Share

PART 3 - THE MOST HANDSOME MAN IN THE WORLD ?

NOAH DYLAN POV

            Sebagai salah satu terkaya se-Indonesia, menjadi tampan ialah poin tambah untuk dibanggakan. Hari ini ialah hari pertama ku menjadi CEO di perusahaan milik keluargaku. Aku tidak begitu minat dengan urusan tanda tangan, meeting, dan hal lain yang berbau kantor semacam ini. Aku terpaksa mengiyakan sebab papiku yang mendadak sakit karena kanker hati. Menjadi model ialah passion-ku. Aku lebih suka bebas ketimbang terkekang di balik meja dan harus berkutat dengan kertas-kertas sialan ini.

Suara ketukan pintu menghentikan gerutuan-ku

Marissa, sekretaris ku. Tubuh langsingnya meliuk masuk menuju mejaku.

“selamat pagi pak, hari ini ada jadwal meeting jam 10 pagi”

“iya” jawabku sedatar mungkin.

Setidaknya ada angin segar di perusahaan ini bernama Marissa Lourd. Imajinasiku mengarah ke bagian tubuhku yang mengeras dan menegang, membayangkan wajah natasha tenggelam di antara selangkanganku.

Bangsat!

Belum genap satu jam, pantatku terasa panas duduk di singgasana kekuasaan ini. Wajahku mengkerut menunggu jarum jam agar sedia melompat cepat lekas bergulir ke waktu malam.

Malam hari ialah euphoria bagi manusia bernama Noah Dylan.

Berkumpul dengan kawan sejawat, menghisap rokok, meneguk miras serta memeras payudara para wanita.

Aku telah merindukan dentuman lagu EDM khas klub malam untuk memuaskan gairah muda.

Menjadi model membuatku mengenal hal-hal seperti itu. Menghabiskan uang untuk menghabiskan semalaman seranjang dengan wanita. Melumat habis puting dan bagian sensitif lainnya.

Noah Dylan tak lain ialah iblis bertampang malaikat, begitulah kata orang-orang tentangku.

Aku tidak peduli dengan julukan yang seharusnya itu adalah hinaan. Namun aku terlalu peduli dengan diriku yang bergelimang harta tanpa harus menyia-nyiakan peluh untuk sekadar menghidupi diriku.

***

Kepalaku semakin berdenyut ketika puluhan pesan dan puluhan lainnya merupakan panggilan dari wanita jalang itu.

Sudah hampir dua tahun nama sialan itu tak pernah nongol di hadapan mukaku meski hanya sebuah panggilan telepon. Wanita iblis berwajah bidadari yang telah merenggut kepercayaanku terhadap perasaan kasih sayang yang sudah lama tidak pernah kurasakan sejak Mami pulang ke pelukan Tuhan.

Sial! kenangan itu kembali menyebar ke seluruh sistem yang menyimpan kenangan yang sangat sekali ingin ku hapus. Namun di sisi lain, aku tak ingin menghapus kenangan Mami sedikitpun.

Hujan adalah satu-satunya momen yang paling ku benci. Meski begitu momen terburuk yang telah merenggut nyawa wanita yang melahirkanku juga mengingatkan ku akan wajah gadis bermata sipit yang masih kupegang janjinya hingga kini.

Sepuluh tahun berlalu, aku tidak memiliki kesempatan untuk menemukannya. Berbagai cara ku gunakan untuk menemukan dirinya. Ingin sekali aku menemui gadis itu meski hanya untuk melontarkan kalimat klise seperti “Apa kabar”.

Ini semua gara-gara wanita sialan itu. Wanita yang mengukungku supaya selalu berada di bawah selangkangannya. Bodohnya aku yang jatuh di perangkap tipu muslihat wanita bermata hijau itu.

Aku tahu alasan ia menghubungi tak lain hanya menginginkan remahan kekayaan ku. Seperti yang sudah sudah, dua tahun yang lalu ia menemuiku dengan pakaian minim aurat berlagak sok cantik menggodaku dengan tubuhnya yang mempesona. 

Wanita jalang itu sekarang jatuh miskin akibat kesalahan kami bertiga. Aku, dia dan satu lagi pria sialan itu. 

Tubuhku tak bisa dibohongi. Untung saja pikiranku masih bisa mencerna kepahitan yang kualami akibat wanita berkebangsaan Kanada itu.

Mungkin ia sudah kehabisan cadangan pria-pria bermata keranjang sekaligus berhidung belang yang dengan bodohnya tunduk hanya satu kali kedipan mata hijau bening itu.

Kubanting keras-keras gawai keluaran anyar yang baru saja ku beli beberapa jam yang lalu.

Darimana ia bisa mendapat nomor telepon baruku?!

Pengkhianatan seorang sahabat yang telah membuatku bersikap sangat keras dan mengabaikan orang lain. Mempercayai manusia adalah kebodohan tak berujung. 

Aku kembali duduk di atas sofa di samping meja kerjaku. Dengan malas kubuka lembaran berkas, tidak tipis dan juga tidak begitu tebal. Hingga mataku menangkap nama yang begitu familiar oleh ingatanku.

Mika Lodge, nama yang sudah lama membuatku frustasi.

Janji itu, janji yang terus menerus ku pegang hingga kini.

Gadis bermata coklat yang menggenggam erat tanganku ketika tak ada siapapun yang melakukannya. Penyembuh luka.

Lembaran yang menyuguhkan wajah gadis kecil yang kukenal dalam versi yang lebih dewasa dan tentu saja cantik.

***

"Ndut lihat sini deh" Mika menarik tanganku yang masih sibuk memainkan pasir pantai.

"Lihat nih, imut sekali kayak ndut" imbuh Mikaa lagi.

"Monster kecil"

"Kok monster?"

"Bentuknya aneh gitu" tangan gemuknya meraih hewan kecil bertumpurung, sekejap kepalanya bersembunyi di dalam cangkangnya. 

"Wah ndut, lihat nih mukanya senyum-senyum" ucap Mika kegelian melihat hewan berjenis keong laut itu berjalan di atas tangan kecilnya. 

"Punyaku kok tidak mau keluar" kelomang yang ada di tangan Noah beringsut ketakutan.

"kamu katain monster sih" 

"Kan monster bukan hinaan, Mik"

"Coba giniin" Mika membuka mulutnya ke arah hewan kecil itu.

"Ga mau ah, masak ini dimakan?"

"Bukan, lihat nih keluar tuh" binatang kelomang itu keluar dari rumahnya karena hantaman nafas Mika.

"Kamu lupa gosok gigi kan, makanya mau keluar saking baunya"

"Hah" Mik membuka mulutnya lebar-lebar ke arah Noah.

"Bau bangkai"

"Ga mungkin" Mika berkilah.

Noah berlari ke arah gundukan pasir putih yang ia buat sebelumnya. 

"Mas Noah, Nduk Mika, kemari kita makan dulu" teriak Mbok Darmi dan Papiku beriringan tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Yes, akhirnya waktunya makan" saking tidak sabarnya dengan iming-iming masakan Simbok Darmi, gundukan istana pasir yang kubuat tadi luluh lantah akibat tendangan sadisku.

"Dasar si Ndut, bahagia banget kalo denger ada makanan"

Di atas gelaran tikar yang dibawa Papiku terdapat berbagai masakan. Satu persatu romanya menusuk-nusuk indera penciumanku. 

"Wah ada steak" Mataku berbinar melihat makanan kesukaanku itu, mengingatkanku dengan masakan Mami.

"Aku yakin kamu pasti ingin tambah, ndut" kata Mika dengan sinis.

Aku tidak peduli saking tergodanya dengan rayuan masakan khas buatan Simbok Darmi. Masakannya tidak kalah dengan buatan para chef yang kerap mengenakan pakaian serba putih dan rapi. Meksi pakaian Mbok Darmi adalah jarik dan kaos sekenanya, makanannya tidak bisa diragukan lagi.

Tanpa sadar aku menghabiskan tiga porsi steak yang agaknya kurang familiar di lidahku. 

"Waduh, anak papi bau banget" celetuk Papi menatapku geli.

"Apaan sih papi, udah mandi aku lho" balasku dalam kondisi mulut masih penuh.

"Udah sikat gigi belom"

Aku manggut-manggut masih menyelami rasa gurih makananku.

"Bau sekali" cetus Mika tersenyum sinis.

"Ini apaan sih Mbok?"

"Itu rendang jengkol Mas Noah" balas Simbok Darmi dengan logat jawanya yang kental.

"Tapi enak kok pi, it's okay kalau bau" jawabku sembari mengeluarkan nafasku ke arah mereka bertiga.

Bayangan Steak alias Rendang jengkol bikinan Simbok Darmi membuat perutku lapar. Sejak kemarin perutku belum sempat diisi makanan. Papi masih terbaring di atas ranjang putih di Rumah Sakit L'Enfant, Kota Quebec. 

Penyakitnya kian hari semakin menyedot kekuatannya. Badan tegapnnya menjelma menjadi ringkih. 

"Pulanglah ke Indonesia, Noah" ucap pria bernama Frank Dylan itu.

"Kau akan menemukan dirimu disana"  kata Papi lagi dengan lirih

Ku genggam erat tangannya yang sudah berkerut dan pucat. Mataku memerah menahan tangis.

"Bagaimana dengan papi?" 

"Disana kau akan menemukan pelukan Mami" 

Semburat wajah matahari yang tenggelam. 

Aku menengadah ke arah kumpulan awan yang membentuk wajah Mika.

Langit Kanada sungguh berbeda dengan langit yang ku lihat ketika bersama dengan gadis itu.

Aku terkekeuh mengingat wajahnya yang terkadang memasang muka aneh.

Aku akan kembali.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Esmi Yati
Yahhh kok jadi Wanda bukannya Mika hehe
goodnovel comment avatar
Esmi Yati
Yah kok jadi Wanda, hehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status