Share

PART 7 - KETIKA DIA JATUH CINTA

MIKA LODGE POV

"Pagi sayang” suara serak mengalun membangunkanku.

Morning kiss tak lupa diberikan oleh manusia yang dulunya musuh kini menjelma sebagai seorang kekasih.

Kubalas pagutannya dengan menyesap bibir bawahnya.

Aku tak percaya, kemarin ialah hari terakhir menjadi gadis perawan

Hatiku hampir mencelos keluar gara-gara melihat Noah beranjak dari tempat tidur dengan keadaan telanjang bulat

pantatnya yang terpahat sempurna sukses membuat mataku menyala, seketika luntur kantukku.

Ia menoleh, terkekeuh melihat pipiku yang merekah merah.

“Kenapa sayang, belum puas yang semalem?” ujarnya dengan mata nakal

pipi ku makin merah, serasa siap meletus.

"Mau sarapan pake apa?"

"E-eh pakai... sendok?"

"Kebiasaan lama nih, sukanya kikuk"

Noah kembali ke atas ranjang, mencium pahaku yang masih polos tanpa sehelai kain.

"Mik, nanti berangkat bareng ya"

Aku dengan reflek manggut-manggut.

***

Laju mobil sport berwarna hitam yang kami naiki dengan konstan menuju ke arah kantor ku. 

"Memangnya kamu kerja dimana, Noah? E-eh anu, maksudku nanti sepulang kerja bisa aku samperin"

"Emangnya mau ngapain, jangan jangan belum puas yang tadi"

"E-eh bukan, ndak gitu. Mika pengen ngajak Noah pergi nonton. Dulu kan kita belum sempet nonton bareng karena kamu pergi ke Kanada"

"Maaf baby, sayangnya tidak bisa. Nanti siang aku harus pergi untuk menemui Papiku"

"Ayahmu baik-baik saja kan?"

"Ia sakit, kanker hati. Tenang dia baik-baik saja. Setidaknya masih nafas"

"Hus, tidak sopan. Ya udah kalo gitu, Mika duluan ya?" kataku memukul pelan lengan berototnya. 

Ia terkekeuh

"Jangan, jangan dibukain, Mika punya tangan sendiri masih mampu"  ucapku mencegahnya membukakan pintu mobil untukku. Aku sadar diri aku bukanlah putri, lagi pula untuk apa menunggu orang lain untuk membukakan pintu. Toh, juga lebih efisien dan cepat sekaligus memanfaatkan fungsi dari tangan itu sendiri.

"Hah? Aku juga mau berangkat kerja babe"

Aku tertegun "Loh? Heh" 

Banner yang menjulang di atas gedung tempat aku bekerja dalam sekejap mata telah memberiku jawaban.

Sejak kapan poster yang besarnya hampir menutupi sebagian tubuh bangunan itu ada disana?

Menuju ke arah kantor kami masing-masing Noah masih dalam keadaan menahan tawa. Aku berjalan dengan menjaga jarak, bukan karena virus itu. Lantaran aku tidak ingin orang lain curiga dengan kedekatan kami. 

Mendengar fakta bahwa Noah ialah pemilik perusahaan Dylan, membuatku takut jika ada yang tahu tentang hubungan kami berdua.

Bukan karena apa-apa. Oh ayolah dia pemilik perusahaan ini. The most handsome man in the world pula. Aku tak mau menjadi sorotan di mana-mana. 

Menjadi kawan lamanya tidak membuatku tahu segalanya tentang Noah.

Alih-alh berusaha mencari muka dan berlagak songong dan pamer lantas tak membuat diriku berbangga dan puas. Aku lebih menikmati keberadaan diriku yang berada di sudut dan tak terlihat. Ketimbang harus memaksakan senyuman palsu supaya semua orang menyanjung. Orang baik pun tetap digunjing. Lebih baik tidak menjadi baik sekalipun. Kalau bisa jahat, kenapa tidak?

Tidak habis pikir aku akan bertemu dengan manusia yang dulu kerap menjahiliku. Kelucuan demi kelucuan yang menghiasi kenangan masa kecil kami sungguh aku merindukannya.

Bicara tentang masa kecil.

Apakah Noah sudah sembuh dari traumanya?

Apakah benar ia baik-baik saja?

Pertanyaan itu tidak sempat terlintas ketika bersama dengan Noah. Melihat wajahnya yang lebih hangat agaknya aku tidak harus mencemaskan keadaannya.

"Aku mencintaimu, Mika"

Kalimat itu.

Mengenai perasaannya terhadapku membuat jantungku berdesir.

Tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Apakah karena janji itu?!

Kepalaku berputar.

"Woi"

aku melompat kaget

“Woi, ngalamun terus, kesambut genderuwo lu?!” goda Alex.

"Sialan kamu"

"Hey, hey mbak anu sudah bisa logat gaul nih"

"Kerja, jangan makan gaji buta"

"

“Ssttt” segera kubungkam mulut Alex dengan tanganku.

“Nanti Mika ceritain pas makan siang ya”

***

Seperti waktu makan siang biasanya, bertemankan satu piring sayur asem lengkap dengan mendoan dan sambal terasinya. Sepiring nasi padang yang berada di masing-masing hadapan kami.

Suasana agak canggung melihat muka Alex yang biasanya absurd dan jorok itu tak muncul juga. Bahkan cara makannya yang berisik tak bisa membuatku protes. Terlalu canggung sampai kuurungkan untuk memberinya kabar tentang hubunganku dengan Noah.

Reaksi apa yang ia tampilkan. Bisa aku prediksi  Alex akan mengumpat padaku dan mengatai aku tukang halu yang ingin berpacaran dengan bos besar di perusahaan ini.

Aku menggeleng-geleng kepala dengan frustasi membayangkan mimik muka Alex yang akan menertawakanku.

Sudah tentu ia akan melakukan itu.

“Woi, kok gantian situ yang ngalamun” kataku berusaha mencairkan suasana

“Nggak, lagi ga enak badan gue” suaranya serak dan bergetar

“Cerita dong, katanya sesama kaum jancuk ga ada maen petak-umpetin rahasia” ku cubit lembut tangan kekarnya namun tak berhasil saking kerasnya.

“Diam bisa ga si Mik, pusing banget gue”

Ekspresi asing yang masih sulit kucerna mengingat ke-absurd-an manusia setengah alien ini yang tidak mengenal caranya bergundah-ria.

Aku merasa bersalah melihat mulutnya yang membentuk huruf ‘O’

Perutku serasa digelitik melihat badannya yang kekar berotot namu tingkahnya sangat kekanak-kanakan.

Ku genggam tangannya. Ku usap wajahnya yang memelas dengan cara yang dengan mudah mencairkan benteng pertahanan ku ketika melihat hal-hal yang sekiranya menggemaskan bagiku.

“Utututu sini peluk” Kataku sembari memaksakan diri duduk di kursi yang hanya muat untuk sepasang pantat saja. Ditambah pantatku yang seukuran lebih dari normalnya kaum hawa.

Persetan dengan orang-orang yang melihat kami yang tidak punya malu. Yah setidaknya kami masih memiliki kemaluan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status