Share

Anger Lighters

"Sabar, Edward. Mungkin terjadi sesuatu yang membuat Rosie akhirnya telat." Ucap Alice mencoba meredakan emosi sang kekasih.

"Tapi, dia seharusnya kan bisa mengirim pesan atau telpon padaku untuk memberi kabar." Gerutu Edward masih menatap pintu keluar apartemen dengan kesal.

Akhirnya sosok yang ditunggu muncul juga. Berjalan santai keluar dari apartemen dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Masuk ke kursi belakang tanpa menyapa kedua orang yang sudah menunggunya seperti orang bodoh.

"Rosie, senang bertemu denganmu. Aku Alice." Alice membalik tubuhnya ke belakang lalu memanjangkan tangannya untuk bersalaman.

"Aku Rosie." Ucap gadis itu singkat, membalas uluran tangan itu cepat dan asal saja.

Edward mendengus kesal melihat tingkah bocah yang baru datang. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sopan santun yang Rosie tunjukkan. Tapi Edward tidak mengatakan apapun, karena itulah yang paling mudah baginya, dan langsung tancap gas menuju restoran.

"Rosie, aku dengar kau bersekolah di SMA Nusa? Kebetulan aku juga memiliki saudara yang sekolah di situ. Namanya Milly. Apa kau kenal?" Alice berkata dengan ramah ketika mereka sudah duduk di restoran dan memesan makanan.

"Tidak." Satu kata singkat yang terdengar ketus keluar dari bibir gadis remaja itu. Dia bahkan tidak mau repot membalas senyum Alice. Bagi Rosie perempuan yang duduk di depannya ini sangat menyebalkan.

Lebih menyebalkan dari pada sosok pria yang duduk di sebelahnya. Senyum Alice meredup merasakan aura tidak bersahabat dari Rosie. Kemudian Alice berhenti mencoba bicara dengan gadis cantik tapi jutek itu. Rosie makan dengan tenang hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali kecuali dari alat makan yang ia pakai.

Edward menukar mangkuk berisi es krim vanila miliknya dengan milik Alice.

"Kau kan tidak suka choco mint." kata pria itu menjawab pertanyaan tersirat Alice atas tindakannya.

"Terima kasih, Edward." Alice tersenyum malu dengan pipi merona. Edward balas senyum lalu mereka mulai makan hidangan penutup itu. Rosie yang menyaksikan drama sepasang kekasih itu cuma memutar bola matanya.

"Norak." Desis Rosie mencemooh.

Satu jam kemudian mereka sudah tiba di butik. Terlambat dari jadwal yang dijanjikan tentu saja. Mereka langsung bergegas mencoba baju yang akan dipakai di pernikahan Nyonya Eliza dan Tuan Lewis. Edward lah yang paling cepat selesai karena dia hanya mencoba dua setel tuksedo hitam dan abu-abu.

Edward sedang duduk sembari memeriksa ponsel pintar miliknya jika saja ada pesan penting dari ayah atau temannya yang lain. Ternyata ada pesan dari Bibi Eliza.

Bibi Eliza

Edward, tolong jaga Rosie untuk hari ini. Bibi tahu kalian belum akrab, tapi berusahalah untuk mengenalnya lebih dulu. Rosie memang kadang terlihat jutek dari luar, namun sebenarnya dia anak yang manis. Mohon bantuannya, Edward. Bibi

mengandalkanmu.

Baru sedetik pria itu selesai membaca pesan itu, terdengar suara teriakan dari ruang ganti wanita. Suara Alice.

Langsung saja Edward berlari masuk ke ruang ganti karena khawatir. Kekasihnya sudah tersungkur di lantai sambil memegangi lengannya yang berdarah.

Alice bergitu kesakitan karena luka lebar di lengan kirinya terus mengeluarkan darah segar. Gaun putih yang ia pakai menunjukkan noda kemerahan di beberapa bagian.

"Edward." lirih Alice dengan mata nanar.

"Alice!" Edward berlutut di sebelah kekasihnya untuk memeriksa luka itu. Cukup besar dan parah. ia langsung berpaling menatap Rosie.

Gadis itu sejak tadi hanya berdiri terpaku dengan ekspresi dingin. Kedua tangan Rosie tersilang di dadanya.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA ALICE?!!"

Edward merupakan salah satu orang yang paling jarang-hampir tidak pernah-marah. Mungkin karena ia tahu diri hanya seorang anak hasil adopsi. Edward merasa wajib menjaga sikap dan perilakunya di depan orang lain. Hal itu menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging.

Tapi, sejak Rosie muncul di hidupnya Edward seperti kehilangan kemapuan untuk menahan diri. Gadis itu layaknya pemantik, memicu kobaran api di diri Edward. Itu bukan hal yang bagus.

"Salah sendiri kenapa dia memaksaku. Aku sudah bilang tidak perlu bantuan. Jangan sok baik seperti itu, membuatku muak saja!" cibir Rosie penuh kebencian. Tak ada setitik pun ketakutan, apa lagi rasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan. Memang Rosie tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Alice saja yang sok baik memaksa menolongnya waktu rambut Rosie tersangkut di manik-manik gaunnya.

Rosie bilang tidak perlu bantuan sejak awal. Dengan sopan, tentu saja pengertian sopan menurutnya sendiri. Tapi, Alice dengan jiwa sok baiknya itu terus memaksa sampai mereka saling tarik menarik dan akhirnya Alice berakhir di lantai karena dorongan yang terlampau kuat dari Rosie.

Rosie membanting pintu di belakangnya untuk melampiaskan amaranya. Tanpa mengucapkan salam pada pemilik apartemen, memang tidak perlu, gadis cantik itu menghempaskan tubuh letihnya ke kasur Claire..

"Aish, kau kenapa?" tanya Claire keheranan. Gadis kurus berambut silver itu sedikit bergeser supaya cukup ruang untuk pendatang baru.

Annette yang sedang duduk di kursi belajar sambil memainkan game di komputer, Claire memutar kursi itu supaya bisa menghadap dua sahabatnya di kasur.

"Tidak usah banyak tanya. Pasti, karena kakak tirinya lagi." Tebak Annette asal namun tepat seratus persen.

"Ah! Dia benar-benar menyebalkan! Aku ingin sekali memakan ususnya." dengus Rosie dengan wajah merah padam. Mata hazel-nya menatap lurus ke dinding di belakang Annette, membayangkan wajah menyebalkan Edward dan Alice.

"Kalau itu kami sudah tahu. Alasannya apa?" desah gadis ber-kontak lensa abu-abu mendekat pada Rosie. Mengelus rambut juga punggung tegang sahabatnya. Rosie bergantian menatap Claire dan Annette. Keduanya menunjukkan raut wajah penasaran dan Rosie mengerti ia tidak punya pilihan lain selain bercerita kejadian di butik.

Walaupun enggan untuk kembali mengingat momen menyebalkan itu, Rosie toh bercerita juga.

"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutat pada game di komputer.

"AISH!"

Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikal warna coklat gelap kebanggaannya.

"Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status