Share

Another sweet side

"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkahbapa yang baru saja pendengarannya tangkap?

"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi.

"Terima kasih, Alice." 

Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.

Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbaris rapih. 

***

Mereka baru selesai nonton film. Sekarang sedang berkeliaran di mall untuk mencari tempat makan. Annette bilang mau makan pasta, tapi Rosie dan Claire kompak ingin pizza. Di sana, mereka tanpa sengajabbertemu dengan David, teman satu kelas mereka yang kebetulan tengah mencari makan. 

''Kenapa sih aku selalu harus menuruti kemauan kalian?" protes Annette yang berjalan di belakang Rosie dan Claire. Si jangkung menendang-nendang udara kosong di depannya karena kesal tidak bisa makan pasta.

"Kita kan selalu mengikuti suara terbanyak, Annette." Sahut Rosie menoleh sekilas untuk  menyunggingkan seringai jahil pada si paling muda.

"Siapa suruh seleramu selalu beda dengan kami? Lagian pasta dan pizza kan tidak beda jauh." sahut Claire tanpa menoleh. David yang mendengar itu hanya tertawa kecil. Tiga sejoli memang tidak pernah berubah walaupun ada di mana-mana, tingkahnya persis seperti di sekolah.

Annette mengerucutkan bibirnya. Tidak pernah ia bisa menang melawan dua penyihir ini. Kadang ia menyalahkan diri sendiri karena berteman dengan gadis yang cerewet dan super menyebalkan seperti Rosie dan Claire. Cuma kalau dipikir-pikir mungkin ini sudah takdir. Dirinya hanya bisa menerima dan mengelus dada. Sabar.

Karena sejak tadi David berjalan menunduk seraya memainkan ponsel, David tidak tahu bahwa Rosie berhenti sehingga ia tak sengaja menabrak gadis itu.

David mendongak dan menemukan seorang pemuda berdiri tepat di depan Rosie. Pemuda itu menatap Rosie dengan ekpsresi tenang namun garang.

"Ayo pulang." kata si pemuda dingin.

"Aku tidak mau! Siapa kau memerintahku?!" Pemuda itu menarik lengan Rosie untuk mengikutinya sambil dengan tenang bicara.

"Jangan keras kepala, Rosie. Ayo pulang."

Rosie tentu saja melawan. Ditambah Claire juga ikut membantu melepaskan Rosie dari pria itu.

"Lepaskan!"

"Eh, siapa kau main membawa anak orang sembarangan?! Kau mau bawa Rosie ke mana? Jangan macam-macam kau." Tantang Claire tidak sadar kalau tubuhnya hanya sehelai tisu dibanding tubuh tegap berotot pria itu.

"Aku Edward Quin. Kakaknya Rosie. Dia harus pulang sekarang. Ibunya pasti khawatir."

Setelah mendengar kalimat itu sontak Claire berhenti melawan. Agaknya bingung dengan apa yang harus di lakukan pada keadaan saat ini.

"Lepaskan aku!" Rosie masih berusaha

dengan putus asa melepaskan tangan

Edward dari pergelangan tangannya.

"Kau harus pulang." Perintah Edward tak mau menyerah.

Namun, tarikan Edward harus dipaksa berhenti hingga membuat pemuda itu terdiam. Mungkin juga terkejut. Alasannya adalah David sudah ada di antara Rosie dan Edward, tangannya mencengkram tangan Edward untuk melepaskan Rosie.

"Lepaskan." David menatap Edward tajam. Baik Rosie dan Claire bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti dua pemuda itu. 

David yang lebih tinggi beberapa senti dari Edward tidak menemukan kesulitan untuk melayani adu tatap yang Edward mulai. Tidak ada yang mau mengalah. Pegangan David makin kencang seiring

mengencangnya juga cengkraman Edward pada Rosie.

"David, cukup. Lepaskan. Aku akan pulang sekarang." Desahan Rosie akhirnya mengalihkan tatapan dingin David dari Edward. Dia memandang Rosie agak tidak yakin dengan keputusan gadis itu.

"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Lagian sudah sore, aku harus pulang." Sambung Rosie karena David masih belum melepas Edward.

Akhirnya David mengendurkan cengkramannya sampai tangan Edward terlepas sempurna. Seulas senyum simpul yang tulus tersungging di bibir Rosie untuk kedua sahabatnya.

"Aku pulang duluan, Claire, Annette, dan David."

Rosie mulai melangkah menjauh dari tiga sosok manusia tersebut. Edward dengan tenang dan langkah perlahan memimpin gadis itu keluar dari area mall. Telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengarkan kalimat perpisahan antara sahabat.

"Telpon aku saat kau tiba di rumah." ujar David setegah berteriak lantaran jarak Rosie sudah cukup Jauh. Gadis itu hanya berbalik dan tersenyum kecil sebagai jabawan.

Kalau Claire dan Annette tidak bisa berkata-kata akibat insiden mengejutkan yang barusan terjadi. 

''Gawat. Kakak tirinya Rosie sangat tampan." desah Claire kala Rosie sudah menghilang dari pandangan.

***

Mereka dalam perjalanan pulang setelah kejadian menegangkan di Mall. Edward benci dirinya sendiri karena telah membuat masalah makin runyam. Rosie memang berhasil dia temukan tapi Edward yakin gadis itu makin murka padanya.

Dari mulutnya yang cemberut sampai mata yang menatap Edward sinis, semua tanda jelas menyatakan Rosie membencinya. Edward mendesah pelan. Menyesali perbuatannya barusan. Biasanya ia paling pandai mengatur emosi, tapi sudah kukatakan, kan? Rosie Wilkins adalah sebuah pengecualian.

"Maafkan aku." ucap Edward tanpa menoleh. Dari nada bicaranya harusnya cukup menggambarkan betapa menyesalnya ia dan tulus permintaan maaf ini. Namun, Rosie bukanlah si gadis pemarah tanpa alasan.

Tak ada tanggapan. Sejak tadi masuk ke mobil Rosie memperlakukan Edward seperti pemuda itu transparan. Si gadis cantikbmendecak kesal dan makin membuang muka.

"Rosie, aku benar-benar menyesal dan minta maaf atas kejadian di butik dan di Mall. Aku tidak bermaksud memojokkanmu. Semua terjadi di luar kendaliku-baiklah sebenarnya aku bisa mengendalikannya, tapi aku tidak tau kenapa hari ini emosiku sulit terkendali. Maafkan aku, Rosie."

Edward akhirnya mecoba menatap gadis yang sama sekali tidak menghiraukannya. Berusaha keras membagi konsentrasi antara jalanan dan sosok yang membelakanginya. Tidak ada jawaban.

"Baiklah. Sebagai permohonan maafku aku akan mentraktirmu makan malam. Kau pasti belum makan, kan?"

Rosie berpaling. Melemparkan sorot tajam pada orang yang ia benci seraya berkata, "Aku bukan gelandangan dan aku tidak lapar!"

Hanya sepersekian detik setelah mulutnya terkatup menyelesaikan kalimat sinis tersebut, perut kecilnya meraung-raung. Itu menghasilkan gelak tawa dari lawannya.

"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.

Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendela sambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.

Tentu saja salah besar. Karena Jaebeom bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil.

"Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status