Share

Dua: Surat dari Bunda

Sejak diselamatkan dari rumah kecil yang telah menjadi saksi bisu perbuatan Adianto, Jo pun dibawa ke panti sosial anak milik negara. Namun, hidupnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia tetap menjadi anak yang teraniaya, terkucilkan, dan mengenaskan. Ia tak diterima di sana, seakan ia tak punya hak untuk hidup di dunia ini. Ya  begitulah kejamnya takdir terhadap hidupnya.

Jo sedang berjongkok di depan kandang kelinci dan ayam, peternakan kecil di halaman belakang asrama. Tiba-tiba, seseorang mendorong tubuhnya hingga terjerembab setengah badannya masuk ke kandang tersebut dan terkena kotoran kelinci dan ayam yang sedang ia kumpulkan untuk kebersihan kandang. Ya, saat itu ia sedang bertugas membersihkan peternakan kecil bersama dua teman asramanya. Jo tak merintih, hanya meringis kecil karena terkejut. Meski ia kini kotor oleh kotoran hewan, tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya membersihkan tubuhnya dengan mengibas-ngibaskan tangannya.

"Duh, anak jorok!" tukas seorang laki-laki kecil di belakang.

"Nggak jauh beda sama bapaknya. Sama-sama menjijikkan," ungkap yang lain.

"Jangan-jangan, nanti kita dibunuh juga kalau macem-macem? Yuk, ah, pergi. Merinding, deh, deket-deket sama Anak Pembunuh kayak dia."

Dengan tawa sinis dan arogan, ketiga anak lelaki itu pun pergi meninggalkan taman belakang tanpa rasa bersalah. Mereka adalah penghuni panti sosial anak yang terbilang sudah lama menghuni tempat ini. Tentu saja, tak ada satupun anak panti sosial itu yang berani menentang mereka. Meski Jo diperlakukan kejam, tak ada yang berani membantunya, atau mereka akan ikut kena imbasnya.

Jo paham itu, dan Jo pun tak menuntut apapun. Ia bersikap seakan tidak apa-apa, namun sebenarnya dalam hati ia merasa sangat tersakiti. Ia harus menerima penghinaan yang tidak ia lakukan, melainkan Adianto, papanya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Jo tidak bisa meminta hukum membebaskan papanya agar ia bisa kembali tinggal dengan papanya. Ia tahu papanya bersalah dengan melanggar banyak pasal hukum. Tapi, baginya, tinggal dengan papanya jauh lebih baik daripada tinggal di panti sosial anak ini.

"Jolanka," panggil seorang wanita. "Duh, kok, kamu kotor gini?" Ia bergegas menghampiri dengan cemas ketika Jo membalikkan badan usai membersihkan kandang. "Kamu, kok bisa kotor kayak gini?" Tanpa jijik, ia membersihkan tubuh Jo yang masih dianggapnya kotor.

"Nggak papa, Ibu. Tadi Jo jatuh kepeleset, terus kena kotoran kelinci dan ayam," tanggap Jo, lalu ia terkekeh-kekeh, seraya menghentikan wanita itu membersihkan dirinya. Ia tak mau tangan wanita itu ikut kotor. "Ibu Rara mencari Jo?" tanyanya polos.

Wanita itu mengangguk. Ia bernama Rara, salah satu ibu panti yang bertanggung jawab di panti sosial anak ini. "Ada tamu yang nyariin kamu. Kamu mending mandi dan ganti baju dulu. Nanti, ke rumah depan, ya?"

Jo mengangguk, seraya berjalan bersama wanita itu menuju asrama.

Usai mandi dan berganti pakaian, Jo keluar dari kamar asramanya dan bergegas ke rumah depan, rumah kecil yang lebih seperti sebuah kantor. Ia sudah terlambat 20 menit semenjak Ibu Rara memanggilnya. Ia harus mencuci pakaiannya yang kotor dan menjemurnya di tempat tersembunyi, atau pakaian itu akan menghilang seperti sebelum-sebelumnya. Tentu saja, mereka hilang bukan karena tanpa alasan.

"Assalamu'alaikum," ucap Jo, seraya melangkah masuk ke dalam rumah utama melalui pintu belakang yang terhubung dengan asrama. 

"Ah, Jo. Sini, sini," panggil wanita bermata sayu dengan senyum hangat. "Ini, Mas Hazell dan Bu Daisy nyariin kamu. Duduklah. Ibu tinggal kalian, ya." Wanita itu pun berdiri dan beranjak pergi setelah menarik tubuh Jo untuk duduk di sofa kecil yang berada di sisi kiri kedua tamu yang mencarinya.

"Makasih, Bu Yanti," ungkap wanita awal 40 tahun yang duduk tepat di kiri Jo pada wanita bermata sayu dengan senyum hangat itu. Ia bernama Daisy.

"Jo, gimana kabarmu?" tanya lelaki berumur pertengahan 20 tahun itu. Ia adalah lelaki bernetra dingin yang selalu menatap Jo dengan hangat. Hazell namanya. Ia adalah polisi yang menyelamatkannya malam itu.

Jo mengangguk sambil mengulas senyum. "Baik." Jawaban singkat yang sepenuhnya adalah kebohongan.

"Kami datang untuk memberikan sesuatu," sebut Daisy. Ia mengeluarkan sebuah amplop putih persegi panjang dari dalam tas jinjingnya. "Ini adalah surat dari bundamu yang kami temukan di rumah kalian saat polisi sedang membereskan rumah itu, dibantu tetangga-tetangga kalian, karena rumah itu akan dijual dan uangnya akan diberikan padamu."

Jo menerima surat itu. "Apa boleh Jo buka?" tanyanya, memohon izin.

"Nggak usah nanya. Surat itu memang untukmu," ujar Hazell. Meski terkesan ketus, namun Jo mendengar sebaliknya.

Jo melihat namanya tertulis di bagian depan amplop itu. Lima detik kemudian, ia telah memegang secarik kertas yang sebelumnya terlipat tiga di dalam amplop. Kini, maniknya menyusuri aksara yang ditorehkan oleh Mawar, bundanya, dengan bentuk tulisan yang sangat khas.

'Jo, anakku. Bunda minta maaf.

Maaf, karena Bunda hanya bisa mengatakannya melalui surat ini. 

Ada beberapa kebenaran yang harus kamu ketahui, Nak. Maaf, selama ini Bunda merahasiakannya karena Bunda sayang kamu. Bunda harap kamu mengerti perasaan Bunda. 

Bunda sayang kamu.

'Bunda dan Papa bukanlah orang tua kandungmu. Bunda dan Papa memang suami istri, tapi kami tidak punya anak. Kamu adalah anak dari orang tua yang kaya raya dan hidupnya selalu dalam kebahagiaan.

'Kami menemukanmu tergeletak di teras rumah kami. Kami pun merawatmu seperti anak kami. Saat itu, keluarga kita masih baik-baik saja. Sampai akhirnya Papa menemukan orang tua kandungmu yang sudah membuangmu ke rumah kami. Papa menuntut mereka atas perbuatan mereka padamu, namun berakhir dengan kehancuran perusahaan Papa dan berakhirlah keluarga kita seperti sekarang.

'Papa nggak membencimu, percayalah. Papa menyayangimu, sangat.

'Kamu mungkin akan sulit menerima kebenaran ini. Ayah kandungmu bernama Rendyka Chakraditya, dan ibu kandungmu adalah Jully Erlita Salsabila. Mereka bukan suami istri. Rendyka punya keluarga, begitu juga dengan Jully. Kamu akan paham, kamu anak cerdas.

'Kamu mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang mereka meski kamu menuntut hakmu sebagai anak. Kami telah mencobanya. 

Tapi, percayalah, Bunda dan Papa tetap menyayangimu, Nak. Kami sangat menyayangimu.

'Maaf, Bunda harus menyampaikannya dengan cara seperti ini.

Maafin Papa karen sudah melakukan semua hal yang menyusahkan dan menyiksamu.

Maafin kami karena kami nggak bisa memberimu kehidupan yang pantas dan layak.

Maaf untuk semuanya.

Kami menyayangimu - Bunda'

Jo tak mengeluarkan air mata, namun netranya terbaca jelas bahwa ia sedang mencoba untuk menahan luapan emosi marah dan kecewa di saat yang sama. Bibirnya tertutup rapat, sangat rapat. Ia menggigit bagian dalam bibirnya untuk menahan semua itu.

"Terima kasih, Kak Hazell dan Tante Diasy. Ini surat dari Bunda yang sangat berharga untuk Jo." Jo memeluk surat itu, mendekapnya di dada. Ia mengulas senyum yang menyakitkan hati siapapun yang melihatnya. Senyum yang seakan mengatakan ia baik-baik saja, namun sebenarnya tidak.

Daisy mendekat dan meraih tangan kiri Jo, menggenggamnya dengan erat. "Kami sudah membaca surat itu, Jo. Kami tahu ini akan sangat berat untukmu. Jika kamu mau -"

Kepala Jo menggeleng sebelum Daisy menyelesaikan kalimatnya. "Tante dan Kakak nggak perlu berbuat apa-apa. Jo nggak apa-apa, kok." Ia masih saja mengulas senyum yang terlihat dipaksakan.

Daisy menarik tubuh Jo ke dalam dekapannya. Ia mencoba memeluk erat tubuh kecil yang terasa begitu rapuh itu, namun ia harus hati-hati. "Maafin Tante, Jo. Tante nggak bisa bantu apa-apa."

Jo menjawab pelukan itu, lalu mengusap-usap punggung Daisy. Ia mencoba menenangkan wanita yang sangat baik itu. "Tante udah bantu banyak untuk Jo. Jo malah nggak bisa bales apa-apa untuk semuanya. Nanti  kalau Jo udah besar, Jo akan balas semua kebaikan Tante."

"Nggak perlu, Jo. Tante melakukannya ikhlas. Tante nggak butuh apa-apa darimu. Asalkan kamu babagia, udah cukup buat Tante."

Jo mendengar jelas bahwa suara Daisy bergetar, bahkan ia bisa sedikit merasakan punggungnya agak basah oleh air yang menetes hangat dari wajah Daisy.

"Aku bisa buat mereka mendapatkan hukuman untukmu, Jo," ujar Hazell.

Jo menggeleng. "Nggak, Kak. Itu nggak perlu. Jo nggak mau nyusahin banyak orang lagi." Ia masih juga menyunggingkan senyum seakan ia baik-baik saja.

Daisy menjauhkan tubuhnya. Matanya menatap lekat pada Jo, memperlihatkan sebuah tekad. "Kamu ikut Tante pu -"

"Nggak," selak Hazell dingin, spontan membuat Daisy mengerutkan kening dan menatap kesal pada Hazell yang jelas lebih muda darinya. "Jo, kamu ikut aku pulang. Kita ketemu langsung sama orang tuamu yang nggak bertanggung jawab itu."

Suara Hazell terdengar marah oleh kekecewaan. Daisy dan Jo pun menatap netra dingin Hazell yang penuh kebencian itu. Ia terlihat sangat dikecewakan, seakan ia mengenal betul orang yang dimaksud.

"Maksud Kakak?" Jo mungkin masih 12 tahun, tapi ia mengerti bahwa ada maksud lain dalam ucapan Hazell.

Hazell berdiri dan mengulurkan tangan kanannya ke wajah Jo. "Kita bakal mempermalukan ayahku, Rendyka, dan tanteku, Jully."

"Hah?!" Sontak Daisy berseru.

Jo tak banyak mengeluarkan reaksi. Ia hanya menggeser netranya pada tangan besar yang selalu menggandeng dan merangkulnya dengan hangat. Lalu, netranya kembali digerakkan untuk menatap netra Hazell yang dingin, namun kali ini tidak ada rasa hangat di sana, hanya ada kekecewaan yang selama ini telah dipendamnya.

Situasi Jo saat ini saja sudah sulit. Jika ia menerima uluran tangan Hazell, ia tidak yakin bahwa hidupnya akan lebih baik dari saat ini. Ia terlalu takut mengambil pilihan yang beresiko.

Jo menggeleng. "Makasih, Kak. Tapi, Jo nggak mau. Jo gini aja." Ia mengulas senyum, dan jelas tergambar di sana betapa ia telah kelelahan untuk bersikap tegar dan dewasa sampai saat ini.

Hazell mengernyit, ia ikut merasakan sakit begitu melihat ekspresi pada wajah mungil adiknya. Ya, Jo adalah adik kandungnya dari hubungan gelap ayahnya dengan kakak dari ibunya. 

"Oke," tegas Hazell. Ada kekecewaan di sana. "Aku udah punya sampel darah dan rambutmu. Aku akan cek DNA dan mencocokkannya dengan ayah dan tanteku. Begitu semua hasil keluar dan terbukti benar seperti surat dari bundamu, kamu akan ikut denganku. Aku nggak suka ditolak untuk hal kayak gini. Kamu adalah adikku, keluargaku."

Jo mendengar amarah, tapi entah kenapa Jo malah terkekeh-kekeh. "Iya, Kakakku Sayang." Jo berdiri, lalu ia menghampiri Hazell dan memeluknya. Untuk pertama kalinya, Jo memeluk seseorang lebih dulu. "Makasih, ya, Kak."

Hazell memeluk tubuh kecil itu. "Kamu mau berjuang sekali lagi, 'kan, buat dapetin hakmu?"

Meski ragu, tapi Jo merasakan ketulusan Hazell dalam pelukannya. "Iya, mau." Semakin erat Jo memeluk Hazell, semakin ia merasakan kekuatan baru untuk kembali memperjuangkan haknya memiliki orang tua.

Daisy yang melihat adegan bak sinetron receh di televisi Indonesia pun hanya bisa menyunggingkan senyum. Meski ia terkejut, tapi ia harus bisa bersikap dewasa. Dan kali ini, ia akan kembali memperjuangkan hak milik Jo sebagai seorang anak atas tanggung jawab tindakan Rendyka Chakraditya dan Jully Erlita Salsabila, baik itu membuang Jo, maupun menyebabkan hancurnya perusahaan Adianto yang mengakibatkan nasib buruk pada Jo dan kematian Mawar.

Tidak apa-apa jika tidak tidur berhari-hari lagi, asalkan Jo bisa hidup bahagia dan layak, batin Daisy.

🌼🌼🌼

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status