Share

Rosie hated Edward

Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.

Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.

Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas.

"Rosie?"

Sejenak gadis itu membeku. Terkejut.

"Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk.

"Apa yang kau lakukan?" tanya pemuda itu menelisik penampilan dan tingkah mencurigakan adik tirinya. Mata hitam Edward memang terlihat menatap wajah pucat yang tengah terbelalak, tapi ia bis melihat tatanan rambut, sepatu hak tinggi ditentengan gadis itu, dan yang paling kentara pastinya make up tebal di wajah itu.

Otaknya, ayolah bekerja. Berikan alasan apapun.

"Aku, ma-mau belajar kelompok! lya. Aku mau belajar kelompok dengan Claire."

Tentu saja alasannya lemah tapi Rosie sudah tidak mungkin meralatnya.

"Jam segini?"

"ltu-"

"Dengan dandanan yang seperti itu?"

"Itu-"

"Tanpa membawa buku pelajaran?"

Tiga pertanyaan Edward adalah peluru yang mematikan Rosie. Membuatnya game over.

"Seperti ini, Kak Edward. Jadi, sebenarnya ada temanku yang berulang tahun. Dan, aku harus datang untuk memberi selamat." Rosie meringis sok manis. Berharap Edward akan memercayainya meski itu terdengar mustahil.

"Apa kau sudah minta izin pada Ibu?" sejak tadi Edward bertanya bukan karena tidak tahu. Dia tahu apa yang coba gadis itu lakukan.

Meski sekarang terlihat kalem dan baik, Edward juga pernah ada di masa puber, masa ketika ia suka membangkang.

"Te-tentu sudah." Sebuah kebohongan yang begitu nyata.

"Baiklah. Aku akan mengantarmu. Sekarang sudah malam. Berbahaya kalau kau berangkat sendiri." Edward tersenyum hangat. Ia lalu melangkah menuju pintu depan.

"Edward Quin!" desis si gadis sudah tak tahan. Ia tahu Edward ingin bermain 'pura-pura tidak tahu' dengannya. Rosie muak dengan tingkah sok baik Edward.

Edward berbalik pada adik tirinya yang sudah berkacak pinggang. Air mukanya terlihat jengkel pada Edward.

"Hmm?"

"Jangan pura-pura bodoh, Tuan Edward. Aku tahu apa yang sedang kau lakukan dan aku tidak akan mengikutinya. Berhenti ikut campur urusan orang lain, kau menyebalkan sekali! Aku akan pergi dan kau tidak akan mengantarku. Jadi, lebih baik kau masuk lagi ke dalam kamarmu dan anggap kita tidak pernah bertemu di sini," geram sang adik tiri panjang lebar.

Bagi Rosie, Edward sudah melihat semuanya. Well, hampir-dan tidak ada alasan lagi untuk berpura-pura baik. Lagi pula, ada sesuatu tentang Edward yang membuatnya muak hingga tidak sudi bahkan hanya untuk berpura-pura.

Pandangan Edward buruk tentangnya? Masa bodoh! Lagi pula apa yang bisa dilakukan pemuda itu kalau tahu kepribadiannya yang asli? Tidak ada.

"Aku hanya khawatir akan keselamatanmu dan mau mengantar saja. Kau punya tempramen yang buruk untuk ukuran seorang gadis. Kau sadar?" nada bicara Edward juga mulai naik.

Gadis itu tertawa mengejek. Dengan sengaja bermaksud menyinggung Edward.

"Aku lebih melihatnya sebagai tindakan penasaran terhadap urusan orang lain. Kuingatkan padamu, Edward. Jangan sok baik dan suka ikut campur urusan orang lain. Kau sangat menyebalkan!" serang si gadis remaja menatap sinis.

Edward terpana. Melihat seorang gadis, masih remaja, dengan watak emosional dan sikap kasar seperti ini baru pertama kali dalam hidupnya. Menurutnya tidak ada yang salah ketika seorang kakak kuatir pada adiknya-meski cuma adik tiri. Tapi, tanggapan Rosie terlalu berlebihan

seperti Edward telah melanggar privasi pribadinya saja.

Memang tidak seharusnya, tapi Edward mulai membenci gadis di depannya. Rosie berjalan pelan mendekat, dia berhenti hanya beberapa senti dari Edward. Seringai jahat menghiasi bibir berlapis lipstik merah menyala. 

"Kalau kau sudah mengerti, aku pergi dulu, Kak Edward." Gadis itu menepuk-nepuk pucuk kepala Edward layaknya pemuda yang jauh lebih tinggi darinya adalah anjing peliharaan.

Rosie melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar dapur. Dia kembali berbalik, menatap punggung lebar kakak tirinya.

"Jangan coba beri tahu Ibu dan Ayah hal ini, Edward. Atau kau akan menyesal." Ancaman itu terucap berbalut nada yang manis. Namun, tetap saja tidak bisa menutupi aura mencekam yang menyelimutinya.

***

"Kau benar-benar menjadi cinderella," decak kagum sudah Claire lontarkan sembari memandangi berbagai perabot mewah di kamar itu. 

Dia masih terperangah sambil geleng kepala melihat lampu gantung chandelier dari kristal dipasang di kamar tidur. Bukan di ruang tamu, tapi kamar tidur. Keren!

"Aku bukan cinderella! Ini bukan cerita dongeng! Kalau pun memang kisah dongeng, aku adalah maleficent," tukas Rosie agak jengkel tanpa menoleh pada sahabatnya.

"Kalian harusnya tidak terkejut lagi kalau tahu Quin's Grup menguasai empat puluh persen bisnis properti di Indonesia. Ayah tiri Rosie itu super kaya dan terkenal," sambung Annette lalu pindah rebahan ke samping Claire. Dia lanjut membaca buku paket matematika di halaman penghabisan.

Ketiga sahabat sedang berkumpul di kamar Rosie sore itu. Mereka biasanya berkumpul di apartemen Claire, gadis itu tinggal sendiri jadi terasa lebih bebas. Tapi, berhubung Rosie sudah punya kamar baru super mewah, Claire dan Annette memutuskan tempat ini adalah markas baru mereka.

Claire dan Rosie menoleh kaget bercampur penasaran pada Annette. 

"Kau tahu dari mana?" tanya mereka kompak. Annette selalu tau hal yang tidak diketahui dua sahabatnya. Si paling muda menghela nafas seperti kelelahan.

"Semua orang tahu hal itu. Kecuali kalian. Makanya sudah aku bilang jangan follow akun lambe nyinyir saja. Tidak ada faedahnya!" cibir gadis itu santai.

Rosie dan Claire menatap Annette dengan sorot mencela. Masih suka sakit hati kalau dengar kalimat salty gadis jangkung itu. Padahal mereka followakun gosip supaya tetap up to date tentang dunia entertaiment. Itu adalah dalih mereka, yang terjadi sebenarnya adalah mereka suka nge-ghibah bahkan nyinyir kalau ada berita selebriti update.

"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untuk menatap langsung gadis itu.

"Seminggu. Ada apa?"

"Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu.

"Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis.

"Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka."

"Tidak akan pernah."

Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwa Rosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.

Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status