Share

INGATAN MASA LALU

Katnis mematung di depan cermin sementara kedua pelayan sibuk mendandaninya sehingga tampil maksimal. Gaun cantik berbahan sutera serta manik-manik yang terbuat dari mutiara, terlihat sempurna di tubuh Katnis. Rambut lurus terurai dengan pola gelombang kecil di bagian bawahnya, nampak seperti putri kerajaan. Sebenarnya apa yang ingin mereka lakukan kepadaku, pikir Katnis. 

"Kau cantik sempurna Nona," ungkap salah seorang pelayan dengan tersenyum. 

Akan tetapi pujian itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap dirinya. Buat apa berpenampilan cantik kalau nantinya akan mati dibunuh oleh mereka, atau diperkosa secara bergantian, atau ... Argh, batin Katnis bergejolak. 

"Sudah Nona, mari ikut kami," ajaknya. Katnis berat melangkah dari tempatnya. Penampilanya yang sempurna seakan adalah momok yang menakutkan. 

Dengan didampingi dua pelayan yang berdiri di samping kanan dan kiri, Katnis berjalan menuju lantai satu. Di mana di sana sudah ada Tuan Almond dan para pengawal menunggunya. 

Anak tangga pun dilaluinya dengan perlahan, seakan dia berharap akan semakin lama sampai di bawah. 

Banyak pasang mata tertuju kepadanya dengan berbinar, menganggumi kecantikan Katnis yang memang sangat luar biasa. Termasuk Tuan Almond yang tersenyum lepas memandangnya. 

"Tidak salah, kau memang sangat cantik," ucapnya. 

Katnis menebar pandangan. Sepertinya tidak ada tanda-tanda untuk hal-hal yang ditakutkanya, pikir Katnis. Melihat semua pengawal nampak rapi tanpa ada yang memegang senjata di tanganya. Ya, mungkin ada mereka simpan di belakang pinggang. 

"Silakan duduk," kata Tuan Almond. Katnis pun duduk di depan meja yang sudah dipersiapkan dengan sangat indah. Penuh dengan hidangan makanan memadati meja. 

Tidak mungkin hanya untuk makan saja mereka sampai melakukan hal ini, batin Katnis. 

Tuan Almond duduk berhadapan denganya, dengan dikawal oleh anak buah yang berdiri di belakangnya. Namun, masih ada 1 kursi kosong, yang berada di sebelah Tuan Almond. Untuk siapa kursi itu? tanya Katnis dalam hati. 

"Jamuan terbaik, untuk perempuan paling cantik," ucap Tuan Almond yang sejak pertama kali melihat Katnis, dia selalu memujinya. 

Gatal sekali pria tua ini, batin Katnis. 

Tidak lama kemudian, suara nampak ramai. Seseorang telah datang. Tuan Almond berdiri dari tempatnya. Namun, itu tidak membuat Katnis tertarik untuk tahu siapa tamu yang membuat seisi ruangan ini menjadi ramai. 

Katnis hanya fokus pada dirinya yang akan terjadi setelah ini. Apakah dia akan masih dapat melihat indahnya dunia esok hari? pikirannya berkecamuk. 

Bersamaan dengan itu, suara bariton menegurnya,"Katnis Pamela." 

Bola mata Katnis membulat, terkejut pada seseorang yang menyebut lengkap namanya, yang tidak banyak orang tahu. Perlahan dengan wajah nanar, Katnis mendonga, menoleh ke arah pria yang menyebutkan namanya. 

"Gerry." Katnis tercengang, melihat sosok pria yang sangat dia kenal, ada di depan matanya. 

"Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Katnis penasaran. 

Laki-laki yang wajahnya juga tampan itu tersenyum memandang Katnis. "Sudah lama kita tidak bertemu," balasnya. 

"Jadi." Katnis memalingkan wajahnya ke Tuan Almond, lalu mengembalikanya kembali ke Gerry. 

"Beliau adalah papaku," ujar Gerry. 

Katnis pucat. Wajahnya berubah rona. Sekarang dia sudah tau apa kelanjutan nanti setelahnya. Gerry adalah teman lama Katnis semasa sekolah yang sangat menginginkan dirinya. Namun, karena Gerry memiliki sikap kurang waras, Katnis menolak untuk dilamarnya. Gerry terkadang berubah menjadi psikopat gila yang bisa melakukan apapun. Di depan mata Katnis, dia pernah membunuh temanya sendiri karena cemburu. Padahal, itu hanya salah paham. Dan kejadian itu membuat Katnis takut jika bertemy Gerry. 

"Aku yang menyuruh papaku untuk menghadirkan kamu dengan menyewa pembunuh bayaran untuk membawamu ke sini. Tapi, sepertinya ada sedikit kendala. Tapi, kamu tidak usah khawatir, aku sudah menyuruh anak buahku untuk membunuhnya," ujar Gerry. Semakin membuat Katnis ketakutan. 

"Gila! Aku nggak akan pernah mau menikah denganmu sampai kapanpun, Ger!" tegas Katnis. Gerry menanggapinya dengan tenang sambil tersenyum jahat. "Melihat kamu ada di sini, rasanya mustahil kamu akan menolakku kali ini." 

Katnis berkerut kening, ketakutanya semakin meningkat. "Kau laki-laki psikopat! aku nggak akan pernah mau menikah denganmu!" 

Gerry terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Keadaan sudah semakin memanas. Namun Katnis tidak bisa berbuat apa-apa. Pengawal Tuan Almond menjaganya dengan ketat. 

"Jangan rusak mood makan malamku, lebih baik kamu kembali duduk dan mari kita makan bersama," ujarnya. 

Katnis sudah hilang selera makan. Dia hanya diam dengan perasaan marah dan takut. Melihat laki-laki itu ada di depan matanya, membuat Katnis mual. 

Sementara Gerry dan Tuan Almond begitu lahap menyantap hidangan. 

"Jangan buat dirimu menderita dengan menahan lapar," ujar Gerry. 

"Aku lebih baik mati dari pada harus menikah denganmu!" balas Katnis sinis. 

Gerry menatapnya tajam. Lalu dia membanting sendok ke piring dengan keras. "Gadis bodoh! Jangan pernah kau berpikir bisa melawanku," ucapnya penuh dengan penekanan. 

Katnis berdebar jantung. 

****

Dalam ruang gelap di sebuah motel, Eden baru saja mengobati lukanya. Mengeluarkan timah panas yang bersarang di lenganya. Lalu dia membalutnya dengan perban. 

Eden membersihkan wajah, menatap cermin dengan pandangan tajam. Hatinya bergejolak, meronta untuk mengabaikan Katnis. Rasa bersalahnya atas pembunuhan yang dilakukanya beberapa minggu lalu, membuatnya merasa bersalah. Eden tidak tau kalau Tuan Rey adalah papanya Katnis. Dia hanya menjalankan perintah dari Tuan Almond yang sudah membayarnya. 

Rasa bersalah itu terus menghantuinya. 

Eden merebahkan diri di atas ranjang sambil memperhatikan kalung hati milik Katnis yang digenggamnya. Keinginan untuk segera meninggalkan tempat ini, terasa berat untuk dia lakukan. 

"Kenapa aku terus memikirkan gadis bodoh itu?" gumam Eden. 

Seketika, Eden teringat akan masa kecilnya. Di mana dia asik bermain dengan seorang perempuan yang baru datang dari kota lain. Kala itu, Eden sedang menangis karena tidak diajak bermain sepak bola oleh teman-temanya. Gadis kecil itu menghampiri dirinya yang sedang duduk memojok sambil menangis di bawah pohon di pinggir lapangan sepak bola. 

"Kenapa kau menangis?" tanya Gadis kecil itu. 

Eden tidak menjawab. Dia terus saja menangis. Lalu, gadis kecil itu menggandeng tanganya dan membawa Eden ke suatu tempat. 

"Kita mau kemana?" tanya Eden kecil. 

"Ikut saja, nanti kau juga tau," jawabnya, tanpa melepaskan tanganya dari Eden. 

Tiba di sebuah sungai kecil, gadis itu pun melepas tangan Eden. Lalu dia berlari, menuju pinggir sungai. 

"Ayo. Kemari," ajaknya. 

Perlahan, Eden menghampirinya. 

"Kenapa? Kau takut dengan air?" tanya gadis kecil. 

Eden mengangguk. Wajahnya nampak pucat kala melihat air. 

"Nggak apa-apa. Air nggak akan membunuhmu. Dia sangat bersahabat. Ayo." 

Eden menggelengkan kepalanya. Dia hanya melihat gadis kecil itu bermain-bermain dengan air tanpa takut sedikitpun. 

"Ayo," ajaknya lagi. 

Eden pun merasa penasaran. Dia berjalan pelan-pelan hingga ke bibir sungai. 

"Ayo sini." Gadis kecil itu mengajaknya untuk mendekat kepadanya. 

Eden ragu, namun akhirnya dia memberanikan diri untuk mendekat kepada gadis kecil itu. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Eden tergelincir hingga jatuh. Dan dia pun perlahan terbawa arus sungai. 

"Tolong!" teriaknya. Dengan cepat, gadis kecil itu berenang dan menolong Eden. Memang, sungai ini tidak terlalu dalam. Hanya karena Eden panik, sehingga membuatnya sulit untuk bangun dan melawan arus sungai. 

Wajah Eden pucat ketika gadis kecil itu membawanya ke pinggir sungai. 

"Terima kasih," ucap Eden. Gadis kecil itu tersenyum. Dan kemudian, dia pun pergi meninggalkan Eden. 

"Hei, aku belum tau siapa namamu?" panggil Eden, gadis itu membalik tubuhnya tanpa berhenti berjalan. 

"Esok kita berjumpa lagi di sini. Dan aku akan memberitahu namaku," balasnya. Eden tersenyum. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status