Share

Bab 18

Dante pun sampai di kantornya dan langsung mendapati beberapa berkas menumpuk di mejanya.

Berkas dari sang kakak yang ingin menjalin kerjasama dengannya.

Dengan seenaknya, sang kakak malah ingin Dante menandatangani surat kerjasama di enam cabang cafe miliknya.

Dante pikir, Darren hanya memintanya untuk di satu tempat, nyatanya justru enamlah yang ingin di jalin kerjasamanya.

"Ini sih pemerasan namanya. Sialan banget," gerutu Dante yang melihat berkas di hadapannya.

Lalu terdengar suara pintu terketuk.

"Masuk,"

Lalu muncullah sekretaris Dante.

"Pagi, pak…"

"Pagi,"

Dante pun terdiam sambil mengecek berkas yang sedari tadi menumpuk di hadapannya.

"Begini, pak… sepertinya untuk keberangkatan kita ke Amerika dipercepat," Dante menghentikan pekerjaannya dan langsung menatap Doni.

"Kenapa bisa?"

"Iya, pak. Karena di sana ada sedikit masalah, ada oknum nakal yang melakukan penggelapan dana dan meminta pemimpin utama yang turun tangan,"

Dante menyugar rambutnya ke belakang, dia pun mengibaskan telapak tangannya yang sedikit pegal.

"Kapan kita berangkat?"

"Malam ini, pak."

"Kamu boleh pergi,"

"Baik, permisi."

Doni pun pergi meninggalkan Dante seorang diri.

Dante menghela napas berat,

"Haruskah gue tinggalin dia dalam keadaan seperti itu?" gumam Dante, lalu terbesit di pikirannya ingin membuat Irin senang hari ini.

Dante tersenyum lebar, ia pun ingin membuat Irin senang hari ini. 

"Ah, ya… ini demi nyokap gue, bukan buat gue ataupun dia, iya… bener, buat nyokap gue yang nyuruh gue buat baik sama dia,"

Dante pun meraih jas dan segera memakainya. Lalu berjalan keluar dengan langkah lebar.

"Irin, tunggu aku…"

Dante terlihat menghampiri Doni, dan berpamitan.

"Doni, jika ada yang mencari ku katakan saja kalau aku tidak ke kantor, aku akan pulang dan membawa istriku bersenang-senang,"

"Baik, pak. Semoga harimu menyenangkan,"

Dante mengacungkan jempolnya pada Doni. Dia pun kembali melanjutkan langkah kakinya.

Dante terlihat ceria pagi ini, dalam hatinya entah mengapa ingin sekali bertemu dengan Irin dan membawanya ke tempat yang bisa melepas penat.

Dante melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia sengaja tak menghubungi Irin jika dirinya akan pulang cepat.

"Padahal baru aja gue sampe di kantor, eh gue balik lagi sekarang, ckckck" gumam Dante dengan tawa kecilnya.

Hingga, tak lama kemudian ia pun menghentikan mobilnya di halaman rumah Irin.

Dante masuk ke halaman parkir, namun ia terkejut saat melihat barang kesayangan Irin telah hancur.

Terlihat beberapa pekerja sedang berusaha menariknya untuk dibawa pergi.

Dan di sana, terlihat Irin dan sang bunda sedang duduk di ruang keluarga.

Samar-samar Dante mendengar nasihat ibu mertuanya untuk Irin.

"Anak bunda harus sabar, huh? Pasti Alya sangat bangga padamu,"

Irin pun mengangguk, lagi-lagi… Dante dibuat penasaran dengan sosok siapakah Alya?

Entahlah, Dante tidak ingin terlalu memikirkan.

"Dante?"

Dante tersadar saat ternyata Irin sudah berada di hadapannya dengan tatapan terkejut.

"Hei," Dante menjawabnya dengan senyuman.

"Kok udah pulang sih?"

Dante menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia bingung harus menjelaskan seperti apa pada Irin.

"Eum, aku mau ajak kamu pergi, mau?"

"Kemana?"

"Kemana aja, yang penting bisa buat kita senang,"

"Ya udah, mau…", jawab Irin tak kalah senang.

Rosmi tersenyum tipis, dalam hati ia merasa bersyukur jika Dante benar-benar menjaga Irin.

Namun, rasa takut pun selalu muncul dalam benaknya, ia tahu kisah cinta Irin dengan Dante. Ia takut jika Dante justru akan semakin menghancurkan putrinya.

Bodohnya Irin, dia selalu mencintai laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya.

"Ya udah, kamu siap-siap ya?"

"Okay, kamu tunggu ya?"

Dante pun mengangguk, lalu setelah kepergian Irin ke kamarnya, Dante mendekati ibu mertuanya.

"Dante,"

"Bunda.."

"Ada apa?"

Dante menghela napas berat,

"Aku harus berangkat ke Amerika nanti malam, Bun."

"Eh? Kamu mau ninggalin Irin sendiri?"

"Nggak kok, Irin nanti tinggal di rumah ibu. Nggak apa-apa kan, Bun?"

"Nggak apa-apa, asal jangan dibiarkan sendirian ya?"

"Iya, Bun. Oh ya, ngomong-ngomong tadi… aku liat mobil yang ___ "

"Ah, i..itu… "

"Dante, ayo aku udah siap."

Rosmi menghela napas lega saat Irin memutus ucapannya.

"Ya udah, pamit dulu sama bunda,"

"Kita sekalian pulang ya?"

Dante pun mengangguk, lalu mereka berpamitan untuk pulang.

***

"Dante, katanya pulang, kok kita kesini?" tanya Irin bingung saat Dante mengajaknya ke suatu tempat.

Dante pun tersenyum,

"Rencana aku, di sini mau dibuat panti asuhan, sesuai yang kamu mau."

"Eh?"

"Kok eh sih?"

"Ya … aku nggak nyangka aja, kalo kamu mau wujudin keinginan aku,"

"Nggak apa-apa, kamu istri aku kan?"

Irin pun mengangguk kecil, lalu memeluk tubuh Dante erat.

"Itu salah satu impian aku,"

"Apa?"

"Jadi istri kamu," Dante pun terkekeh mendengar jawaban Irin.

Dante mengecup pucuk kepala Irin, dan mengusapnya.

"Sepulang aku dari Amerika, kita rencanakan tanggal pembangunannya ya?"

"Aku ngikut kamu aja,"

"Rin?"

"Huh?" Irin mendongakkan kepalanya menatap wajah Dante yang juga menunduk menatapnya.

"Nanti malam, aku harus berangkat ke Amerika."

Senyuman Irin memudar mendengar ucapan Dante.

"Katanya ___ "

"Iya, tapi ada perubahan jadwal. Aku usahakan nggak lama di sana,"

"Kenapa mendadak begini di majikannya?"

Dante tersenyum, lalu menarik Irin ke dalam dekapannya.

"Nggak apa-apa, aku bakal cepet selesaikan, biar cepet pulang."

"Iya, terus kita kemana sekarang?"

"Kita ke tepi danau dekat sini,"

"Ayo, tunjukkan di mana tempatnya.." ujar Irin dengan semangat.

Dante pun terkekeh melihat tingkah Irin.

"Ayo, nggak jauh kok," Dante menggenggam tangan Irin, begitu juga sebaliknya

Mereka berjalan beriringan dengan tangan yang saling menggenggam.

"Kayanya bikin rumah di sini juga nggak buruk," 

"Sepertinya begitu,"

Irin pun berbinar saat melihat pemandangan yang sangat indah.

"Ya Tuhan, ini benar-benar menakjubkan…"

"Ya, aku milih yang bisa bikin suasana jadi lebih menyenangkan, biar otak kita lebih tenang,"

"Iya, aaa… suka banget deh,"

"Bagus kalo kamu suka,"

Irin pun mengangguk,

"Irin, tadi aku liat mobil kamu yang ___ " Irin tampak gugup dan cemas.

"I..itu,"

"Itu?" Ulang Dante.

"I..itu bekas," Irin benar-benar bingung mencari jawaban yang tepat untuk Dante.

"Bekas apa? Jangan buat aku makin penasaran,"

Irin mencoba menenangkan pikiran sejenak, ia memejamkan matanya sejenak lalu kembali membukanya menatap Dante dengan tatapan serius.

Irin menghembuskan napasnya pelan.

"Itu bekas kecelakaan…" lirih Irin.

Dante pun terhenyak mendengar jawaban irin.

"Irin, kamu?" Dante menatap Irin yang sudah mengalihkan pandangannya di air danau yang terlihat jernih.

"Aku, aku kenapa?"

Dante pun menarik dagu Irin untuk menghadap wajahnya.

Irin pun menatap Dante dengan meneguk ludahnya susah payah.

"Jangan bilang kalo itu ___ "

Sebelum Dante melanjutkan ucapannya, Irin sudah membungkam mulut Dante dengan lumayan lembut darinya.

Dante sedikit terkejut, namun ia langsung menahan tengkuk Irin dan membalas lumatannya.

Ya Tuhan, aku merindukan bibir ini. Bibir yang manis dan lembut. Batin Dante.

Saat dirasa pasokan udara mulai menipis, Irin memukul pelan dada Dante dan pagutan mereka pun terlepas.

Irin tersipu, wajahnya memerah dan menunduk.

Dante tersenyum miring melihat Irin.

"Rasanya, masih sama… manis,"

Irin menaikkan pandangan menatap Dante dengan wajah yang memerah.

"M..maaf, tadi ___ "

"Nggak apa-apa, aku suka. Selama pernikahan, kita belum pernah melakukan ini dan 'itu' kan?"

Irin terdiam, dan mencerna kata 'itu' yang diucapkan Dante.

Wajah Irin semakin memerah, Dante pun terkekeh. Membuat Irin tersenyum kikuk.

"Mau coba nggak?"

"C..coba?" Irin membeo.

Dante terbahak melihat respon Irin yang menurutnya terlihat sangat lucu.

"Nanti kita coba kalo aku udah pulang ya,"

"Ah, i..itu ___ " Irin terpekik saat Dante menarik tangannya dan membawanya lari masuk ke dalam mobil.

"Hujan, kita harus masuk ke mobil,"

Jawab Dante yang kini mereka sudah masuk ke dalam mobil.

"Ah, aku kaget. Kirain kamu mau dorong aku ke danau," cibir Irin membuat Dante terkekeh.

"Maunya sih gitu,"

"Eh?"

"Bercanda," Dante menjawil hidung Irin.

"Huh," dengus Irin.

"Sekarang kita ambil baju kamu, sama beresin baju aku ya, aku minta tolong siapkan baju aku buat berangkat nanti malam,"

"Aku beneran di rumah ibu?"

"Iya, kamu nggak keberatan kan?"

"Nggak kok, aku juga pengen lebih deket lagi sama ibu," Dante pun mengangguk.

"Kita jalan sekarang,"

Dante pun mulai melajukan mobilnya.

Irin memberanikan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu Dante.

Dante pun mengecup pucuk kepala Irin.

"Dante,"

"Hm?"

"Makasih ya,"

"Untuk?"

"Dante," Irin tak menjawab ucapan Dante, ia memanggil Dante kembali.

"Hm, kenapa?"

"Rasa itu masih sama," gumam Irin yang kini mulai memejamkan matanya.

Dante terdiam, mencerna ucapan Irin.

Mungkinkah, rasa cinta kamu ke aku masih sama? Lalu bagaimana dengan pengkhianatan kamu? Batin Dante.

Hingga malam pun tiba, Dante menghubungi sang kakak untuk menjemput dan mengantarkannya ke bandara.

Ia juga ingin menitipkan Irin di rumah kedua orangtuanya.

Saat ini, Dante dan Irin sudah berada di bandara, begitu juga dengan Darren --- kakak kandung Dante.

"Kamu jangan lupa hubungi aku kalo udah sampe, ya?" Pesan Irin untuk Dante.

"Iya, kamu jaga diri baik-baik. Aku janji nggak akan lama,"

Irin pun mengangguk,

"Tunggu aku, sampai aku memantapkan hatiku," Dante melumat sekilas bibir Irin. Membuat Darren mengalihkan pandangannya.

Lalu Dante mengecup kening Irin.

"Aku akan memastikan, semua ini… apakah masih sama, atau sudah berbeda. Aku pergi dulu," bisik Dante tepat di samping telinga Irin.

Irin pun mengangguk, lalu Dante berjalan menjauhinya.

Irin menatap punggung Dante.

Aku tau, semua sudah tak lagi sama. Kamu yang berkhianat, kamu yang mengecewakan aku. Batin Irin pilu.

"Rin,"

Irin menoleh dan menatap Darren.

"Ya, kak…"

"Udahkan? Pulang yuk?"

"Ya udah, ayo…"

Darren dan Irin pun jalan beriringan menuju parkiran mobil.

"Mobilnya jauh banget, kak?" 

"Kenapa? Kamu nggak sanggup jalan? Sini, biar kakak gendong,"

Irin pun terkekeh mendengar candaan kakak iparnya.

"Kak Darren bisa aja. Aku cuma heran, padahal di sini bisa parkir, eh kak Darren malah parkir di ujung sana,"

"Hehe, biar romantis kan jalan sama cewek cantik kayak kamu,"

"Ah, kak Darren gembel,"

"Gimbal Rin, bukan gembel.."

"Ih, kak Darren juga salah. Gombal, bukan gimbal.."

Lalu mereka berdua pun terkekeh bersama. Hingga tak sadar, mereka pun sampai di dekat mobil Darren.

"Kak Darren, kenapa nggak nikah lagi sih?"

"Nanti ya, tunggu kamu jadi janda,"

"Eh,"

Darren pun terkekeh,

"Bercanda, tapi... kalo kamu mau serius juga nggak apa-apa sih," jawab Darren dengan penuh cengengesan.

"Ih, kak Darren bercanda mulu,"

"Iya, kan… biar kita awet muda, biar aja Dante yang tua duluan,"

Irin pun tertawa lagi, 

"Duh, kalo sama kak Darren aku jadi ketawa terus kan,"

"Jangan ketawa terus, nanti kelewatan lagi,"

"Gimana?" Beo Irin, Darren pun teringat jika Irin tak suka dikatakan dia gila.

"Nggak ada kok," jawab Darren senormal mungkin.

"Oh,"

"Ini mau langsung pulang atau kamu mau mampir dulu?"

"Langsung pulang aja, kak. Irin udah capek seharian sama Dante,"

"S...seharian?" Beo Dante yang Irin sadari, ucapannya terdengar ambigu.

"I..itu, Irin sama Dante jalan seharian tadi, bukan lakuin 'itu' kok," sergah Irin.

Darren pun terkekeh,

"Kalo emang lakuin 'itu' juga nggak masalah, kalian kan suami istri," 

"Eum, iya juga sih. Tapi, kami belum ___ "

"Apa? Kalian belum lakuin 'itu'?" Pekik Darren yang di iringi rasa heran.

Irin pun menggeleng pelan, Darren pun sedikit shock.

"Astaga, kalian… udah nikah sebulan, dan kalian belum? Ahh," Darren benar-benar tak menyangka jika adiknya benar-benar bodoh.

"Aku nggak apa-apa kok, jujur aja… aku masih takut,"

"Huh, lawan rasa takut kamu, Rin. Jangan pernah berhenti di situ terus, yang ada kamu juga akan begitu terus."

"Kak, bukan gitu. Kakak nggak ngerasain saat kita dikhianati dan ___ ah, udahlah. Nggak usah di perjelas," 

Darren pun mengangguk pasrah.

"Ya udah, sekarang turun gih,"

"Eh, kok?"

"Dari tadi kita udah sampe di rumah ibu loh," Irin pun mengedarkan pandangannya dan menatap sekeliling, ternyata benar. Mereka telah sampai.

Irin pun cengengesan dan langsung keluar dari dalam mobil Darren.

Darren hanya menggelengkan kepalanya menatap Irin.

"Sebenarnya kamu ini cantik, kamu juga tipe orang yang ceria. Tapi, karena Dante kamu jadi begini," gumam Darren yang kini ikut turun dari dalam mobil.

Irin pun masuk kedalam rumah ibu mertuanya lebih dahulu, dan disusul oleh Darren di belakangnya.

"Malam, Bu, Yah…" sapa Irin yang melihat kedua mertuanya sedang menonton televisi.

Mereka berdua pun menoleh, lalu tersenyum.

"Malam, sayang. Sini, kamu udah datang aja," Irin pun mengangguk dan mendekati ibu mertuanya.

"Irin nggak apa-apa kan, kalo Irin di sini?"

"Kamu adalah anak ayah dan ibu, kamu boleh tinggal di sini kapanpun kamu mau," sambung ayah mertuanya.

Irin pun tersenyum lebar, lalu mengangguk.

"Aku pikir, aku bakal dapat mertua galak kaya di novel yang aku baca," gumam Irin namun masih bisa terdengar.

Sontak yang mendengarnya langsung menyemburkan tawanya.

Irin pun tersenyum kikuk, sudah berapa kali ia merasa tersipu hari ini.

"Ada-ada aja kamu ini, kan itu di novel. Bukan di dunia nyata, jadi jangan disamakan ya?"

"Iya, Bu. Maafin Irin ya?"

"Udah udah, mending biarin Irin istirahat. Kasian tuh, katanya seharian habis capek sama Dante." Sambung Darren dengan menahan tawanya saat melihat Irin melotot padanya.

Tbc


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status