Share

Secret of sneaking

"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanya akting.

Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidak

nyaman."

Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'

Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yang

sangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.

***

Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranjang besar nyaman dan kamar barunya yang terlalu luas dibanding miliknya yang lama. Dia menatap plafon berwarna krem berhias lampu gantung mewah dari perak. Walaupun sudah beberapa hari menempati kamar itu, dia masih kagum dengan segala perabot mewah yang ada di sana. Ayah tirinya memang konglomerat. Tak diragukan lagi.

Rosie mandi. Berpakaian dengan cepat karena jam digital sudah menjukkan pukul setengah delapan. Gadis yang rambutnya di kucir pony tail melenggang santai ke ruang makan. Di sana dia melihat Ayahnya sedang duduk di kursi utama, Ibunya sibuk menata makanan dan ada satu sosok lagi.

Seorang pria. Rosie tidak mengenalinya karena pria itu duduk membelakanginya. Rambut hitam sedikit basah ditata rapih, punggung lebar berbalut kemeja abu-abu muda melekat sempurna, ciri-cirinya

mengarah pada seseorang.

"Terima kasih, Bu." Edward berkata setelah Nyonya Quin meletakan sup di depannya.

EDWARD QUIN! Apa yang pria itu lakukan di sini? Sepagi ini? Di rumahnya?!

"Rosie, kau sudah siap? Ayo sarapan bersama dulu," Nyonya Quin tersenyum padanya.

Rosie duduk di kursinya yang biasa di sebelah kiri Tuan Lewis. Dan di sebelah Edward. Tuan Lewis melipat koran, meletakkannya di meja. 

"Rosie tidurmu nyenyak?" ia bertanya dengan tulus karena tahu Rosie belum terbiasa dengan rumah baru ini.

"Iya, A-ayah. Aku mulai terbiasa sepertinya."

"Baguslah. Bilang saja kalau kau masih sulit tidur. Mungkin kita harus mengganti dekorasi kamarmu," Sang Ayah tersenyum hangat lalu menyuap sup ayam yang masih mengepul.

"Ya," Rosie juga tersenyum.

Lalu, Tuan Quin berkomentar tentang rasa sup ayam itu disambut kikikan malu-malu dari istrinya. Pasangan pengantin baru rerlihat sangat mesra dan bahagia. Mereka mengacuhkan kedua anak layaknya mereka tak kasat mata. Dasar budak cinta.

"Rosie sayang, hari ini kau diantar Edward dulu ya. Pak Edi sedang cuti, istrinya sakit," Nyonya Quin tiba-tiba berkata.

Rosie agak terperanjat tapi masih bisa

mengontrol ekspresinya. "Baik, Ibu."

"Tidak merepotkan Edward, kan?"

"Tidak sama sekali, Bu. Lagi pula kampusku dan sekolah Rosie satu arah."

''Ah, aku sampai lupa. Rosie mulai sekarang Edward akan tinggal di sini. Bersama kita."

Kali ini Rosie tidak bisa mengontrol ekspresinya. Mulutnya-yang masih penuh nasi terbuka. Mata sipitnya melotot. Hal ini di luar dugaannya. Tadinya dia tenang-tenang saja saat memikirkan akan pindah ke rumah baru bersama keluarga baru. Ia tahu Kakak tirinya itu punya apartemen sendiri di dekat kampusnya. Jadi, Rosie hanya akan tinggal bersama Ibu dan Ayahnya. Hal itu masih bisa ia tangani.

Tapi, kalau pemuda menyebalkan itu juga harus tinggal bersama, Rosie sanksi bisa mengatasinya. Ia suka pergi dengan sahabatnya sampai larut malam. Ia juga suka melakukan pekerjaan, kadang sendiri, kadang bersama Claire, sampai dini hari. Ayah dan Ibunya mudah dikelabui. Tapi, Edward? Rosie tidak yakin.

"Y-ya,"' adalah jawaban singkat pasrah dari Rosie.

"Ayah dan Ibumu takut kau kesepian kalau kami pergi untuk perjalanan dinas. Selain itu kalian juga bisa lebih cepat akrab kalau sering ketemu, kan?" itu Tuan Quin menyahut kembali.

"Iya, Ayah. Itu sempurna," padahal ia berpikir sebaliknya.

***

"Mulai sekarang hidupmu akan makin sulit, anak muda," seloroh Claire sambil nyengir kuda.

Rosie baru saja menceritakan kejadian pagi ini. Dia awalnya ingin meminta solusi, tapi sahabatnya malah mengejek dan terlihat menikmati penderitaanya.

"Aku benci pria itu,"  desis Rosie membayangkan wajah Edward.

"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula, kau tidak akan kerja lagi dan hang out bersamaku dan Annette bisa diatur. Kau bukannya pernah menyelinap dari rumah saat ibumu sedang tidur, kan? Skill kau itu sudah tingkat dewa jadi berhenti khawatir, Rosie." Claire merapihkan rambut kebanggaanya di depan cermin kecil yang selalu ia bawa.

Rosie memutar bola mata. Jengkel karena Claire tidak bisa menangkap kegelisahan yang ia rasa tentang Edward Quin. Pemuda itu, ada sesuatau tentang pemuda itu yang membuat Rosie was-was. Dia punya firasat kalau Edward akan jadi duri dalam kehidupannya.

***

Sepertinya Claire benar. Rosie terlalu kuatir atas hal yang tidak penting. Dua minggu dirinya satu atap dengan Edward tidak ada hal buruk terjadi. Rosie masih bebas keluar malam, tentu dengan menyelinap, untuk hang out dengan sahabatnya. Kadang juga ia datang ke pesta yang temannya adakan hingga dini hari.

Tidak pernah sekalipun ia kepergok. Sekali lagi Claire benar. Skill menyelinapnya sudah tingkat dewa. Bagi Rosie itu hal yang patut dibanggakan.

Malam ini juga ia akan pergi ke klub malam, hanya dengan Claire pastinya, karena Annette tidak pernah tahu hobi rahasia kedua sahabatnya yang ini.

Rosie memeriksa lagi rambut hitamnya yang sekarang dicepol ke atas. Mini dress hitam ketat yang mempertontonkan bahu mulus juga paha berisinya ia tutup dengan coat coklat panjang se lutut. Wajah cantiknya dilapisinmake up agak tebal untuk menyamarkan usianya.

"Sempurna," ucapnya menyeringai puas pada diri sendiri. Dia melihat layar ponselnya untuk memeriksa pesan dari Claire.

Claire

Aku udah di depan. Cepat!

Rosie tidak membalas pesan itu lantas menyelipkan ponsel pintar di saku jaket dan keluar kamar mengendap-endap.

Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.

Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.

Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas.

"Rosie?"

Sejenak gadis itu membeku. Terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status