

"Huh, leganya…" ucap Irin yang kini baru saja keluar dari kamar mandi.

Ia terkejut saat melihat Dante tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.

"Dante?"

"Ah, ya?" Dante pun tersadar saat Irin memanggilnya.

"Kamu mau kopi atau teh?"

"Teh aja, ya teh…"

"Okay, tunggu sebentar."

Dante tersenyum remeh, ia yakin jika Irin tak bisa melakukan semua itu.

Dan, ia terkejut saat melihat ternyata Irin bisa melakukan hal itu.

"Ini, tapi masih panas…"

"Makasih,"

"Oh ya, Dante… kamu tau, sudah sangat lama aku nggak dibolehin datang ke dapur di rumah bunda, aku di kurung."

Dante terkejut mendengar pengakuan Irin,

"Apa bunda dan ayah jahat sama kamu?"

Irin pun terkekeh,

"Nggak sama sekali, justru mereka selalu memperjuangkan aku."

"Kenapa kamu dikurung?"

"Itu karena aku bandel," jawab Irin sekenanya.

"Pasti sering ganti pasangan ya?" Cletuk Dante membuat Irin sedikit terkejut.

"Pasangan? Pacaran aja aku suka sekali, yaitu cuma sama kamu." Jelas Irin

"Benarkah?"

"Terserah kamu mau menyimpulkan seperti apa, itu semua hak kamu. Aku udah nggak peduli dengan semua perkataan orang,"

"Maksud kamu?"

"Nggak ada, kamu cukup begini sama aku. Kamu bisa makin benci kalo kamu tau, atau mungkin kamu akan menjauh dari aku, sama kaya mereka semua."

"Mereka, siapa mereka?"

"Orang-orang di sekitarku, keluarga besar ayah sama bunda. Mereka semua ngejauh dari aku,"

"Karena apa?"

"Kamu udah pesan makanan?" tanya Irin mencoba mengalihkan pembicaraan.

Dante terdiam, ia sangat paham jika Irin berusaha untuk mengubah topik pembicaraan mereka.

"Dante?" Panggil Irin membuat Dante kembali tersadar.

"Ah, ya… belum, kamu aja yang pesan."

"Okay, aku pesan pake hp aku."

Dante pun mengangguk,

"Rin, boleh aku tanya sesuatu?"

"Hm, apa?"

"Kenapa kamar kamu ___ "

"Udah ya, jangan di bahas. Kalo kamu tau, nanti aku dikira gila lagi,"

Dante terkejut mendengar jawaban yang di sertai kekehan kecil dari Irin.

"Nggak lucu,"

Irin tersenyum tipis,

Tak lama kemudian bel rumah mereka berbunyi.

"Itu pasti kurir, biar aku aja yang ambil," Irin pun tersenyum.

Irin merasa jika Dante telah berubah, Irin pun akan mencoba untuk merubah dirinya agar lebih baik.

Agar ia bisa menjadi istri yang bertanggung jawab pada suaminya.

Selang beberapa menit, Dante pun mendekati Irin dan terlihat membawa dua box makanan instan.

"Kamu beli salad buah aja?"

Irin pun mengangguk,

"Aku udah lama nggak makan nasi malam-malam,"

"Oh ya? Kenapa?"

"Diet,"

"Kurus gitu masih diet?"

Irin pun terkekeh,

"Menurut kamu, aku kurus?"

"Ya,"

"Hm, ya udahlah. Nggak masalah kok,"

"Ayo, kita makan. Selamat makan, my hubby…"

Dante tersenyum tipis dan mengangguk, hati kecil Dante tak menyetujui jika Irin adalah wanita yang jahat, namun itulah kenyataannya di mata Dante.

Irin adalah wanita jahat yang berkedok manusia berparas cantik.

"Dante, kenapa melamun?"

"Ah, nggak kok. Aku baru ingat, ada tugas kantor yang belum aku selesaikan,"

"Oh ya, nanti coba aku bantu ya?"

"Memangnya kamu bisa?"

"Ngeremehin, ih…"

"Ya, kan kamu nggak pernah kerja."

"Dih, sok tau kamu. Aku kerja di kantor ayah, aku sering bantuin ayah. Tapi, semenjak ___ " Irin memejamkan matanya sejenak, lalu menghirup napasnya dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Dante menatap Irin bingung.

"Kamu, kenapa?"

"A..ku, nggak apa-apa."

"Hm, jadi semenjak apa?"

"Ah, lupakan. Nanti aku beneran bantuin kamu deh, kamu pasti puas sama hasil kerja aku."

"Hm, coba aja.. kalo hasilnya bikin tekor aku jitak kamu,"

Irin pun tertawa saat mendengar ucapan Dante.

"Iya, iya. Aku bakal bawa hoki, nggak bakal bikin rugi."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu sering susah tidur?"

"Ah, itu… karena aku insom,"

"Sejak?"

Sejak aku kehilangan orang yang aku sayang, batin Irin menjawab.

"Sejak aku insom dong," jawab Irin dengan gurauan.

Dante pun tak menggubris ucapan Irin, ia pun mulai melanjutkan makannya hingga mereka pun telah selesai.

Kini, saatnya Dante dan Irin mulai mengerjakan tugas kantor Dante.

"Coba, kasih tau aku, mana yang belum kamu selesaikan?" Desak Irin yang membuat Dante sedikit bingung.

"Ini, coba kamu cek. Ini rangkuman data keuangan dan rencana kedepan untuk pengembangan perusahaan,"

"Eum, perusahaan kamu dalam bidang batu permata ya?"

"Ya, dan rencananya akan membuat cabang perusahaan batu permata, tapi aku bingung ambil dimana lokasinya yang cocok,"

"Kalo menurut aku, kamu ambil tempat dimana tempat itu yang padat penduduk, dan disana apapun sulit di jangkau,"

"Hm, terus? Belum tentu mereka berminat untuk membeli batu permata,"

"Benar. Tapi, menurut aku, sebaiknya kamu membeli lahan atau menyewanya disana, kamu buat mall."

"Eh?"

"Begini, kalo kamu buat mall disana, pasti warga sana akan senang dan bangga karena memiliki tingkat kemajuan di kota mereka, meskipun kota mereka pelosok, tapi mereka nggak ketinggalan jaman?"

Bener juga, ya. Batin Dante,

Dante mengangguk-angguk mengerti,

"Dan, kamu tau… aku udah punya rencana di salah satu kota yang termasuk pelosok di sini,"

"Oh ya, rencana apa?"

"Ah, aku ingin membuat panti asuhan dan beberapa bangunan sekolah gratis untuk anak-anak yang membutuhkan perlakuan khusus, seperti SLB, misalnya."

"Itu ide yang bagus, semoga niatmu terwujud. Dan terimakasih untuk sarannya, aku akan memikirkan matang-matang."

Irin pun mengangguk,

"Ini mau langsung di tulis atau?"

"Biarkan aja, besok aku suruh orang kantor yang nulis. Sebaiknya kita tidur, udah jam sebelas malam."

"Eh, kok cepet sih?"

Dante pun terkekeh, dia menarik lengan Irin untuk masuk ke dalam kamar mereka.

"Kenapa kamar-kamar selain kamar kita pintunya di kunci rapat?"

"Iya, ini ulah ibu sama ayah,"

"Kamu jangan ngadi-ngadi deh,"

"Aku serius,"

"Oh ya, tapi kenapa?"

"Udah, jangan bawel. Aku ngantuk,"

Dante pun mulai merebahkan tubuhnya, dengan Irin yang masih duduk di tepi ranjang.

"Dante, gosok gigi dulu."

"Bawel,"

Irin terpekik, saat tubuhnya di tarik oleh Dante dan membuatnya terjatuh dalam pelukan Dante.

Dante pun mengusap lembut punggung Irin, hingga perlahan Irin pun tertidur.

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status