Share

Bangkrutnya Keluarga Prayogi

Sebuah mobil mewah mulai memasuki perkampungan. Jalanan yang semakin sempit terpaksa menghentikan laju mobil itu.

"Van, kayaknya ini mobil udah nggak bisa masuk deh!" ucap Bima.

"Kayaknya masih jauh. Udah paksa jalan aja!"

"Kita bisa tabrakan. Ini jalan cuma muat mobil sebiji!" tambah Bima.

Alvan menghela nafas panjang. Dilipat lengan kemejanya hingga siku. Berharap lelahnya selama perjalanan bisa sedikit berkurang.

"Terus, gimana kita bisa sampai ke penginapan?" tanya Alvan sambil menggeser layar gawai. Barangkali ia menemukan kontak yang bisa dihubungi.

Bima masih memperhatikan lalu lalang jalanan. Jarang ada mobil yang lewat, kecuali mobil pickup untuk mengangkut barang. Sisanya hanya ada motor, sepeda dan si roda tiga. Selain itu tak terlihat jenis angkutan umum lainnya.

"Kamu nggak simpan nomornya Pak Seno, yang ngurusin penginapan?" tanya Bima.

"Ada sih, tapi dari tadi aku hubungi nggak bisa. Udah jalan aja lagi!"

"Jalannya makin sempit Alvan. Lagian sebelah kita sungai. Nih mobil bisa kecemplung."

"Ah alesan. Sini biar aku yang bawa mobilnya!"

Alvan turun dari mobil. Dalam sepersekian detik, seluruh perhatian pengguna jalan langsung tertuju padanya. Setiap langkah Alvan dipandang tiap orang. Termasuk Kayla, gadis yang sedang mengendarai motornya itu sedang memperhatikan Alvan saat berada di tepi jalan.

"Hahhhh, gantengnya. Siapa ya," pikir Kayla penasaran. Ia pun tak bisa berhenti melihat sosok Alvan sampai pria itu kembali masuk ke mobil untuk mengemudi.

"Aduh, ganteng banget. Pingin deh punya pacar kayak dia!" batin Kayla lagi. Ia pun masih tertegun mengingat pesona yang baru saja dilihat.

**

Siang yang panas menyengat. David yang baru saja menghentikan semua fasilitas kartu kredit untuk putrinya kini sedang termenung di ruang kerjanya. Rasanya tak bisa berkata apa-apa lagi. Selain diam dan memegang keningnya yang sangat pusing sejak semalam.

"Mana gadis itu, cepat bawa ke sini!" pinta David di sambungan telepon miliknya.

Tak lama seorang gadis datang bersama sopir David dengan langkah kaki yang dipaksa. Ia terlihat sedang memendam emosi. Tak disangka dirinya akan diperlakukan demikian. Rasanya sudah seperti tahanan kabur.

"Ellysia Prayogi, akhirnya kamu pulang nak!" ucap David pada putri tunggalnya.

Sopir tadi akhirnya dipersilahkan keluar dari ruang kerja David. Kini hanya ada David dan Ellysia. Suasanapun seketika hening dan menyeramkan. Khususnya bagi Ellysia.

"Mau sampai kapan kamu sering kabur-kaburan gini?" tanya David. 

"Sampai Papa mau kuliahkan Ell ke luar negeri!" jawab Ellysia ketus.

David hanya diam. Ia sebenarnya sudah bingung bagaimana menghadapi sikap putrinya yang makin menjadi. Pusing di kepalanya semakin terasa berat. 

Melihat Papaya hanya diam. Gadis itu berusaha berbicara lagi. Ia bahkan mengeluarkan nada sedikit keras.

"Papa, kenapa sih berubah? Mana Papa yang dulu yang selalu menuruti semua keinginan Ell? Terus kenapa Papa blokir semua kartu Ell," ucap Ellysia. Ia kini sedikit menajamkan matanya.

"Papa berubah, karena kehidupan kita sebenarnya sudah berubah Sayang!" terang papanya dengan tatapan sendu.

Ellysia membuang muka. Namun, ia kembali menatap wajah papanya. Dilihat wajah orang yang telah bersamanya sejak kecil itu sangat serius. Tampaknya papanya tidak berbohong. Lagi pula selama ini tak pernah ada kebohongan di antara mereka.

"Maksud Papa?"

"Kita udah jatuh miskin Nak. Jadi, nggak mungkin lagi buat biayain kuliah kamu ke luar negeri!"

Ellysia berubah masam. "Papa bohong kan?" 

Rasanya lutut gadis itu lemas. Ellysia yang terbiasa bergelimang harta harus mendengar papanya bangkrut adalah sebuah pukulan yang berat.

"Sekarang, lebih baik kita pulang. Kita bicarakan ini di rumah."

"Tapi inikan masih jam kerja Pa!"

"Iya, tapi ini bukan lagi kantor Papa. Papa udah nggak punya perusahaan."

David menggandeng putrinya. Mengajaknya berjalan bersama untuk pulang.

Sementara Ellysia masih belum sepenuhnya percaya. Ia berharap ini lelucon. Keluarganya tak mungkin bangkrut. Meski begitu, ia tetap berjalan bersama David. Pulang dan berharap ini semua tidak nyata.

** 

Rumah kediaman keluarga Prayogi sedang dikosongkan sebagian. Ellysia yang masih belum bisa pecaya akan kebangkrutan papanya masih syok. Namun, siang ini ia melihat sendiri, para debt collector datang ke rumah.

"Pa, mereka mau bawa mobil Ell ke mana?" tanya Ellysia melihat mobilnya dibawa orang yang tak dikenal.

"Bank," jawab David dengan tenang.

"Tapi, kita masih bisa tinggal di rumah ini kan Pa?"

David menatap putrinya sangat dalam. Ia tahu kabar ini pasti akan membuatnya terpukul. Tapi, untuk saat ini. Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terlanjur terjadi.

"Rumah ini juga akan disita, Sayang!"

Ellysia menggeleng tak percaya. Ia pun berlari cepat ke arah kamarnya yang ternyata pintunya dalam keadaan terbuka.

"Apa yang kalian lakukan di kamarku. Cepat keluar!" teriak Ellysia yang langsung menyita perhatian sang papa di lantai bawah.

"Kami sedang mengambil beberapa barang branded milik Nona untuk dibawa ke bank. Tas, jam tangan, kacamata juga perhiasan." Terang sosok bertubuh besar dan tegap.

"Enggak, ini nggak mungkin! Papaaaaaa!" teriak Ellysia lagi lebih kencang dan tak lama setelah itu Ellysia jatuh tak sadarkan diri.

**

Rumah sudah hening. Para debt collector telah meninggalkan kediaman keluarga Prayogi. 

Terlihat David sedang memperhatikan lembaran kertas kerjanya. Namun matanya seolah mengeluarkan bulir. Hanya saja, buliran itu tak sampai jatuh. Ia dengan segera membersihkannya.

"Pa! Papa nangis?" tanya Ellysia yang sempat melihat.

"Maafin Papa ya nak!"

Ellysia tanpa berkata apapun langsung mendaratkan pelukan pada papanya. Ia tahu orang tuanya itu sedang bersedih. Tapi, dirinya juga lebih sedih lagi.

David melepas pelukan putrinya perlahan. Ia mencoba menangkap kedua mata Ellysia dengan matanya. 

"Ell, besok kamu ikut Pak Heru ya!"

"Ikut Pak Heru ke mana?"

"Sementara ini, kamu tinggal di kampungnya Bibi Tari. Sampai Papa punya tempat layak untuk kita."

"Maksudnya, aku harus tinggal di desanya Bibi Tari?"

"Iya karena rumah ini akan disita bank dalam waktu dekat."

**

Pagi ini, Ellysia bersiap meninggalkan rumahnya. Ia mencoba melihat rumahnya lebih lama lagi. Mungkin ini yang terakhir.

"Selamat tinggal my home. I will miss you," gumam Ellysia.

Mobil yang dikendarai Ellysa untuk pergi ke kampung bibinya sudah melaju. Rumah yang diperhatikan itu makin lama makin jauh. Akhirnya Ellysia benar-benar meninggalkan tempat tinggalnya.

**

Ellysia sudah sampai di tujuan. Ia mendapati sebuah rumah sederhana dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Terbuat dari kayu dan berlantai semen. Pepohonan rindang mengelilingi. Ellysia mulai melangkah masuk.

"Ini rumah, yang bener aja!" batin Ellysia. 

Ruang tamu hanya ada kursi kayu berwarna pudar. Tak ada pendinginan ruangan. Debu dan cahaya masuk membuat suasana semakin hangat meski di dalam rumah. 

"Nona Ell, udah datang. Silahkan masuk!" sambut bibi Tari, orang yang akan merawat Ellysia selama berada di sini.

"Kamarku mana Bi?"

"Sebelah sini Non!"

Ellysia berjalan masuk ke dalam kamarnya dan rasanya saat itu juga. Ia ingin kembali pingsan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status