Share

Satu: Papa

Siapapun yang mendengar, pasti akan tutup mata dan tutup telinga, seakan merekalah yang menjadi sasarannya. Nyatanya, korban yang sebenarnya hanya bisa mengernyit setiap kali cambukan itu mendarat di tubuhnya. Tidak ada keluhan, tidak ada desahan. Bahkan, sejauh yang bisa diingat, ia sama sekali tidak bernapas, seakan bernapas hanya akan menambahkan rasa sakit. Baginya, diam adalah cara terbaik.


"Nggak guna! Pembawa sial!" Maki lelaki bertubuh gempal sambil memainkan sabuk kulitnya yang panjang dan telah cukup usang. Bukan karena sering dipakai sebagaimana seharusnya. "Telat 10 menit, 10 cambukan. Gue udah bilang berkali-kali, 'kan? Gara-gara lo telat, gue jadi telat makan. Perut gue sakit. Tambah 10 cambukan."


Meski seharusnya menerima 20 cambukan dari dua kesalahan, tapi nyatanya yang didapat lebih dari itu. Tak ada keluhan, karena satu kata keluar dari mulutnya hanya akan mendatangkan 10 cambukan lainnya. Menerima adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keringanan hukuman.


Nafas berderu cepat keluar dari hidung dan mulut lelaki gempal beraroma alkohol itu. "Sana, masakin gue. Gue tunggu 30 menit. Telat 5 menit, lo nggak makan malem hari ini." Ia membalikkan badan dan keluar dari ruangan persegi yang luasnya tak lebih dari 2.5x2.5 meter. Ruangan yang telah menjadi saksi bisu selama belasan tahun.


Tak mau buang waktu. Perempuan bertubuh kecil akibat perkembangan yang terhambat karena penderitaan sejak kecil itu bangkit secepat mungkin, tak ada ringisan, tak ada desahan, tak ada suara. Bungkam. Sesulit apapun ia menggerakkan tubuhnya. Sesakit apapun setiap mili tubuhnya. Tak ada yang boleh ia tampakkan di depan lelaki gempal pemabuk itu. Ia akan semakin dimaki. Lebih buruknya, disiksa tanpa ampun.


Ia membuka kulkas, melihat bahan seadanya. Sebuah terong ungu, dua tahu berbentuk persegi, sepertiga papan tempe, seikat bayam, dan sebutir jagung. Meski masih 12 tahun, ia tahu apa yang harus dilakukan. Beruntungnya, lelaki bertubuh gempal itu tidak pilah-pilih makanan, melahap semua yang ia masakkan, sekalipun rasanya tak begitu sedap. Ia tahu bahwa lelaki bertubuh gempal itu memang memiliki kelainan indera pengecap akibat sebuah kecelakaan di masa lalu.


Sesekali melirik pada jam dinding di ruang tengah, tempat lelaki itu duduk-duduk santai bersama beberapa botol alkohol sambil sesekali tertawa terbahak oleh hiburan dari televisi. Masih ada banyak waktu. Ia berlama-lama sedikit untuk menyelesaikan semua masakannya. Jika ia selesai 10 menit lebih cepat, ia akan disiksa karena dituduh masak sembarangan dan menaruh racun. Maka, ia menyelesaikan semua masakannya pada menit 27, dan semua sudah selesai ia hidangkan di meja makan.


"Pa, makan malamnya udah jadi," ungkapnya dengan suara lantang, namun tetap merendahkan suaranya.


Lelaki itu berdiri, lalu membalikkan badan dan berjalan menuju meja makan. Ia berhenti di depan perempuan kecil yang memanggilnya 'papa'. Ia menaruh tangan besarnya di atas kepala anak itu, dan berkata, "Malam ini kamu boleh makan makanan sisa."


"Terima kasih, Papa." Ia tersenyum tulus


Meski diperlakukan layaknya anjing liar yang diberi makanan sisa, anak itu tetap berterima kasih. Baginya, makanan sisa adalah sebuah berkah. Makanan sisa yang didapatnya malam itu, mungkin saja akan memberinya tenaga sampai kembali bertemu dengan malam


🦋


Sepertinya baru saja terlelap. Perempuan itu membelalakkan mata ketika terdengar gebrakan pintu yang sangat keras dan teriakan banyak lelaki. Perempuan itu langsung melompat dari kasurnya yang hanya berupa tikar plastik yang mulai usang. Ia bergegas ke pintu, namun pintu itu dikunci dan sekeras apapun ia mencoba untuk membukanya, ia tak bisa. Ia ingat, sore sebelumnya ia dikurung di kamarnya karena memecahkan sebuah gelas yang sebenarnya itu adalah gelas miliknya.


"Papa!" Ia berteriak, mencoba memanggil lelaki bertubuh gempal itu sambil memukul-mukul pintu. "Papa, ada apa? Buka pintunya, Pa!" Sekalipun lelaki itu telah menyiksanya, ia masih memiliki kecemasan terhadap nasib lelaki itu. Baginya, lelaki yang ia panggil 'papa' itu adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Ia ingat pesan sang bunda, bahwa ia harus menjaga papanya apapun yang telah diperbuat.


"Adianto Mahavir, Anda kami tangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap istri Anda, Mawar Suryaningsih, dan penganiayaan anak terhadap Jolanka Mahavir. Anda dilarang melawan, namun Anda berhak memanggil pengacara atau ahli hukum setelah ini."


Suara milik laki-laki berusara bariton itu menggelegar di dalam rumah kecil yang langit-langitnya pun rendah, hingga suara sekecil apapun akan langsung terdengar hingga ke kamarnya yang berada di dekat dapur. 


"Papa! Papa! Jangan bawa Papa pergi!" Ia berteriak keras sambil menggedor-gedorkan pintu kamarnya. "Papaaa!" Ia kini menjerit. Tak kuasa menahan air mata. Bahkan, selama ini ia tak pernah menangis meski dimaki maupun disiksa. "Jangan tinggalin Jo, Pa! Buka pintunya, Pa! Jangan tinggalin Jo! Papa!"


Lelah berteriak, perempuan itu jatuh lemas di belakang pintu sambil menangis terisak-isak. Ia bahkan tak bisa lagi memfokuskan telinga untuk mendengarkan kegaduhan di ruang tengah yang disebabkan oleh amukan lelaki bertubuh gempal bernama Adianto Mahavir. Ia takut ditinggalkan. Ia sudah ditinggalkan sang mama beberapa minggu lalu. Ia tidak mau lagi ditinggalkan oleh satu-satunya keluarga yang ia punya, tak peduli ia akan disiksa sedemikian rupa. Ia hanya ingin memiliki 'keluarga'. 


Terdengar beberapa suara di balik pintu, membuat perempuan itu mendangak dan menatap pintu seakan dapat melihat tembus pandang. Kunci dibuka dua kali, lalu pintu itu terdorong ke arah dalam dengan perlahan-lahan. Perempuan itu masih bersimpuh di atas lantai, seketika air matanya berhenti mengalir lantaran melihat sepasang mata dingin yang entah bagaimana terasa hangat.


"Kamu bisa berdiri?" Lelaki pemilik mata dingin itu ternyata tak hanya memiliki tatapan yang hangat, tapi juga memiliki suara yang lembut dan hangat hingga terasa sampai ke lubuk hati.


"Namamu Jolanka Mahavir, 'kan?" Lelaki itu berlutut di depannya, mengulurkan tangannya yang besar ke hadapannya. 


"Apa yang kalian lakukan pada Papa?" Kalimat tanya yang tak pernah ia ucapkan pada siapapun. Selama ini, ia tak diperbolehkan bertanya, seakan ia tak layak untuk tahu. Tapi, kali ini ia harus melakukannya demi papanya.


Lelaki itu melepas jaket merah maroon miliknya, lalu membungkus tubuh kurus dan mungil perempuan di hadapannya. "Papamu harus kami bawa ke kantor polisi karena kami mendapatkan laporan bahwa papamu sudah membunuh ibumu dan menyiksamu."


"Tapi, Jo nggak punya siapa-siapa kalau Papa dipenjara." Seketika, air mata yang sebelumnya sempat terhenti itu kembali mengalir. "Jo tahu Papa salah. Tapi, bukannya setiap orang pasti melakukan kesalahan? Mama selalu bilang gitu. Kenapa kalian ambil Papa dari Jo?" Tangisnya pecah. Ia menangis dengan raungan yang menyayat hati.


Lelaki bermata dingin itu mendekatkan tubuhnya dan memeluk perempuan kecil itu dengan lengannya yang besar. Pelukan hangat yang seakan ikut merasakan sakitnya hati yang dirasakan perempuan kecil itu. Meski perempuan itu tak membalas pelukannya, tapi ia semakin menguatkan pelukannya dengan hati-hati, seakan takut perempuan ini hancur remuk oleh lengannya yang berotot.


"Kesalahan yang dilakukan papamu bukanlah kesalahan kecil dan ringan. Sebagai orang dewasa, papamu harus bertanggung jawab atas perbuatannya selama ini. Kamu mengerti, 'kan?" 


Perempuan itu tak memberikan tanggapan. Seakan telah lelah berjuang selama ini. Tangis histeris yang ia curahkan malam itu seakan adalah puncak rasa lelahnya. Sekejap, kegelapan merenggutnya. Menghilangkan suara tangis itu untuk mengubah rumah menjadi sangat hening dan menarik kecemasan lelaki yang tengah memeluknya erat.


"JOO!!"


🌼🌼🌼


Komen (2)
goodnovel comment avatar
Shadow Fighter
keren kali loh kak mantap
goodnovel comment avatar
Veedrya
Maksudnya seikat bayam dan setongkol jagung kali ya... Masa sebutir? 🙈
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status